Pembantaian di Mali, Buntut Cekcok Panjang Fulani dan Dogon

27 Maret 2019 15:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang wanita suku Fulani berdiri di luar sebuah rumah usai penyerangan di Ogossagou, Mali. Foto: Malian Presidency/Handout via Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Seorang wanita suku Fulani berdiri di luar sebuah rumah usai penyerangan di Ogossagou, Mali. Foto: Malian Presidency/Handout via Reuters
ADVERTISEMENT
Peristiwa mengerikan di Mali itu terjadi pada Sabtu (23/3) dini hari sebelum subuh. Desa Ogossagou, Mopti, di Mali yang dihuni suku Muslim Fulani disambangi kelompok bersenjata berpakaian khas pemburu suku Dogon.
ADVERTISEMENT
Mengutip laporan PBB, orang-orang ini mengepung desa tersebut, menembaki warganya, membakar rumah mereka. Peluru tak bermata, orang tua, wanita, hingga anak-anak diterjangnya juga. Beberapa dari mereka dibunuh dengan parang.
"Saya tidak pernah melihat peristiwa seperti ini. Mereka datang, menembaki orang-orang, membakar rumah, membunuh bayi," kata saksi selamat Ali Diallo, 75, kepada AFP.
Seorang tentara berjalan di lokasi penyerangan yang dilakukan oleh orang-orang bersenjata di Ogossagou, Mali. Foto: Malian Presidency/Handout via Reuters
Sesudahnya bisa diterka, mayat-mayat bergelimpangan. Pemandangan pilu ini membuat kepala desa tetangga Ouenkoro, Cheick Harouna Sankare, menyebutnya sebagai "pembantaian".
"Ini adalah pembantaian warga Fulani oleh pemburu tradisional Dogon," kata Sankare.
Sedikitnya 160 orang tewas, diperkirakan jumlahnya masih akan bertambah. Juru bicara badan anak PBB UNICEF, Christophe Boulierac, mengatakan sepertiga korban tewas adalah anak-anak, bahkan bayi. Sebanyak 73 orang terluka, 31 di antaranya juga anak-anak.
ADVERTISEMENT
Presiden Mali Ibrahim Boubacar memecat dua jenderal akibat peristiwa ini. Dia juga memerintahkan pembubaran kelompok bersenjata Dogon, Dan Na Ambassagou.
Presiden Mali, Ibrahim Boubacar Keita saat memeriksa kerusakan usai serangan yang dilakukan oleh orang-orang bersenjata di Ogossagou, Mali. Foto: Malian Presidency/Handout via Reuters
Ambassagou membantah terlibat pembantaian tersebut. Namun tahun lalu, Human Right Watch mengatakan kelompok bersenjata ini memang mengincar suku Fulani, menewaskan puluhan dan melukai mereka.
Konflik Fulani dan Dogon
Fulani atau di Mali disebut Peulh adalah suku penggembala nomaden yang mayoritas Muslim. Sebagian dari mereka telah hidup menetap di kota, sebagian lainnya masih hidup tradisional dengan membawa hewan ternak ke berbagai wilayah.
Ada sekitar 38 juta orang dari suku ini, tersebar di sepanjang Afrika Barat, dari Senegal hingga Republik Afrika Tengah.
Ilustrasi Suku Fulani. Foto: AFP/LUIS TATO
Sementara Dogon adalah suku petani dengan keyakinan tradisional Afrika. Mereka telah tinggal di Mali bagian tengah selama berabad-abad. Wilayah mereka tinggal masuk dalam Warisan Dunia UNESCO.
ADVERTISEMENT
Konflik kedua suku berputar soal cekcok lahan peternakan. Dogon menuding ternak-ternak Fulani telah menghancurkan perkebunan mereka. Kedua suku juga kerap bertengkar memperebutkan sumber air.
Tapi biasanya, kisruh berakhir dengan perundingan tanpa pertumpahan darah. Kondisi berubah pada 2012 ketika kelompok Islam radikal muncul.
Ilustrasi Suku Dogon. Foto: Wikipedia
Dogon yang kerap jadi sasaran serangan teroris menuding Fulani membantu komplotan Amadou Koufa. Kontrol pemerintah Mali di wilayah Mopti juga melemah, dan teroris merajalela.
Pada 2016, suku Dogon membentuk kelompok perlawanan bernama Dan Na Ambassagou yang berarti "pemburu yang meyakini Tuhan". Diduga persenjataan Ambassagou diberikan oleh pemerintah untuk melawan teroris.
Dalam perkembangannya, Ambassagou lebih banyak menyakiti Fulani ketimbang teroris. Juru bicara kantor HAM PBB, Ravina Shamdasani, mengatakan Ambassagou menggunakan dalih memberantas terorisme untuk melukai Fulani.
Serangan bom bunuh diri di kamp militer Mali Foto: Reuters TV/Reuters
Ada stigma di kalangan Ambassagou bahwa seluruh Fulani yang Muslim mendukung terorisme. Ratusan orang tewas dalam konflik ini.
ADVERTISEMENT
Shamdasani mengatakan, sejak Maret tahun lalu saja, kekerasan di Mopti telah menewaskan 600 orang. Januari lalu, Ambassagou membunuh 37 orang di desa Fulani lainnya, Koulogon.
"Ini adalah perkembangan dari stigmatisasi itu. Mereka (Fulani) sengaja diincar," kata Shamdashani kepada AFP.