Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pemilu Kamboja Dinilai Cacat, Indonesia Diminta Bertindak
30 Juli 2018 12:55 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Wakil Presiden Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP) Mu Sochua dalam pernyataannya di Jakarta, Senin (30/7), mengatakan Hun Sen telah mengubah secara ilegal dan inkonstitusional sistem demokrasi multi partai di negara itu dengan membubarkan oposisi.
Tahun lalu, Mahkamah Agung Kamboja membubarkan CNRP atas tuduhan pengkhianatan. Dengan ketidakhadiran CNRP, Partai Rakyat Kamboja (CPP) pimpinan Hun Sen berjaya sendirian. Pada pemilu Minggu (29/7) CCP mendapat 100 dari 125 kursi yang diperebutkan di parlemen. Negara Barat menyebut pemilu Kamboja cacat.
"29 Juli akan diingat sebagai hari ketika demokrasi multi-partai yang konstitusional diganti secara ilegal dan inkonstitusional oleh kepemimpinan satu partai, yang merupakan prinsip dasar dari Perjanjian Damai Paris 1991," kata Sochua.
Perjanjian Damai Paris telah mengakhiri perang Kamboja-Vietnam. Ada 19 negara yang terlibat dalam perjanjian yang ditandatangani Indonesia dan Prancis tersebut. Menurut Sochua, kepemimpinan Hun Sen yang otoriter telah membuat Kamboja keluar dari perjanjian tersebut.
Untuk itu, dia menyerukan Indonesia sebagai penandatangan perjanjian Paris segera bertindak agar krisis demokrasi di Kamboja tidak berujung berbahaya bagi kawasan.
ADVERTISEMENT
"Mengingat rezim Kamboja telah secara keluar dari Perjanjian Damai Paris, kami menyerukan presiden bersama Konferensi Paris, Indonesia dan Prancis, menggelar konferensi segera. Dengan langkah ini dan melalui dialog, krisis yang semakin berbahaya ini bisa terhindarkan," kata Sochua.
Selain itu, langkah Hun Sen juga pelanggaran terhadap perjanjian dagang dengan Uni Eropa yang mensyaratkan demokrasi di Kamboja. Menurut Sochua, Kamboja telah mengundang sanksi dan embargo yang akan merusak perekonomian mereka.
Wakil Direktur Urusan Luar Negeri CNRP Kem Monovithya mengaku telah menghubungi pemerintah Indonesia, namun belum ada respons. "Kami telah mengirim pesan secara resmi, tapi belum ada komunikasi langsung antara kami dan pemerintah Indonesia," kata Monovithya.