Pendidikan Literasi Media, Cara AS Melawan Propaganda Hoaks Rusia

27 September 2018 8:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Forum FPC di Washington DC, Amerika Serikat (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Forum FPC di Washington DC, Amerika Serikat (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah AS gencar melakukan kampanye soal literasi media untuk menghadapi gempuran serangan disinformasi dan hoaks di media sosial oleh musuh-musuhnya, salah satunya yang paling menonjol berasal dari Rusia. AS membentuk gugus tugas khusus dan menganggarkan puluhan juta dolar untuk misi ini.
ADVERTISEMENT
Adalah Global Engagement Center (GEC) nama gugus tugas ini. Bergerak di bawah komando Kementerian Luar Negeri AS, GEC dibentuk pada 2016 di tengah pemilu AS yang disebut sarat intervensi Rusia. Pada pemilu itu, Rusia gencar melancarkan serangan siber berupa trolling, penyebaran informasi hoaks, hingga dituduh meretas email pribadi Hillary Clinton, calon presiden rival Donald Trump.
Tugas GEC adalah mengenali, memahami, mengungkap, dan melawan propaganda dan disinformasi yang dilakukan aktor negara dan non-negara untuk merusak keamanan nasional AS.
kumparan pada Rabu (26/9) berkesempatan mengunjungi Washington DC, Amerika Serikat, untuk mendengarkan langsung paparan soal GEC dari para petingginya. Salah satunya adalah Jonathan Henick, Plt Wakil Koordinator GEC.
"Sebenarnya bukan yang pertama (penyebaran hoaks) terjadi. Sejak awal negara ini berdiri sudah ada, itulah sebabnya ada istilah 'jurnalisme kuning'," kata Henick dalam rangkaian diskusi yang diadakan lembaga Foreign Press Center bertajuk "Literasi Media dan Melawan Disinformasi".
ADVERTISEMENT
"Ini (memerangi hoaks) juga bukan pekerjaan baru, telah ada sejak Perang Dingin. Tapi periode kali ini meningkat," lanjut Henick.
Dia mengatakan, pemerintah AS kali ini tidak menghadapi penyebaran disinformasi oleh Rusia dengan melakukan hal yang sama, atau membantahnya satu per satu. Yang dilakukan AS, kata dia, adalah mendidik masyarakat.
"Kami tidak menghadapi disinformasi dengan informasi, tidak word to word. Dari pada melakukan kontra narasi, kami berinvestasi untuk masyarakat sipil dan media," kata Henick.
Disinformasi adalah informasi palsu atau menyesatkan yang sengaja disebarkan oleh seseorang untuk tujuan menipu atau memicu ketidakstabilan, bisa dalam bentuk tulisan, audio, atau video.
Pejabat GEC, Jonathan Henick (kiri) dan Gene Fishel (kanan) (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pejabat GEC, Jonathan Henick (kiri) dan Gene Fishel (kanan) (Foto: Denny Armandhanu/kumparan)
GEC dan pemerintah AS mendidik masyarakat untuk menelaah sebuah informasi melalui perdebatan yang sehat, mengubah pola pikir masyarakat dalam melihat sebuah media. Oleh karena itu, lanjut Henick, masyarakat perlu mendapatkan pendidikan tentang literasi media, cara menganalisa sebuah info dari media dan menentukan apakah info itu palsu, asli, atau bias dan terdapat maksud buruk di baliknya.
ADVERTISEMENT
"Literasi media itu tidak mudah, soal bagaimana seseorang mencari arti dari sebuah isu atau mengkonsumsi berita," kata Henick lagi.
GEC mendorong peran serta masyarakat untuk bekerja sama dengan media dan pemerintah dengan mengirimkan informasi yang mencurigakan. Nantinya akan terbentuk kolaborasi pengecek fakta yang melibatkan warga. "Hal ini untuk mendorong masyarakat untuk bertanya dan jurnalis melakukan yang terbaik (mencari fakta)," lanjut Henick.
Untuk memerangi disinformasi ini, pemerintah AS telah menetapkan anggaran khusus untuk GEC, yaitu mencapai USD 50 juta, atau lebih dari Rp 750 miliar. Henick mengatakan, anggaran itu untuk investasi jangka panjang dalam mendidik masyarakat soal disiniformasi dan berita hoaks.
Salah satu program GEC dalam bidang pengembangan piranti lunak maupun produksi konten. GEC saat ini tengah mengembangkan piranti lunak yang bisa mendeteksi apakah sebuah gambar telah direkayasa atau tidak.
ADVERTISEMENT
GEC juga bermitra dengan media dari berbagai platform untuk menghasilkan yang meluruskan propaganda menyesatkan dari kelompok teroris, salah satunya ISIS. Konten berbahasa Inggris, Arab, Urdu, Somalia, dan Prancis itu mengungkapkan keburukan ISIS, seperti kekerasan terhadap wanita, anak-anak, atau kekalahan mereka di Iran dan Suriah.