Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
“Tak ada untungnya bagi saya,” ujarnya. Rencana Basith menyulut huru-hara jelang pelantikan presiden berantakan tatkala Polda Metro Jaya mengendus lokasi penyimpanan 29 bom ikan di rumahnya. Kelompoknya yang bergabung dalam Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara (MKPN) pun digulung. Basith ditangkap Sabtu dini hari (28/9) di rumahnya, Pakuan Regency, Bogor.
Penangkapan tak berhenti di Basith. Polisi bergerak meringkus purnawirawan TNI AL Sony Santoso hingga tokoh MKPN bernama Mulyono Santoso. Mereka dijerat dugaan pelanggaran Undang-Undang Darurat atas kepemilikan bahan peledak.
Basith sendiri kini naik status menjadi tersangka dan dihentikan sementara dari pekerjaannya sebagai dosen di IPB.
Secara tak langsung, kesibukan sampingan Abdul Basith di MKPN telah menyeretnya ke bui. Ia bertugas merekrut perakit bom ikan yang dikoordinir kawan organisasinya di MKPN, Laode Sugiono.
Aksi teror Basith dan Sugiono terdorong oleh rasa resah atas situasi Indonesia saat ini. Menurut mereka, komunisme telah menyusup masuk lagi, dan intervensi China kadung tertanam di Indonesia.
“Mereka melihat bahwa Indonesia sudah dikuasai oleh kepentingan asing—dalam hal ini Cina,” kata Ghufron, pengacara Basith, kepada kumparan, Jumat (11/10).
Ghufron meyakini kliennya sekadar bidak dalam rencana jahat jelang pelantikan presiden. Menurut Ghufron, berbagai pertemuan yang melibatkan purnawirawanlah yang mendorong kliennya terseret plot teror.
Sejumlah purnawirawan disebut terlibat dan pernah beberapa kali bertemu Basith menjelang pelaksanaan aksi.
Mantan KSAL Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto disebut berperan mengerahkan massa, dan Mayjen (Purn) Soenarko juga disebut-sebut punya peran penting. Sementara Basith bermitra dengan Laksmana Pertama (Purn) Sony Santoso yang berperan sebagai eksekutor.
Berikut petikan wawancara kumparan dengan pengacara Abdul Basith, Ghufron, dan serta rekan organisasinya yang juga menjadi tersangka—Mulyono Santoso:
Polisi menjadikan Anda tersangka dalam rencana kerusuhan pada Aksi Mujahid 212 akhir September. Apa benar Anda dan Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara melancarkan upaya untuk mengganggu keamanan?
Mulyono: Tidak, karena kami tidak pernah mau menurunkan rezim. Tidak dicontohkan dari agama mana pun, dari zaman Adam sampai Muhammad, nggak ada seruan menurunkan rezim. Yang ada adalah membawa sistem. Jadi kaitan dengan turun menurunkan (pemerintahan), pasti kami tolak habis.
Bagaimana aksi yang melibatkan Anda ini direncanakan?
Mulyono: Kami di MKPN diundang oleh seorang akademisi bernama Insani bersama Pak Soenarko (mantan Danjen Kopassus) ke rumah beliau (Soenarko). Waktu undangan pertama, kami nggak tahu apa yang mau dibicarakan.
Pada saat pembicaraan, (diketahui) bahwa mereka akan mengadakan gerakan. Gerakan itu adalah yang mengusung gerakan Pak Sri Bintang Pamungkas. Nah, diutarakan (pertanyaan) bagaimana menurunkan Presiden Joko Widodo, bagaimana menolak pelantikan, bagaimana kembali ke UUD ‘45.
Nah, kami bilang bahwa kami bukan di wilayah itu. Kami bukan di wilayah kenegaraan, dalam artian kami tidak terkait menurunkan rezim. Cuma di tengah pembicaraan itu, Pak Soenarko nanya, “Ada yang bisa bikin petasan nggak?”
Ghufron: Yang jelas, memang ada rapat tanggal 20 September di kediaman Pak Soenarko. Dan itu kan bukan hanya Pak Basith (yang datang). Banyak orang hadir, termasuk ada Pak Sony Santoso (purnawirawan TNI AL), Pak Slamet Soebijanto (mantan KSAL), Pak Laode Sugiono, ada Pak Mulyono. Pokoknya kurang lebih ada 15 orang yang hadir.
Bagaimana MKPN menanggapi rencana huru-hara dalam pertemuan tersebut?
Mulyono: Kami selalu mengatakan tidak pernah mau menurunkan rezim karena dicontohkan dari agama mana pun, dari Adam sampai Muhammad, itu nggak ada seruan menurunkan rezim.
Ghufron: Ini kan sesuatu yang tidak diduga dan di luar rencana. Awalnya empat orang itu—yang didatangkan dari Buton (Sulawesi Tenggara) melalui Laode Sugiono. Laode yang nyari orang, siapa yang bisa bikin bom ikan.
Awalnya mereka (empat orang yang dibawa Laode Sugiono) rencananya menginap di rumah Pak Slamet Soebijanto. Cuma di rumah Pak Slamet itu kan penuh, banyak massa yang nginap di sana karena keesokan harinya mau aksi. Sehingga Pak Slamet minta tolong nih (supaya) yang empat orang itu dibantu dikasih tempat. Jadi rumah Pak Basith jadi tempat menampung empat orang itu.
Intinya, menurut pengakuan Pak Abdul Basith , idenya memang awalnya dari Pak Soenarko. Kan diperkuat dengan pengakuan Pak Mulyono. Bahkan, katanya, di akhir rapat itu Pak Soenarko sempat bertanya kepada peserta, “Adakah di antara Saudara yang bisa buat petasan?”
Apa agenda politik MKPN?
Mulyono: Sebetulnya kami nggak di wilayah itu. Wilayah itu untuk kenegaraan, dalam artian mereka pasti berkiblat pada paslon 01, paslon 02, atau mungkin 212. Kami nggak di situ. Kami tuh wilayah solusi Pancasila—bagaimana kalau terjadi chaos pada bangsa ini, satu-satunya solusi yang kami tawarkan adalah Pancasila.
Cuma Pancasila yang mana yang akan kita tawarkan? Bukan Pancasila Orde Lama, Orde Baru, maupun Reformasi. Tetapi Pancasila yang menganut sisi Majelis. Yang di dalam Majelis itu ada rahmat dan pertolongan Yang Maha Kuasa.
Jadi otomatis di bawah Majelis bukan partai-partai, tapi pertama, kaum agamawan—baik Hindu, Buddha, Kristen, Protestan, dan Islam; kedua, kaum ilmuwan, minimal rektor perguruan tinggi; ketiga, TNI Darat, Laut, Udara ditambah polisi; keempat adalah raja, sultan, dan pemangku adat; kelima, kaum tradisional seperti nelayan, petani, dokter, insinyur, wartawan—itu salah satu profesi kan. Itu adalah stakeholder bangsa.
Itu yang disebut lembaga bangsa. Jadi rencananya (menurut MKPN), harus dipisah antara warga bangsa dan warga bangsa. Warga bangsa adalah orang-orang Indonesia asli yang duduk di majelis itu.
Ghufron: Iya. Kalau menurut Pak Basith yang kalau tidak salah bergabung (MKPN) dari tahun 2016, (mestinya) ada semacam majelis yang di dalamnya itu ada lima majelis. Di situ ada tokoh-tokoh agama, akademisi TNI, dan macam-macam. Jadi mereka membahas isu-isu kebangsaan dan isu-isu faktual di Indonesia.
Lantas apa yang mendorong rencana teror pada pertemuan tersebut?
Ghufron: Mungkin mereka semacam punya rencana-rencana supaya investor-investor asing tidak berani masuk ke Indonesia. Karena kan mereka melihat bahwa Indonesia ini sudah dikuasai oleh kepentingan asing, dalam hal ini China.
Mulyono: Sebetulnya sih Pancasila yang sekarang kita miliki, kalau dari tradisi ke norma, itu masih benar. Tapi begitu ke kaidah, ada yang belokin.
Dari mana ongkos untuk mendanai rencana tersebut?
Mulyono: Kalau tidak salah mereka minta ke Pak Narko (Soenarko) biayanya. Pak Narko nggak keluar (uang), sehingga mereka upaya sendiri. Mengenai bahan-bahan dan segala macam, (dapat) uang dari mana saya?
Bagaimana anggota MKPN bisa mengenal Soenarko?
Ghufron: Mungkin belum lama. Kalau saya tanya Pak Basith, ketemunya saat ada sidang di MK terkait hasil pilpres. Dikenalkan oleh seseorang, ketemulah di situ. Jadi intinya ketemu saat sidang hasil Pilpres di Mahkamah Konstitusi.
Bagaimana Laode Sugiono bisa direkrut selaku perakit bom?
Ghufron: Klien kami tidak menyebut itu. (Mereka) jelas sama-sama pengurus di MKPN. Memang punya rencana yang sama.
_________________
Simak selengkapnya Liputan Khusus kumparan: Huru-hara Jelang Pelantikan Presiden