Pengamat: Teroris di Indonesia Direkrut Lewat Forum Agama

16 Mei 2018 13:54 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi FMB9 “Cegah dan Perangi Aksi Teroris” (Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi FMB9 “Cegah dan Perangi Aksi Teroris” (Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Serentetan aksi teror yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan ada banyak kelompok radikal di Indonesia. Pengamat terorisme Universitas Indonesia Solahudin mengatakan, kebanyakan, orang-orang bergabung ke kelompok radikal lewat forum-forum agama.
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan, kelompok radikal di Indonesia masih menerapkan proses rekrutmen secara offline. Artinya, pola rekrutmen dilakukan secara langsung baik dalam forum-forum agama maupun personal. Ini berbeda dengan kelompok radikal di luar negeri banyak yang menerapkan sistem rekrutmen secara online, yakni menggunakan media sosial.
"Radikalisasi di tempat lain secara online termasuk Malaysia. Radikalisasi di Indonesia rekrutmen secara offline. Jadi tidak melalui dunia maya," kata Solahudin dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 di Kemen Kominfo, Jakarta Pusat, Rabu (16/5).
Solahudin menyebutkan, dalam penelitiannya, sebanyak 91 persen dari 75 orang narapidana teroris mengaku bergabung dengan kelompok radikal dari forum agama. Sementara sisanya, melalui sistem online.
"Saya tanya 75 orang, dan hanya 9 persen yang bergabung dengan kelompok radikal melalui online. Sisanya 91 persen melalui tatap muka, melalui forum-forum agama," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Gegana geledah rumah pelaku bom Polrestabes. (Foto: Maulana Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gegana geledah rumah pelaku bom Polrestabes. (Foto: Maulana Ramadhan/kumparan)
Sementara, dengan pola rekrutmen yang berbeda antara kelompok radikal Indonesia dengan kelompok radikal di luar negeri, hal itu menunjukkan adanya rasa tidak percaya dari oknum-oknum yang ingin bergabung. Pasalnya, sejumlah kasus penipuan acapkali dialami anggota kelompok radikal.
"Kelompok ekstremis di Indonesia tidak percaya dengan hal yang bersifat online dalam proses rekrutmen. Karena banyak penipuan," tutur Solahudin.
Solahudin mencontohkan kasus penipuan dari Susan Emira kepada jihadis Jemaah Asharut Daulah (JAD). Dalam penipuan tersebut Susan menjanjikan kepada sejumlah jihadis JAD untuk memberangkatkan mereka pergi ke Suriah, asalkan mereka bisa memberikan uang hingga puluhan juta.
Namun, mereka tak kunjung berangkat dan Susan tidak penah menunjukkan batang hidungnya setelah menerima uang dari para jihadis ini.
ADVERTISEMENT
"Nah, penipuan-penipuan di media sosial banyak terjadi. Itu juga yang menyebabkan banyak kelompok ekstremis yang tidak percaya rekrutmen di media sosial," pungkasnya.