Penolakan Visum Mahasiswi UGM Korban Pemerkosaan Hambat Penyidikan

11 Januari 2019 18:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kabid Humas Polda DIY, AKBP Yuliyanto (kanan) dan Direktur Ditreskrimum Polda DIY, Kombes Pol Hadi Utomo. (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kabid Humas Polda DIY, AKBP Yuliyanto (kanan) dan Direktur Ditreskrimum Polda DIY, Kombes Pol Hadi Utomo. (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
ADVERTISEMENT
Direktur Ditreskrimum Polda DIY, Kombes Pol Hadi Utomo, menyayangkan mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) korban dugaan pemerkosaan saat KKN di Pulau Seram, Maluku, pada 2017 silam enggan melakukan visum et repertum (VeR). Padahal menurut Hadi, visum tersebut perlu dilakukan karena merupakan tahapan penyidikan.
ADVERTISEMENT
“Muncul hambatan baru, (korban) dimintai visum malah dikembalikan lagi (suratnya). Bersurat ‘untuk apa kita visum tidak relevan’ itu kan menyimpulkan. Tidak relevannya dari mana? memangnya dia ahli?” kata Hadi saat dijumpai di Polda DIY, Jumat (11/1).
Terkait alasan kuasa hukum korban bahwa visum ditolak lantaran kejadian sudah terlalu lama dan bekas luka fisik sudah hilang, Hadi mengatakan bahwa hal tersebut hanya bisa dijawab ahli.
“Itu yang bisa menjawab ahli. Kita kan penyidik. Masalah digunakan atau tidak itu namanya korban bersyarat,” katanya.
Apabila tetap divisum, kata Hadi, korban melalui kuasa hukumnya meminta agar dilakukan visum et repertum psikiatrikum (visum kejiwaan), daripada visum et repertum (pemeriksaan medik). Menurut Hadi, dua visum tersebut adalah tahapan yang berkaitan. Urutannya visum et repertum dahulu lalu dilanjutkan dengan visum et repertum psikiatrikum.
Direktur Ditreskrimum Polda DIY, Kombes Pol Hadi Utomo di Polda DIY. (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Ditreskrimum Polda DIY, Kombes Pol Hadi Utomo di Polda DIY. (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
“Itu kan tahapan selanjutnya, jadi kalau orang mengalami klinis jadi loro (sakit) habis itu akibat lorone (sakitnya) dongkol (marah). Klinis dulu baru baru itu (psikis) tahapannya. Jadi jangan terus disimpulkan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Hadi menyebut, visum tersebut perlu dilakukan untuk membuktikan apakah peristiwa tersebut benar-benar terjadi atau tidak.
"Kita ikutin tahapannya, saya akan menjadi salah kalau tahapan itu tidak dilakukan. Penyebabnya apa itu akan kita kaji. Penyidik bekerja berdasarkan alat bukti yang ada bukan berdasarkan asumsi-asumsi,” ujarnya.
Sebelumnya, kuasa hukum korban, Catur Udi Handayani menjelaskan korban menolak melakukan visum et repertum karena bekas luka fisik sudah hilang lantaran waktu kejadian yang sudah lama. Namun, korban bersedia jika dilakukan visum et repertum psikatrikum.
“Penyintas mengajukan permohonan untuk melakukan visum et repertum psikiatrikum karena dampak psikologis dari peristiwa kekerasan tersebut masih membekas hingga saat ini,” tutupnya.