Jalan Panjang Mahasiswi UGM Mencari Keadilan di Kasus Perkosaan

11 Januari 2019 15:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah mahasiwa UGM menggelar aksi solidaritas atas kasus kekerasan seksual di UGM, Kamis (22/11/2018). (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah mahasiwa UGM menggelar aksi solidaritas atas kasus kekerasan seksual di UGM, Kamis (22/11/2018). (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kasus dugaan perkosaan yang dialami mahasiswi Universitas Gadjah Mada saat menjalani kuliah kerja nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku, pada tahun 2017, hingga kini belum menemukan titik terang. Kasus itu mencuat setelah Balairung Press UGM menerbitkan tulisan berjudul 'Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan' pada November 2018.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum tulisan itu, mahasiswi yang diduga korban perkosaan berjuang mencari keadilan dengan caranya sendiri. Upaya korban itu dikisahkan oleh Direktur Rifka Annisa, Suharti. Rifka Annisa merupakan lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu perempuan dan kekerasan seksual.
Suharti mengatakan setelah kejadian dugaan perkosaan, korban mengakses layanan Rifka Anissa pada 17 September 2017. Korban juga setelah itu mengakses layanan di Unit Konsultasi Psikologi (UKP) UGM. Saat itu, kata Suharti, UGM merujuk korban ke psikiater di Rumah Sakit Akademik (RSA).
Suharti mengatakan kondisi psikologis korban saat itu sangat terpukul. Korban, kata Suharti, tidak menyangka teman KKN-nya itu melakukan tindakan cabul kepadanya. Menurut Suharti, sekecil apa pun tindakan seksual yang dilakukan tanpa izin adalah bentuk perkosaan.
ADVERTISEMENT
“Ketiadaan persetujuan menunjukkan bahwa penyintas telah dipaksa melakukan suatu tindak seksual yang tidak ia kehendaki,” kata Suharti di Kantor Rifka Annisa di Kota Yogyakarta, Kamis (10/1).
Saat sedang berupaya mencari dukungan moral, korban dihadapi pada kenyataan bahwa mata kuliah KKN-nya mendapat nilai C. Persoalan nilai ini dijawab oleh Dosen Pembimbing Lapangan Adam Pamudji Rahardjo saat memenuhi panggilan Ombudsman Republik Indonesia perwakilan DIY pada akhir November 2018.
Pada Kamis (29/11) gerakan #kitaAgni menggelar Aksi Besarkan Bara Agni di Rektorat UGM.  (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pada Kamis (29/11) gerakan #kitaAgni menggelar Aksi Besarkan Bara Agni di Rektorat UGM. (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
“Yang perempuan (sempat) dapat nilai C bukan karena kasus asusila itu, tapi dia melanggar yang sudah ditentukan," kata Adam pada saat itu. "Kan tidak boleh keluar malam-malam. Terus apalagi tidur di satu ranjang dengan laki-laki malam-malam gelap.”
Belakangan, nilai KKN korban diubah pihak kampus menjadi A/B. Perubahan nilai itu juga atas rekomendasi tim investigasi. Tim investigasi dibuat atas desakan dari sejumlah pihak. Salah satunya Rifka Annisa.
ADVERTISEMENT
Suharti mengatakan kerja tim investigasi menghasilkan sejumlah rekomendasi. Tapi, yang dijalankan oleh UGM hanya rekomendasi pengubahan nilai KKN. Padahal, kata Suharti, ada banyak rekomendasi seperti permohonan penggantian uang kuliah tunggal, biaya pendampingan psikologis, biaya penebusan obat di rumah sakit dan segala macam kerugian yang dialami korban.
Menurut Suharti, korban juga semakin kecewa lantaran HS, nama terduga pelaku pemerkosa korban, masuk daftar wisudawan periode November 2018. UGM, kata Suharti, seolah abai dengan kasus ini dengan memasukkan HS ke dalam daftar wisuda. Nama HS sebelumnya sudah disebut tim investigasi lantaran diduga sebagai pelaku perkosaan.
Rektor UGM Panut Mulyono (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rektor UGM Panut Mulyono (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Karena kasus ini semakin muncul ke publik, HS akhirnya batal wisuda. Rektor UGM Panut Mulyono mengatakan adanya nama HS di dalam daftar wisuda mahasiswa bula November 2018 lantaran miskomunikasi antara pihak universitas dengan fakultas dan jurusan (departemen). Menurut Panut, pihak fakultas tidak mengetahui bahwa HS sedang bermasalah dan dituding sebagai pemerkosa.
ADVERTISEMENT
HS, melalui kuasa hukumnya, Tommy Susanto memberikan pembelaan. Tommy membantah semua tudingan yang dialamatkan kepada kliennya. Menurut dia, pada bulan Desember 2018, HS sudah dipanggil polisi dan dicecar sebanyak 60 pertanyaan. Dari hasil pemeriksaan itu, HS mengaku tidak ada perkosaan.
Masuk Ranah Hukum
Dukungan kepada korban muncul begitu masif. Salah satunya melalui gerakan #kitaAgni. Nama Agni digunakan sebagai nama samaran untuk korban. Agni maknanya adalah api, simbol gerakan perlawanan terhadap kekerasan seksual.
Pada November 2018, Polda DIY melakukan penyelidikan kasus tersebut. Penyelidikan dilakukan berdasarkan laporan informasi (LI). LI merupakan produk kepolisian yang ditulis untuk melaporkan sebuah peristiwa. Sumber informasi dari peristiwa tersebut ada berbagai macam, mulai dari media massa hingga media sosial.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan informasi tersebut polisi bergerak melakukan penyelidikan yang kemudian laporan hasil penyelidikan (LHP) akan dikirim ke Polda Maluku, sesuai dengan tempat kejadian perkara.
Infografik, Upaya Mencari Keadilan. (Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografik, Upaya Mencari Keadilan. (Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan)
Pada 9 Desember 2018, Kepala Pusat Keamanan, Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan (PKKKL) UGM, Arif Nurcahyo, melaporkan kasus ini ke Polda DIY. Arif melaporkan HS.
Seiring berjalannya waktu, polisi mulai memeriksa belasan saksi. Di antaranya adalah korban, terlapor, teman kuliah, dosen, bahkan penulis Balairung Press.
Kuasa hukum korban, Catur Udi Handayani, mengatakan awalnya dia tidak ingin kasus kliennya itu masuk ke ranah hukum. “Sebelumnya telah disepakati oleh Rifka Annisa dan UGM untuk tidak membawa kasus ini secara hukum,” kata Udi.
Menurut Udi, dengan dibawanya perkara ini ke ranah pidana, hanya akan menyudutkan kliennya. Udi juga menolak kliennya itu dilakukan visum et repertum. Penolakan tersebut lantaran kejadian sudah terjadi satu tahun lampau. Sementara, dampak psikologis diakui masih terus membekas.
ADVERTISEMENT
Kadung kasus ini masuk ke ranah hukum, Udi berharap polisi segera menentukan akhir dari perkara dugaan perkosaan ini. Dia juga berharap UGM menulis surat permintaan maaf karena kasus perkosaan ini terjadi dalam pengawasan UGM.