Perludem: Usul Tommy Soeharto soal Presiden Dipilih MPR Wacana Usang

23 Mei 2018 7:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tommy Soeharto, di KPU. (Foto: Garin Gustavian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tommy Soeharto, di KPU. (Foto: Garin Gustavian/kumparan)
ADVERTISEMENT
Usulan Ketua Umum Partai Berkarya, Tommy Soeharto, agar presiden kembali dipilih MPR menuai penolakan dari berbagai pihak. Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini menilai, usulan yang disampaikan oleh Tommy sudah tidak relevan untuk diterapkan pada sistem pemerintahan saat ini.
ADVERTISEMENT
Titi menuturkan, masyarakat mampu memilih presiden pilihannya secara langsung, apalagi sistem pemilihan presiden saat ini membawa dampak positif bagi demokrasi Indonesia. Sehingga usulan Tommy itu, menurut Titi, merupakan hal yang sudah usang dan sudah tidak relevan lagi.
"Itu wacana usang yang mestinya tidak relevan lagi dalam situasi saat ini, karena rakyat kita sudah mampu memilih presiden secara langsung dan terbukti bahwa pemilihan presiden langsung berkontribusi positif menciptakan masyarakat Indonesia yang aktif dalam kehidupan berpolitik," kata Titi saat dihubungi kumparan, Selasa (22/5).
"Dan selama ini masyarakat sudah mampu memperlihatkan kedewasaannya dalam pilpres dan tidak ada masalah. Dan juga pemilihan langsung yang kita lakukan ini tidak memperlihatkan masalah fundamental yang membuat harus diubahnya sistem pemilihan," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Usulan Tommy ini bukannya tanpa alasan. Alasan yang pertama, dengan sistem pemilihan presiden oleh MPR, maka baik parpol maupun pasangan calon tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk mengikuti kontestasi Pemilu Presiden 2019.
"Kalau argumen itu (supaya tidak keluar banyak biaya), jangan-jangan ujung-ujungnya tidak perlu ada pemilu di Indonesia. Kalau ditanya lagi soal uang banyak, jangan-jangan kemudian tidak perlu ada pergantian kekuasaan karena memerlukan dana," ujarnya.
Soeharto turun. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Soeharto turun. (Foto: Wikimedia Commons)
Titi pun tidak menampik biaya yang dikeluarkan untuk maju dalam pemilu tidaklah sedikit. Meski demikian, menurutnya, biaya yang besar itu sudah sepadan dengan legitimasi yang diperoleh dari pemilihan secara langsung. Hal ini, kata Titi, terlihat dari kualitas pemimpin yang dihasilkan.
"Karena legitimasi antara pemilihan langsung (dipilih) rakyat dengan pemilihan oleh MPR kan berbeda kualitasnya. Jadi pilpres langsung membuat legitimasi presiden sangat kuat. Dan lebih dari itu, di sanalah kedaulatan rakyat menemukan esensi sejatinya, di mana rakyat bisa menentukan siapa yang akan jadi presiden dan akan memimpin dirinya sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahannya," paparnya.
ADVERTISEMENT
Selain karena alasan untuk menekan biaya, Tommy beralasan dengan kembalinya sistem pemilihan presiden lewat MPR, maka Indonesia dapat kembali ke UUD 1945 yang asli, alias yang belum diamandemen. Selain itu, menurut Tommy, apabila sistem ini diterapkan maka tidak akan terjadi high cost politics.
Mengenai hal ini, meminta agar Tommy membuktikan soal high cost politics yang dimaksud. Sebab menurutnya, terjadi perbedaan antara high cost politics pada masa itu dan masa kini.
"Kalau sekarang kan high cost politicsnya untuk kepentingan rakyat. Kalau dulu kan high cost politics juga terjadi, tapi untuk kepentingan elite. Itu yang terjadi dulu, yang notabene adalah kroni-kroni keluarga Soeharto," tuturnya.
"Kalau sekarang politik mengeluarkan biaya, tapi untuk memfasilitasi kedaulatan rakyat. Kalau dulu rakyat bahkan tidak dapat akses untuk melaksanakan kedaulatannya," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, Titi mengimbau kepada seluruh elite politik untuk menatap ke depan dan menata sistem demokrasi yang sedang berjalan ini agar lebih baik lagi. Memang, kata Titi, sistem demokrasi yang dianut Indonesia memiliki banyak kekurangan, namun hal itulah tantangan demokrasi yang perlu dihadapi.
"Harus diakui memang ada kelemahan yang terjadi dalam demokrasi langsung kita saat ini, misalnya partai politik belum berfungsi optimal, politik yang masih berbiaya tinggi, politik kekerabatan yang semakin menguat. Tapi itu justru tantangan demokrasi yang harus kita jawab dengan konsistensi di dalam menerapkan nilai-nilai demokrasi, antara lain prinsip antikorupsi, supremasi hukum, dan juga partai politik yang demokratis," pungkasnya.