Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pertanyaan Sensitif dalam Wawancara Beasiswa LPDP Menuai Kritik
7 November 2017 17:29 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
Seorang perempuan muda berhadapan dengan tiga orang sekaligus di sebuah meja di dalam salah satu gedung Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) di Bintaro, Tangerang.
ADVERTISEMENT
Tiga orang yang terdiri dari 2 perempuan dan 1 laki-laki itu bertindak sebagai panelis. Sementara perempuan muda tadi adalah salah seorang pendaftar program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang sedang diwawancarai oleh tiga panelis itu.
Saat sesi wawancara berlangsung, almanak masih menunjukkan tanggal 18 September 2017. Sudah sekitar dua bulan lalu. Namun, hingga hari ini (7/11) ia berbagi cerita dengan kumparan (kumparan.com), perempuan muda itu masih ingat betul sejumlah pertanyaan sensitif yang diajukan para panelis kepadanya saat itu.
Pertama-tama, perempuan muda itu diminta untuk mendeskripsikan tentang dirinya dan tempat kerjanya. Dia pun menceritakan dirinya bekerja sebagai konsultan desainer hijab.
Salah seorang panelis perempuan, kata dia, kemudian bertanya, “Memang agama kamu apa --kamu ngurusin hijab?”
ADVERTISEMENT
Perempuan muda berkulit putih itu kemudian menjawab bahwa dirinya seorang muslim dan keturunan Betawi.
“Oh kok enggak kelihatan ya? Saya pikir kamu China,” kata dia menirukan ulang pertanyaan dari panelisnya itu.
“Terus dia (panelis) bilang, ‘Kamu kalau ngurusin fashion hijab, kenapa nggak berhijab?’ Terus saya jawab dengan santun, ‘Belum, Bu’.”
Tak hanya menanyakan isu pribadi, menurutnya, para panelis juga menanyakan masalah keluarganya. Hal itu bemula setelah ia menceritakan bahwa salah satu alasan dirinya kuliah S1 selama tujuh tahun adalah karena ada masalah keluarga (family issue).
“Kamu bilang tadi kamu broken home, kamu bilang ada family issue, family issue-nya apa sih?” kata seorang panelis lainnya sebagaimana yang ia tuturkan ulang.
ADVERTISEMENT
Karena ingin diluluskan dalam tahapan wawancara itu, ia pun terpaksa menjawab semua pertanyaan para panelis, termasuk menceritakan kondisi orang tuanya.
Ia menambahkan, para panelis juga mempertanyakan statusnya sebagai single mother.
“Ditanya saya single mother kenapa, terus saya jawab karena saya korban KDRT. Saya jelasin KDRT-nya nggak secara fisik, tapi secara mental, emosional, dan finansial.”
“Terus dia (panelis) tanya anak saya tinggal sama siapa,” imbuhnya lagi.
Menurutnya, bukan hanya salah seorang panelis yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan sensitif kepadanya, melainkan ketiganya.
“Tiga-tiganya kepo semua. Makanya saya berasa ini wawancara KDRT atau wawancara cek dan ricek?" ia membeberkan.
Baginya, pertanyaan-pertanyaan dari para panelis di atas tidak relevan sama sekali dengan rencana studi yang ia ajukan agar mendapat beasiswa dari program LPDP itu.
Seperti konsultan desainer hijab tadi, seorang guru di Surabaya juga menerima pertanyaan-pertanyaan tak menyenangkan saat menjalani tahapan wawancara LPDP di sebuah ruangan di Kantor Pajak Surabaya, Jawa Timur, pada Agustus 2015 lalu.
ADVERTISEMENT
Ia mengungkapkan, saat menjalani wawancara ia lebih banyak dicecar pertanyaan terkait lingkungan kerjanya di sebuah TK swasta di Surabaya, alih-alih pertanyaan soal rencana studinya.
“Mereka banyak tanya tempat saya ngajar, karena tempat saya ngajar itu namanya pakai bahasa Mandarin,” kata perempuan keturunan Jawa itu. Suaranya terdengar medok saat menceritakan pengalamannya kepada kumparan, Selasa (7/11).
Perempuan yang mengajar bahasa Inggris itu mengaku tak ditanya apa pun terkait rencana pembuatan tesisnya. “Akhirnya saya lebih banyak menjelaskan tentang sekolah tempat saya ngajar, atasan-atasan saya, teman-teman kerja saya.”
‘“(TK) itu yang mendirikan apakah orang Tiongkok? Apakah Mbak kerja untuk orang-orang Tiongkok? Terus guru-gurunya orang China semua? Mbaknya orang Jawa sendiri atau gimana?’” papar guru TK itu soal pertanyaan apa saja yang ia terima dari para panelisnya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, ia pun ditanya apakah tidak minder kerja dengan orang-orang China, dan sebagainya. Padahal, menurutnya, orang-orang yang bekerja di TK itu adalah orang-orang keturunan Tionghoa yang juga merupakan warga negara Indonesia (WNI)
“Menurut saya rasis banget sih,” tegasnya.
Menerima cerita tak mengenakkan dari seorang temannya saat menjalani sesi wawancara LPDP, pegiat isu gender dan hak asasi manusia Tunggal Pawestri berinisiatif mencari tahu lebih banyak soal permasalahan tersebut.
Sejak akhir pekan lalu, Tunggal aktif meminta cerita dari para pengguna Twitter soal pengalaman menjalani proses seleksi LPDP yang dianggapnya janggal itu.
"Jika ada yang saat wawancara beasiswa LPDP ditanya oleh tim seleksi kenapa tak berjilbab atau pertanyaan aneh lainnya, DM (Direct Message) saya ya," tulis Tunggal pada akun Twitter-nya.
ADVERTISEMENT
Tunggal menuturkan, ia melakukan hal tersebut karena ingin mengetahui cerita dari lebih banyak orang lainnya. “Saya ingin mencari bukti lain nih, apakah ini cuma satu (kasus) aja, atau banyak,” ujarnya kepada kumparan, Selasa (7/11).
Sampai saat ini ia mengaku sudah mendapat berbagai cerita soal adanya pertanyaan-pertanyaan soal agama, ras, gender, dan persoalan keluarga dalam wawancara LPDP. “Sampai hari ini saya sudah menerima lebih dari 50 cerita,” katanya.
Dari cerita-cerita tersebut, ia ingin mencari tahu apakah pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang sistematis atau dari pewawancara-pewawancara tertentu saja.
Rencananya, cerita-cerita tersebut akan ia kumpulkan jadi satu. “Terus nanti saya mau bikin sebuah laporan,” katanya.
Laporan tersebut kemudian akan ia kirimkan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu), kepala staf presiden, dan direktur LPDP.
Selama ini program LPDP bisa berjalan karena adanya Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN). DPPN adalah anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk pembentukan dana abadi pendidikan (endowment fund) yang bertujuan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya.
ADVERTISEMENT
Hingga September 2017, dana abadi yang dikelola LPDP telah mencapai lebih dari Rp20 triliun. Dana itu bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sebagian berasal dari pajak yang dipungut pemerintah.
Sebagai WNI yang peduli dan turut membayar pajar, Tunggal merasa berhak untuk ikut mengawasi dan melaporkan kejanggalan-kejanggalan yang ada dalam program LPDP.
“Itu kan duitnya (dana LPDP) dari saya (juga),” tegasnya.
Sampai berita ini diturunkan kumparan masih berusaha meminta konfirmasi dari pihak LPDP.