Polisi: PT JKI Edarkan Obat Palsu ke 197 Apotek di Jabodetabek

22 Juli 2019 15:33 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Barang bukti obat palsu dan obat daur ulang yang disita Bareskrim Polri. Foto: Mirsan Simamora/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Barang bukti obat palsu dan obat daur ulang yang disita Bareskrim Polri. Foto: Mirsan Simamora/kumparan
ADVERTISEMENT
Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri mengungkap peredaran obat palsu yang dilakukan Direktur PT JKI berinisial AFAP (52). Ternyata izin dari BPOM disalahgunakan sehingga bisa menyuplai obat ke berbagai apotek di Jabodetabek.
ADVERTISEMENT
Kasatgas Dittipidter Bareskrim Polri, Kombes Pol Pipit Rismanto, mengatakan, obat yang dibuat tersangka dipasarkan ke 198 apotek, 197 di antaranya beredar luas di Jabodetabek. Bahkan, Apotek K24 hingga Roxy bisa kecolongan atas peredaran obat palsu ini.
“Ada yang sesuai faktur, jadi ini ada faktur dari faktur ini kita hitung yang sudah terdistribusi ada 198 apotek. Namun, 197 ada di Jabodetabek, yang 1 lagi kita akan telusuri pada apotek lainnya,” kata Pipit di Bareskrim Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Senin (22/7).
“K24 ada, Roxy juga,” sambung Pipit.
Barang bukti obat palsu dan obat daur ulang yang disita Bareskrim Polri. Foto: Mirsan Simamora/kumparan
Apotek yang punya nama besar tersebut, kata Pipit, dapat kecolongan karena menganggap PT JKI adalah perusahaan obat resmi dan punya izin dari Kementerian Kesehatan. Padahal, nyatanya selama 3 tahun perusahaan tersebut mengedarkan obat palsu.
ADVERTISEMENT
“Ya menurut mereka (apotek-apotek) merasa percaya (PT JKI sebagai) PBF (Pedagang Besar Farmasi) resmi,” ujar Pipit.
Barang bukti obat palsu dan obat daur ulang yang disita Bareskrim Polri. Foto: Mirsan Simamora/kumparan
Selama ini, tersangka memalsukan obat generik hingga obat yang sudah punya hak paten. Bahan baku obat diperoleh tersangka dari obat yang tak terjual di sejumlah cabang perusahaannya.
Keuntungan yang didapat tersangka dari penjualan mencapai Rp 400 juta per bulan. Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 196 Jo Pasal 98 ayat 2 dan 3 Undang-undang RI Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Kesehatan dan Perlindungan Konsumen.