Polri Susun Peraturan soal Ketentuan Panggil Paksa di UU MD3

19 Maret 2018 19:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto (Foto: Aria Pradana/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto (Foto: Aria Pradana/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Undang undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) hasil revisi sudah mulai berlaku sejak Rabu (14/3). Penetapan UU itu dilakukan setelah 30 hari disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 12 Februari 2018.
ADVERTISEMENT
Kendati begitu, keputusan UU MD3 masih menuai pro dan kontra, salah satunya mengenai Pasal 73. Dalam pasal tersebut, DPR memiliki kewenangan untuk memanggil siapa saja untuk hadir di DPR. Jika dalam pemeriksaan tidak ditanggapi, maka DPR berhak meminta bantuan polisi untuk memanggil paksa.
Dalam prosesnya, polisi diberikan kewenangan untuk melakukan penyanderaan selama 30 hari.
Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan pihaknya menindaklanjuti ketentuan itu. "Polri akan merespons dengan akan membuat Perkap (Peraturan Kapolri)," ujar Setyo di Mabes Polri, Jakarta, Senin (19/3).
Namun, Setyo menuturkan, Perkap tersebut masih akan disusun terlebih dahulu. Dia juga enggan merinci rancangan Perkap tersebut. "Tentang kapan selesainya tunggu saja karena itu ada prosesnya," imbuh Setyo.
ADVERTISEMENT
Selain Pasal 73, salah satu poin kontroversial dalam UU MD3 yang dipersoalkan, adalah kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR yang dapat melaporkan ke polisi bagi siapa saja yang merendahkan martabat DPR. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 122 huruf I UU MD3.
MKD dapat mengambil langkah hukum terhadap perseorangan, kelompok, atau badan hukum yang dinilai merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Ketentuan ini dikenal sebagai mempidanakan pengkritik DPR.