Polri Ungkap Perang Ideologi Antar Kelompok Teroris di Indonesia

12 Mei 2018 16:36 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penggeledahan napi teroris di Mako Brimob. (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Penggeledahan napi teroris di Mako Brimob. (Foto: Dok. Istimewa)
ADVERTISEMENT
Polri tak menampik fakta bahwa keberadaan para napi teroris senior di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, berperan penting dalam mengakhiri kerusuhan di sana. Sejumlah pentolan teroris itu, justru bersedia kerja sama dengan polisi melakukan deradikalisasi.
ADVERTISEMENT
Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Setyo Wasisto, menjelaskan keberpihakan sejumlah napi teroris kepada pihak kepolisian bukanlah hal asing. Pasalnya, di lingkup internal para ikhwan jihadi (kombatan/petempur aksi terorisme), ada pertarungan ideologi.
"Terutama setelah sejumlah pentolan ikhwan jihadi dengan kemampuan kombatan tinggi yang tersisa seperti Nasir Abbas, Umar Patek, Ali Imron dan Ali Fauzi Manzi berubah mind set-nya," ujar Setyo, Sabtu (12/5).
Menurut Setyo, mereka masih sangat ketat menjaga ideologi dan keislamannya namun tak lagi menganggap Indonesia sebagai darul harb atau medan perang. Sehingga, mereka sepakat aksi amaliyah (balas dendam) tak boleh lagi dilakukan di Indonesia.
"Mereka juga melihat bahwa berperang dengan negara hanya membawa mudharat yang lebih banyak. Sehingga, banyak di antaranya yang kemudian memilih kooperatif dengan aparat," papar Setyo.
Penggeledahan napi teroris di Mako Brimob. (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Penggeledahan napi teroris di Mako Brimob. (Foto: Dok. Istimewa)
Setyo lalu mencontohkan, saat menangani kasus Bom Bali I, pemahaman mengenai cara berpikir ikhwan jihadi menjadi lebih mudah setelah Polri bekerja sama dengan Ali Imron. Ia merupakan adik teroris Amrozi yang divonis seumur hidup.
ADVERTISEMENT
"Namun, bagi banyak ikhwan jihadi yang lebih muda, mereka-mereka (yang kooperatif dengan aparat) ini dianggap pengkhianat. Tak banyak yang tahu, para ikhwan jihadi yang kooperatif mendapat kecaman dan serangan dari ikhwan jihadi jahat (yang kontra dengan aparat," ungkap Setyo.
Terlebih, para ikhwan jihadi yang sudah senior biasanya terafiliasi dengan Al-Qaeda. Sementara para ikhwan jihadi yang masih tergolong baru, cenderung menjadikan ISIS sebagai pedoman pergerakan mereka.
"Mereka bertarung, baik secara fisik maupun aqidah, di 'bawah tanah'. Perang yang sangat keras," papar Setyo.
Patroli di Mako Brimob (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Patroli di Mako Brimob (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Pertarungan dua ideologi tersebut sangat sengit, sama seperti induk mereka di Timur Tengah yakni Al-Qaeda versus ISIS. Namun di Indonesia, pertarungan tersebut kerap tak objektif sebab mereka masih sering bertemu satu sama lain.
ADVERTISEMENT
"Di titik inilah, kenapa pemilahan napi teroris (yang mau diajak kerja sama dan tidak mau) menjadi signifikan. Terutama dalam konteks deradikalisasi dan antisipasi terorisme," jelas Setyo.
"Polisi akan mengidentifikasikan siapa saja yang bisa dijangkau dan kooperatif. Biasanya kepada mereka yang memiliki pemahaman ilmu agama yang sangat tinggi, polisi percaya dan kemudian bekerja sama melakukan deradikalisasi," tutupnya.