Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
PPP: Usulan Polisi Jadi Pj Gubernur Ciptakan Kegaduhan Politik
27 Januari 2018 12:25 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
ADVERTISEMENT
PPP menilai usulan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo terkait Penjabat (Pj) Gubernur dari polisi aktif menjadi gubernur bakal menimbulkan kegaduhan politik. Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Umum PPP, Arwani Thomafi.
ADVERTISEMENT
"Presiden Jokowi, dalam berbagai kesempatan mendorong adanya stabilitas politik dan menghindari kegaduhan politik. Ide Mendagri telah memancing kegaduhan politik. Ini tidak bagus dalam konteks menjaga stabilitas politik dan ekonomi nasional dan kontrapdoruktif atas imbauan Presiden," kata Arwani Thomafi dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (27/1).
Ia menambahkan, argumentasi yang disampaikan Tjahjo menempatkan Pj Gubernur dari polisi aktif dengan mempertimbangkan tingkat kerawanan tersebut bisa diperdebatkan. "Karena bila merujuk data Polri, daerah rawan dalam pilkada juga terjadi di Sulawesi Selatan yang Gubernurnya akan berakhir pada April 2018 mendatang. Pertanyaannya mengapa Sulsel tidak ditunjuk Pj Gubernur dari Polisi aktif," ungkap dia.
Dari sisi landasan yuridis, gagasan ini dinilai Arwani tidak memiliki landasan yuridis. Baginya, rujukan Mendagri dengan mengutip Pasal 4 ayat (2) Permendagri No 1 Tahun 2018 tentang Cuti Di Luar Tanggungan dengan menganalogikan pejabat madya tingkat pusat/pemrprov dengan inspektorat jenderal (irjen) atau mayor jenderal (mayjend) di TNI/Polri merupakan analogi yang tidak tepat.
ADVERTISEMENT
"Menyetarakan aparatur sipil negara dengan polisi atau TNI merupakan tindakan yang missleading," ungkap dia.
Ia menambahkan, ketentuan Pasal 202 ayat (10) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Pj Gubernur berasal dari jabatan tinggi madya dalam regime ASN setingkat Eselon I di Kemendagri sendiri. Hal ini berlaku juga untuk pejabat setingkat bupati/wali kota adalah pimpinan tinggi dari Pemda Tingkat Provinsi.
"Gagasan ini juga secara nyata dan meyakinkan menabrak sejumlah regulasi seperti Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) disebutkan jabatan ASN dapat diisi oleh prajurit TNI/anggota polisi hanya berada di tingkat pusat," urainya.
Ide tersebut, lanjut dia, juga bertentangan dengan Pasal 13 huruf a,b dan c UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Di UU ini ada poin yang menyebutkan tugas pokok Polri adalah memelihara ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Keputusan ini juga bertentangan dengan Ketentuan Tap MPR Nomor VII /MPR/2000, Pasal 10 ayat (3) menegaskan anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun. Kedua pejabat yang diusulkan adalah polisi aktif sehingga tidak boleh menjabat di luar kepolisian," ungkapnya.
"Atas pertimbangan tersebut di atas dan dalam rangka menjaga kondusifitas politik nasional di tahun politik ini, saya menyarankan agar gagasan dan rencana tersebut diurungkan. Sikap ini juga selaras dengan imbauan Presiden agar elit tidak membuat kegaduhan yang tidak perlu," imbuhnya.