Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
PSI Luncurkan Kartu Sakti untuk Galang Dana Parpol: Rp 25 Ribu-Rp 1 M
19 Januari 2018 20:22 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
ADVERTISEMENT
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) membuat terobosan dalam pengelolaan keuangan partai. PSI mengajak masyarakat berkontribusi membantu partai lewat program crowdfunding yang bernama Kartu Sakti (Solidaritas Anti Korupsi dan Anti Intoleransi).
ADVERTISEMENT
Ketua Umum PSI Grace Natallie menyatakan, peluncuran Kartu Sakti tersebut sebagai bentuk upaya PSI menghindari perilaku koruptif. Sehingga, PSI mencari sumber dana lewat partisipasi publik yang mau menjadi bagian dari PSI dengan membeli kartu Sakti.
“Selama ini kan sumber dana parpol enggak jelas. Sumbernya dari orang-orang yang itu-itu saja. Jadi kami tawarkan konsep bahwa PSI menjadi partai publik yang kemudian dana-dana yang terkumpul itu diaudit setahun sekali, sebagai bentuk pertanggung jawaban ke publik,” kata Grace saat launching Kartu Sakti, di Metro Coffee, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (19/1).
Grace menjelaskan, ada 6 kategori kartu dengan nilai beragam mulai dari Rp 25 ribu per tahun hingga Rp 1 miliar per tahun. Mereka yang memiliki Kartu Sakti ini, memiliki kewenangan untuk ikut menentukan arah kebijakan partai.
ADVERTISEMENT
“Ini juga diiringi dengan privilege dari pemegang Kartu Sakti. Nantinya mereka akan kita masukan dalam sebuah website organisasi partai kami di tiap tingkatan, baik di DPC, DPW, dan DPP,” ujarnya.
Grace melanjutkan, crowdfounding partai politik yang bersumber dari publik juga dapat menghilangkan budaya mahar politik. Menurutnya, mahar politik akan hilang ketika partai didanai dan digerakan oleh publik, bukan segelintir petinggi partai.
“Sekarang banyak partai yang dapat pendanaan enggak jelas, mereka memakai momentum pilkada, pemilu untuk cari duit. Akhirnya partai dapat uang dari cara seperti itu, mereka memilih orang yang bisa berkontestasi di ajang Pilkada dan Pemilu. Bukan berdasarkan kompetensi, tapi berdasarkan yang punya uang atau yang berani bayar paling besar,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT