Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
QnA: Mengapa Rezim Suriah Menyerang Ghouta?
26 Februari 2018 12:59 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Simpati dunia seakan tidak pernah lepas dari Suriah, negara yang sejak delapan tahun terakhir dirundung konflik. Kali ini perhatian dunia tertuju pada Ghouta Timur, sebuah enklave atau wilayah terkepung dekat ibu kota Damaskus yang sepekan terakhir dihujani rudal, bom, dan artileri.
ADVERTISEMENT
Sejak Minggu (18/2), rezim Suriah melancarkan serangan tanpa henti ke Ghouta Timur yang masih dihuni sekitar 400 ribu orang. Dampaknya bisa ditebak, kehancuran sejauh mata memandang di wilayah yang masih dikuasai pejuang oposisi itu. Bangunan tinggal rangkanya, reruntuhan terserak di bawahnya, di sela-sela puing-puing anak-anak dan warga Ghouta tertimbun, meregang nyawa.
Menurut laporan MSF, sedikitnya 500 orang tewas dalam bombardir Suriah ke Ghouta Timur, lebih dari 100 di antaranya anak-anak. Anak-anak yang tidak berdosa kembali jadi korban. Mereka diintai kematian akibat hantaman bom atau kelaparan. Belakangan, rezim Suriah dilaporkan kembali menggunakan senjata kimia terlarang di Ghouta.
Ghouta menambah pedih konflik di Suriah yang sejak 2011 telah menewaskan sedikitnya 500 ribu orang. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres ini punya sebuah kalimat untuk menggambarkan kehancuran di Ghouta: "Neraka di bumi."
Kenapa sih rezim Suriah menyerang Ghouta?
ADVERTISEMENT
Bagi Bashar al-Assad, Ghouta adalah wilayah yang penting. Letaknya hanya selemparan batu dari ibu kota Damaskus, kurang lebih 30-40 km. Sebelum konflik, Ghouta yang juga merupakan lahan perkebunan adalah lumbung padinya Damaskus. Dari tempat ini, pejuang oposisi bebas menembakkan rudal ke pusat kota Damaskus.
Wilayah Ghouta Timur adalah enklave terakhir dekat ibu kota yang masih dikuasai pejuang oposisi, pemberontak bagi rezim Assad. Serangan ke Ghouta telah dimulai sejak 2013 oleh tentara Suriah, salah satunya tembakan senjata kimia yang menewaskan 1.500 orang.
Ghouta Timur dikuasai oleh beberapa kelompok oposisi yang saling berbagi wilayah. Di utara, di Douma, dan bagian timur dari enklave dikuasai oleh militan Tentara Islam. Di barat daya enklave dikuasai kelompok Failaq al-Rahman, sementara di barat laut dikuasai oleh Ahrar al-Sham.
ADVERTISEMENT
Terkadang, kelompok militan ini berperang satu sama lain dalam memperebutkan wilayah atau mempertahankan ideologi masing-masing, semakin memicu derita warga sipil.
Serangan sepekan terakhir adalah yang paling intens dilakukan rezim Suriah ke Ghouta. Mereka berdalih, serangan diperlukan untuk menghancurkan kekuatan oposisi yang kerap menembaki Damaskus.
PBB memperkirakan ada hampir 400 ribu orang yang masih berada di wilayah ini, kebanyakan warga sipil ketimbang militan oposisi. PBB mencatat, 272.500 orang di Ghouta memerlukan bantuan kemanusiaan.
Mengapa warga enggak pergi saja dari Ghouta?
Jika bisa, tentu saja sudah sejak lama dilakukan. Terlalu lama tinggal di Ghouta, semakin lama penderitaan mendera. Mengutip dari laporan media yang khusus melaporkan konflik kemanusiaan, Irin News, hampir mustahil warga sipil meninggalkan Ghouta.
ADVERTISEMENT
Memang ada sedikit pengecualian, seperti pegawai negeri yang keluar-masuk Ghouta untuk melakukan pekerjaannya. Tapi mereka harus masuk melalui pos pemeriksaan Wafideen, dekat Douma, yang dipenuhi ranjau darat, penembak jitu, dan baku tembak yang bisa pecah setiap saat antara tentara pemerintah dan militan.
Pemerintah Suriah belakangan menyebarkan selebaran di Ghouta Timur, berisikan seruan agar warga sipil meninggalkan wilayah itu. Tapi seruan hanya seruan, pada praktiknya rezim Suriah melarang warga Ghouta meninggalkan wilayah itu.
Contohnya, dalam delapan bulan terakhir PBB mencoba mengevakuasi 500 orang pasien sakit keras atau terluka berat dari Ghouta Timur, termasuk anak-anak. Tapi Assad melarang mereka keluar dari enklave. Akibatnya, 22 dari mereka meninggal dunia.
Desember lalu memang 35 pasien diperbolehkan keluar Ghouta, tapi ini atas perjanjian pertukaran tawanan, bukan atas nama kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Warga yang keluar dari Ghouta juga ketakutan mereka akan ditangkap jika keluar dari enklave atas tuduhan melawan Assad. Mereka bisa dihukum mati atau dipenjara yang hanya Tuhan yang tahu berapa lamanya.
Kelompok oposisi juga dilaporkan membatasi pergerakan warga. Amnesty International mencatat militan oposisi Tentara Islam yang menguasai Wafideen, hanya memperbolehkan segelintir orang meninggalkan Ghouta. Pria yang berada di usia layak berperang juga dilarang keluar Ghouta, sehingga meninggalkan wilayah itu sebagai satu keluarga utuh terwujud.
Kalau dikepung, bagaimana makanan bisa masuk Ghouta?
Kondisi kemanusiaan di Ghouta Timur sangat parah. Selain gempuran senjata, yang paling membuat masyarakat sipil Ghuota tersiksa adalah blokade pengiriman bantuan kemanusiaan oleh tentara Suriah.
Bulan Sabit Merah Arab Suriah dan PBB terkadang memang diperbolehkan mengantar makanan, hanya untuk mencegah warga Ghouta mati kelaparan. Tapi izin ini sangat langka dan tidak jelas waktunya.
ADVERTISEMENT
Lembaga bantuan juga mengatakan, rezim Suriah melarang mereka mengantarkan makanan dalam jumlah yang dibutuhkan, jadi sangat minim sekali. Kebutuhan medis juga kerap dicuri oleh tentara Suriah.
Dengan memblokade bantuan kemanusiaan, pemerintah menyebabkan meroketnya harga makanan di Ghouta. Yang paling diuntungkan adalah para pengusaha kroni Assad yang diberi izin memonopoli perdagangan pangan di Ghouta melalui perlintasan Wafideen.
Laporan Program Pangan Dunia (WFP) mencatat, harga makanan di enklave Ghouta bisa lebih mahal 140 persen sejak perlintasan Wafideen ditutup, enam kali lebih mahal dibanding rata-rata harga nasional.
Bahkan untuk kebutuhan pokok, harganya jauh lebih mahal, seperti sekantung roti contohnya. Di Damaskus harga sekantor roti hanya 94 pound Suriah (Rp 2.500), tapi di Ghouta harganya bisa mencapai 1.500 pound Suriah (Rp 40 ribu). Tidak ada lahan pekerjaan dan penghasilan, dari mana warga Ghouta mendapatkan uang untuk beli makanan?
ADVERTISEMENT
Pada 2014 hingga 2017, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar berhasil masuk Ghouta melalui terowongan bawah tanah milik pejuang oposisi. Bahan bakar diperlukan untuk menyalakan listrik di rumah sakit, pompa air, dan infrastruktur esensial lainnya. Sayangnya, pada akhir 2017, tentara Suriah menemukan terowongan itu. Dan sejak itu, kondisi warga Ghouta semakin melarat dan kurang gizi.
Survei PBB pada November 2017 menunjukkan 11,9 persen anak-anak usia di bawah lima tahun di Ghouta mengalami malnutrisi parah, 36 persen mengalami gangguan pertumbuhan.
Kapan ini akan berakhir?
Tujuan Assad jelas, menghancurkan kekuatan militan oposisi di Ghouta hingga ke akar-akarnya. Assad ingin wilayah dekat istananya bebas dari ancaman. Hingga tujuan itu belum tercapai, Assad tidak akan berhenti menggempur Ghouta walau gencatan senjata dan perjanjian evakuasi sudah diteken.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya tahun lalu dilakukan perundingan yang dimediasi Rusia. Pilihannya ada dua, militan menyerah atau rela direlokasi secara aman dengan bus dari Ghouta ke kota Idlib, yang letaknya lebih dari 300 km sebelah utara Damaskus. Hal ini untuk menjauhkan pemberontak dari ibu kota, setidaknya Assad bisa membuat tenang.
Namun Failaq al-Rahman dilaporkan menghendaki dibukanya perlintasan dagang baru dekat Mleiha atau Harasta agar tidak terlalu bergantung pada Tentara Islam yang menguasai perlintasan Wafideen. Perundingan akhirnya gagal dan pertempuran berlanjut.
Ini seperti peristiwa di Aleppo. Ketika itu militan di Aleppo menolak menyerah atau direlokasi dalam perundingan yang berlangsung alot selama berbulan-bulan. Akhirnya mereka dibombardir tanpa henti, dan krisis kemanusiaan parah terjadi di Aleppo.
ADVERTISEMENT
Setelah kondisi porak-poranda dan banyak korban tewas jatuh, evakuasi akhirnya diikuti oleh sekitar 30 ribu warga sipil Aleppo. Mereka tidak punya pilihan lain selain meninggalkan kampung halaman atau mati di tempat itu.
Menurut PBB, tindakan rezim Suriah itu adalah bentuk "pengusiran paksa" yang masuk dalam kategori kejahatan perang.