Rengasdengklok: Penyamaran Sukarno dan Susu untuk Guntur

16 Agustus 2018 11:47 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengambilan foto reka kejadian dilokasi rumah penculikan Sukarno-Hatta di Rengasdengklok. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pengambilan foto reka kejadian dilokasi rumah penculikan Sukarno-Hatta di Rengasdengklok. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
ADVERTISEMENT
Saat menuju Rengasdengklok --85 kilometer dari Jakarta, Sukarno-Hatta mengganti pakaian mereka dengan seragam prajurit Pembela Tanah Air (PETA). Lengkap dengan sepucuk pistol dan pedang samurai yang tersimpan di balik pinggang.
ADVERTISEMENT
"Kita akan segera memasuki wilayah terlarang yang dijaga tentara PETA. Dengan demikian, kita semua harus memakai pakaian seragam PETA," kata Shodancho (komandan kompi) Singgih, mengawal perjalanan bersama prajurit lainnya.
Sementara istri Sukarno, Fatmawati --yang sibuk memangku Guntur, putra sulung Sukarno-- tidak ikut bertukar seragam, tidak menyamar.
Sebelum tiba di dekat Karawang, Jawa Barat, seluruh orang yang berada di dalam mobil, termasuk Sukarno, Hatta, Fatma dan Guntur, dipindahkan ke sebuah truk dengan bak belakang terbuka. Tak tersedia kursi di belakangnya.
Kira-kira posisi duduknya seperti ini: Sukarno-Hatta bersama 20 prajurit PETA duduk berjongkok di bak belakang. Sedangkan Guntur dipangku Fatma, duduk di dalam, sebelah sopir.
"Di sepanjang perjalanan, kendaraan lain akan menarik perhatian Jepang, tetapi dengan memakai truk semacam ini, kita akan kelihatan sebagai pasukan militer yang sedang bergerak untuk beralih tempat. Kalau sampai disetop Jepang, Kita dapat menjawab sebagai prajurit yang sedang menuju pos penjagaan," tutur Sukarni, tokoh utama peristiwa ‘penculikan’ ini, seperti ditulis Julius Pour dalam Djakarta 1945: Awal Revolusi Kemerdekaan.
Suasana rumah penculikan Sukarno dan Hatta di Rengasdengklok, Karawang, Rabu (15/8/2018). (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana rumah penculikan Sukarno dan Hatta di Rengasdengklok, Karawang, Rabu (15/8/2018). (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Sukarno heran. "Kenapa tidak pakai kendaraan ini sejak awal?"
ADVERTISEMENT
"Tentu terlalu mencolok kalau kita membawa truk militer ke daerah Menteng, apalagi mendatangi kediaman Bung Karno. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati, menghindari patroli Jepang. Sekarang, malah sudah mulai beredar desas-desus, tentara Jepang akan segera melakukan operasi untuk menangkapi para pemimpin," ungkap Sukarni, tegas.
Peristiwa penjemputan paksa dari kediaman Sukarno oleh sekawanan pemuda, adalah musabab kegigihan hati Sukarno yang tidak mau mempercepat pembacaan teks Proklamasi.
Suasana rumah penculikan Sukarno dan Hatta di Rengasdengklok, Karawang, Rabu (15/8/2018). (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana rumah penculikan Sukarno dan Hatta di Rengasdengklok, Karawang, Rabu (15/8/2018). (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Kamis, 16 Agustus 1945, tepat pukul 03.00 dini hari, Sukarno tak bisa tidur. Isi kepalanya berkecamuk.
Kala itu di Pegangsaan Timur 56, Sukarno sedang sendirian di ruang makan menyiapkan santap sahur-- sedang bulan Ramadhan.
Desir angin dari semak-semak cukup menarik pendengarannya. Benar saja, sekelompok perwira berseragam PETA, menyelinap masuk.
ADVERTISEMENT
"Berpakaianlah Bung! Sudah tiba saatnya," ujar Sukarni lantang.
Sukarno, terhenyak, dengan mata membelalak, mencoba menerka.
"Ya, sudah tiba saatnya untuk dibunuh! Jika aku yang memimpin pemberontakanmu ini dan gagal, aku kehilangan kepala, engkau juga begitu yang lainnya. Anak buah mati ada gantinya, tapi pemimpin? Kalau aku mati coba siapa pikirmu yang akan memimpin rakyat bila datang waktunya yang tepat?" terangnya, seperti dikutip dari Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Mereka terlibat perdebatan panjang. Sukarno, akhirnya masuk ke kamar menemui Fatma.
"Sebelum fajar menyingsing, aku masuk ke kamar dan menemui Fatmawati yang sedang duduk di pinggir tempat tidur sambil memegang Guntur. Putra sulung kami yang baru sembilan bulan tersebut sedang berada di pangkuannya. Ketika aku sampaikan agar segera berpakaian, dengan cepat dia mengisi tasnya tanpa bertanya apa-apa”.
ADVERTISEMENT
“Dengan tulus, Fatmawati melakukan apa yang aku minta. Sambil memeluk Guntur, kami bertiga keluar ruangan dengan membisu karena sudah tidak ada gunanya berdebat dengan para prajurit PETA tersebut," ungkap Sukarno.
Kesetiaan Fatma cukup tergambar dalam Detik-detik proklamasi : saat-saat menegangkan menjelang kemerdekaan republik / Arifin Suryo Nugroho & Ipong Jazimah. Di situ, Fatma sempat berbicara sedikit kepada suaminya.
"Fat, pemuda akan membawa Mas ke luar kota. Fat ikut apa tinggal?"
"Fat sama Guntur ikut. Ke mana Mas pergi, di situ aku berada juga," jawab Fatma, risau.
Obrolan singkat terjadi setelah Fatma mendengar suara ribut-ribut di ruang makan. Di antara pemuda yang datang, Fatma mengenal beberapa, salah satunya Sukarni. Belakangan, Fatma mengetahui bahwa suaminya akan dibawa ke suatu tempat untuk diamankan.
Suasana rumah penculikan Sukarno dan Hatta di Rengasdengklok, Karawang, Rabu (15/8/2018). (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana rumah penculikan Sukarno dan Hatta di Rengasdengklok, Karawang, Rabu (15/8/2018). (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Setelah mengintip dan berbincang dengan Sukarno, Fatma langsung berkemas. Dengan selendang panjang, Fatma menggendong Guntur, buah hati mereka, yang juga diboyongnya bersama Sukarno. Ketiganya lalu meninggalkan kamar dan kembali ke ruang depan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Hatta rupanya sudah berada di dalam sedan flat hitam yang terparkir di muka rumah Sukarno. Sebelum menghampiri Sukarno, Jusuf Kuntho dan Sukarni memang lebih dulu menjemput Hatta.
Adapun misi para utusan pemuda saat itu: Menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok.
Rengasdengklok dipilih lantaran menjadi lokasi yang aman dari mata-mata Jepang. Selain itu, prjurit-prajurit PETA di sana, kerap menjalin hubungan dengan para pemuda di Jakarta.
Rencana dilancarkan. Sukarni membuat skenario: Mengatakan kepada Sukarno bahwa akan ada 15 ribu rakyat yang menyerbu Jakarta bersama gerombolan mahasiswa dan PETA, pada 16 Agustus 1945 pukul 12 tengah hari, untuk melucuti Jepang.
Tentu, serbuan itu terjadi lantaran Sukarno-Hatta yang tidak mengabulkan keinginan pemuda untuk membacakan teks Proklamasi. Akibatnya, banyak dari mereka yang bertindak sendiri. Sehingga, ada misi untuk mengamankan Sukarno-Hatta ke lokasi yang aman.
ADVERTISEMENT
Hatta mencoba menyadarkan Sukarni terkait serangan itu. Pasalnya, tutur Hatta, meski Jepang sudah kalah, tentaranya di Jawa masih banyak.
"Dengan menyerang kekuatan Jepang di Jakarta, saudara-saudara bukan melaksanakan revolusi, tetapi melakukan putsch (kudeta) yang akan membunuh revolusi,"
Apa boleh buat. Demi keamanan, Sukarno-Hatta lantas bergerak.
Pagi itu fajar sudah menyingsing. Guntur terbangun. Menangis sejadi-jadinya. Kalau saja Fatma tidak lupa membawa susu yang sudah ia panaskan sebelum berangkat, mungkin, truk yang membawa Sukarno-Hatta terus melaju.
"Aku pastikan, Guntur menangis karena lapar," tutur Sukarno.
Setiba di Rengasdengklok sekitar pukul 07.30, rombongan Sukarno-Hatta ditempatkan di sebuah ruang asrama PETA.
Sekitar beberapa puluh menit kemudian, mereka dipindahkan ke rumah seorang tuan tanah China, Djiaw Kie Siong, yang sengaja dikosongkan --300 meter dari asrama PETA. Alasan pemindahan itu sederhana: mencari lokasi yang lebih nyaman.
ADVERTISEMENT
Kebimbangan Sukarno-Hatta kian dirasakan saat tak ada aktivitas yang dilakukan di rumah tersebut. Penat dibunuh dengan saling memangku Guntur bergantian, sebisa mungkin tak membuat Guntur menangis karena kehausan.
Pukul 06.00, Jakarta gempar. Sukarno-Hatta hilang.
Rumah Penculikan Sukarno-Hatta. (Foto: Sari Kusuma Dewi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rumah Penculikan Sukarno-Hatta. (Foto: Sari Kusuma Dewi/kumparan)
Soeharto, dokter pribadi keluarga Sukarno, tidak menemukan Sukarno, Fatma dan Guntur di Pegangsaan Timur 56. “Pak Karno sekeluarga beberapa jam yang lalu dibawa pergi naik mobil oleh para prajurit PETA, entah mereka dibawa ke mana,” kata seorang pelayan, menceritakan kesaksiannya kepada Soeharto.
Akhirnya, Soeharto kembali pulang ke rumah. Kekhawatirannya memuncak tatkala seorang prajurit PETA, Abdurrachman, menerobos masuk ke ruang praktiknya dan meminta satu kaleng susu bubuk. Soeharto yakin betul itu pasti untuk Guntur.
ADVERTISEMENT
Kabar hilangnya dua pentolan PPKI itu sudah menyeruak hingga ke telinga Sudiro dan Ahmad Subardjo. Keduanya cemas, kelimpungan.
Karena beberapa jam lagi, sekitar pukul 10.00, sidang PPKI akan dimulai di Pejambon. Bagaimana bisa sidang dimulai tanpa kehadiran Sukarno-Hatta?
Subardjo segera menanyakan keberadaan Sukarno-Hatta ke dua pemuda lainnya, Wikana dan Chaerul Saleh. Menurut Hanafi dalam bukunya, Wikana, yang sudah tidak tahan menyembunyikan aksi ‘penculikan’ itu, segera membocorkannya kepada Subardjo.
Sedangkan sumber lain menyebutkan, orang yang ikut memberitahukan lokasi penculikan Sukarno-Hatta, tak lain adalah Jusuf Kunto.
Singkat cerita, tanpa berpikir panjang, Subardjo bergegas ke Rengasdengklok. Menjemput Sukarno-Hatta dan membawanya kembali ke Jakarta.
Dalam catatannya, Julius Pour tak secara eksplisit menceritakan akhir perjalanan Rengasdengklok. Yang jelas, Subardjo sempat membuat kesepakatan dengan penanggung jawab PETA di sana, Shodanco Soebeno, bahwa kemerdekaan betul-betul akan segera diumumkan.
ADVERTISEMENT
“Kami akan berusaha secepat-cepatnya. Yang pasti proklamasi kemerdekaan harus diucapkan oleh Sukarno-Hatta,” tutur Subardjo.
“Kalau tidak bisa?” kata Soebeno.
“Jika gagal, Bung boleh tembak saya.”
Sementara di waktu yang sama, emosi Sukarno sempat mendidih lantaran teriakan ‘revolusi’ yang diserukan Sukarni, dalam perjalanan.
Sukarni mencoba meyakinkan Sukarno saat melihat kepulan asap: tanda revolusi dimulai. Rakyat bergejolak. Padahal, kepulan asap itu berasal dari seorang marhaen yang sedang membakar jerami.
Sedangkan Hanafi, menggambarkan bagaimana akhir peristiwa itu terjadi: adanya kesepakatan antara Subardjo --yang mewakili golongan tua-- dengan Sukarni --mewakili golongan muda-- bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada 17 Agustus 1945.
Hanafi, merupakan salah seorang pelaku sejarah yang ikut dalam rapat-rapat gelap bersama golongan muda. Dia juga menjadi pionir dipercepatnya pembacaan teks Proklamasi.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya, Sukarni sendiri dan Subardjo datang ke tempat di mana kami sedang berada. Sukarni menjelaskan bahwa Bung Karno dan Bung Hatta telah setuju untuk memproklamirkan kemerdekaan sesudah mendapat jaminan bahwa Subardjo bersedia membantu rencana proklamasi kemerdekaan,” tulis Hanafi.
Subardjo cukup bijak menengahi perselisihan batin Sukarno dengan golongan muda saat itu. Dia pula yang akhirnya membawa Sukarno-Hatta, dan beberapa tokoh lainnya, untuk merumuskan teks Proklamasi di hari itu juga, secepatnya, di rumah perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Hindia Belanda, Laksamana Tadashi Maeda.
Pemuda bergerak menyebarkan kabar. Revolusi akan segera dimulai.
Simak ulasan lengkap Gaung Proklamasi dengan follow topik Penyelamat Proklamasi. Story-story akan kami sajikan pada Kamis (16/8) hingga Sabtu (18/8)
ADVERTISEMENT