Riset UI: Korupsi di Pengadilan Selalu Berkaitan dengan Layanan Publik

29 Agustus 2018 9:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana di PN Medan pasca OTT KPK. (Foto: Ade Nurhaliza/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di PN Medan pasca OTT KPK. (Foto: Ade Nurhaliza/kumparan)
ADVERTISEMENT
KPK kembali menangkap hakim dan panitera dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Kali ini, KPK menangkap Ketua Pengadilan Negeri (PN) Medan Marsudin Nainggolan dan Wakil Ketua PN Medan Wahyu Prasetyo Wibowo.
ADVERTISEMENT
Ditangkapnya seorang hakim dalam kasus suap memang bukan yang pertama kali, tapi tetap saja memprihatinkan. Menanggapi hal ini, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) menyayangkan kejadian ini. Apalagi dalam penelitian MaPPI FHUI tahun 2017, kasus korupsi di lembaga peradilan selalu berhubungan dengan suap dan pungutan liar.
Peneliti MaPPI-FHUI, Josua Collins, mengungkapkan, kasus korupsi yang kerap terjadi di lingkungan peradilan selalu berhubungan dengan layanan publik. Di antaranya layanan pendaftaran surat kuasa dan mendapatkan salinan putusan merupakan layanan yang selalu berpotensi terjadi pungutan liar.
"Dari 77 narasumber yang kami wawancarai, para pelaku yang melakukan pungutan liar terhadap layanan pendaftaran surat kuasa dan biaya salinan putusan dilakukan oleh panitera pengganti dan atau panitera muda hukum," ungkap Josua dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/8).
Saksi yang diperiksa KPK dalam kasus OTT Hakim di Medan. (Foto: Ade Nurhaliza/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Saksi yang diperiksa KPK dalam kasus OTT Hakim di Medan. (Foto: Ade Nurhaliza/kumparan)
Modus yang digunakan pun bermacam-macam. Seperti menetapkan biaya di luar ketentuan dan tidak dibarengi dengan tanda bukti bayar, tidak menyediakan uang kembalian, hingga memperlama pelayanan jika tidak memberikan uang tip atau imbalan yang diminta.
ADVERTISEMENT
"Untuk biaya pungutan surat kuasa berkisar antara Rp 10 ribu per surat kuasa hingga Rp 100 ribu per surat kuasa. Untuk mendapatkan salinan putusan, biaya dipatok mulai dari Rp 50 ribu per putusan hingga Rp 500 ribu," jelasnya.
Hal ini, menurut Josua, sangat disayangkan karena MA sudah cukup banyak menerbitkan peraturan yang bertujuan memberantas praktik pungutan liar di pengadilan, serta mempermudah masyarakat dalam mengakses layanan publik di pengadilan. Hal itu pun telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya.
MaPPI FHUI pun meminta MA beserta jajarannya untuk mengambil tindakan tegas terhadap para hakim dan pegawai pengadilan yang tertangkap tangan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, MA diminta untuk memastikan Peraturan MA Nomor 8 Tahun 2018 dijalankan dan diimplementasikan, yaitu mengenai kewenangan Ketua Pengadilan Tinggi menindak dan menonaktifkan para hakim sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
"MA perlu melakukan pembenahan manajemen perkara, terutama di tingkat PN agar menutup celah praktik suap dan korupsi. Mendorong Komisi Yudisial untuk aktif bersama MA dalam melakukan pengawasan kepada hakim," pungkasnya.
Kasus ini berkaitan dengan suap yang diberikan ke hakim dalam persidangan kasus korupsi dengan terdakwa Tamin, terkait kasus penjualan 106 hektare lahan yang dipakai PTPN 2 (Persero) di Kebun Helvetia. Lahan itu sempat digunakan perusahaannya, tapi tidak diperpanjang hak guna usaha (HGU)-nya.
Wakil Ketua PN Medan yang juga hakim Pengadilan Tipikor Medan, Wahyu Prasetyo Wibowo, memimpin sidang itu.