Rocky Gerung Disebut Bukan Filsuf Tapi Sofis, Apa Maksudnya?

5 Maret 2019 11:51 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rocky Gerung saat diwawancara di kantor kumparan. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rocky Gerung saat diwawancara di kantor kumparan. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Filsafat sukses mengambil atensi publik. Itu karena, ada seorang eks dosen filsafat UI Rocky Gerung yang meramaikan konstalasi politik tanah air. Dia kerap mengkritik pemerintah dengan argumentasi filosofis yakni, konseptual, abstrak, yang kadang kala perlu waktu untuk mencernanya.
ADVERTISEMENT
Mendekati hari pemungutan suara Pilpres 2019, Rocky makin sering tampil di hadapan publik. Dia lantas membawa pesan, bahwa publik harus merawat akal sehat. Pesannya itu lalu disambut meriah. Rocky kini punya penggemar, followersnya di Twitter naik berkali-kali lipat. Dari yang awalnya sekitar 80 ribu di awal tahun 2018, kini menjadi 609 ribu followers di 2019.
Di tengah melambungnya nama Rocky, ada sejumlah orang yang mempertanyakan klaim-klaim Rocky. Mereka merupakan sejumlah akademisi filsafat lintas kampus. Pertanyaan itu kemudian dimaterialisasikan ke dalam sebuah diskusi bertajuk ‘‘Menolak Pembusukan Filsafat’ yang digelar di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (14/2).
Dalam diskusi itu, ada sebuah kesimpulan: Rocky Gerung bukanlah seorang filsuf, melainkan sofis. Diskusi itu juga menghasilkan sebuah deklarasi. Salah satu poinnya adalah menolak praktik sofisme sebagai permainan tipu daya berbungkus kelihaian silat lidah dan permainan kata.
Sejumlah akademisi filsafat lintas kampus berkumpul di diskusi 'Menolak Pembusukan Filsafat', Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (13/2). Foto: Rizki Baiquni/kumparan
Sejarah Sofisme di Yunani Kuno
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah filsafat, istilah sofis maupun sofisme muncul di Yunani kuno pada pertengahan abad ke-5 SM. Pada saat itu, Athena di bawah komando Perikles berhasil mengalahkan kerajaan Persia. Athena pun menjadi pusat dari seluruh Yunani, lengkap dengan demokrasi, kemakmuran dan ilmu pengetahuan.
Orang Athena paham betul bahwa untuk menjalankan demokrasi, diperlukan politikus yang cakap dalam berargumentasi. Kemampuan retorika pada saat itu memang merupakan suatu kebutuhan yang wajib dimiliki politikus untuk mengemban jabatan publik.
Di tengah menjamurnya kebutuhan akan keterampilan retorika, muncul kemudian orang-orang yang menyediakan jasa semacam itu. Mereka lantas menjadi mentor dari para politikus. Orang menyebut mereka sebagai sofis.
Ilustrasi Sofis di Yunani. Foto: Dok. NYPL Digital Collections
Dalam bahasa Yunani, sofis berasal dari kata shopos, yang artinya ‘orang bijaksana’. Para sofis ini sangat dihormati masyarakat. Mereka adalah guru yang tidak hanya mengajarkan ilmu retorika, tetapi juga mengajar astronomi, matematika, hingga tata bahasa.
ADVERTISEMENT
Para sofis ini pandai pula berbicara tentang ontologi (cabang filsafat yang membahas Ada), fasih dalam hal metodologi, serta menguasai logika sebagai keterampilan berpikir dan berbicara.
Sejumlah nama sofis di antaranya adalah Protagoras, Gorgias, Prodikos, hingga Kritias. Mereka ini dekat dengan kekuasaan, akrab dengan para elite Athena. Salah seorang sofis, Protagoras bahkan tercatat turut merumuskan konstitusi bagi koloni Athena di Thurioi.
Panggung politik yang diisi sofis di Athena ini rupanya tak begitu disukai Socrates. Dalam sejumlah dialog yang dituliskan muridnya, Plato, Socrates resah dengan tindak tanduk para sofis di Athena.
Patung filsuf Socrates di Yunani. Foto: Pixabay
Dalam dialog berjudul Protagoras misalnya, Socrates menggambarkan seorang sofis sebagai 'pedagang yang menjual barang rohani’. Tak hanya itu, Socrates juga mengingatkan kepada para pemuda-pemudi Athena agar mewaspadai barang dagangan para sofis tersebut.
ADVERTISEMENT
“Dan kita harus berhati-hati, sahabatku, bahwa sofis, dalam memuji barang dagangannya tidak menipu kita seperti yang dilakukan pedagang dalam menjual makanan ” kata Socrates.
“Karena mereka memuji semua barang dangannya tanpa pandang bulu, tanpa sepengetahuan mereka apa yang benar-benar bermanfaat atau menyakitkan,” imbuhnya.
Dalam dialog itu, Socrates menunjukkan bahwa para sofis yang terkesan tahu segala hal sebetulnya tidak mengetahui apa-apa. Socrates lantas menuduh para sofis sebagai orang-orang pragmatis yang menjual kata-kata belaka.
Dalam sudut pandang Socrates, tuduhan itu bersandar paling tidak pada tiga hal. Pertama, tipikal sofis yang meminta bayaran. Kedua, ajaran relativisme. Ketiga, argumentasi yang tak peduli terhadap keutamaan (arete).
Ilustrasi suasana Yunani. Foto: Dok. NYPL Digital Collections
Berbeda dengan para sofis, Socrates memang tak pernah meminta bayaran sama sekali. Keputusannya itu membuat hidupnya miskin. Socrates tidak pula memiliki pengikut sebagaimana para sofis memilikinya. Yang dilakukan Socrates adalah berjalan-jalan ke Agora (pasar), bertanya apa ini dan apa itu ke setiap orang.
ADVERTISEMENT
Socrates tidak pula menjadi mentor dari politikus yang mengisi jabatan-jabatan strategis negara kota (polis). Dia tak mendapat panggung sama sekali. Sebaliknya, Socrates justru merupakan sosok yang berdiri sebagai oposisi.
Dalam Apologia yang ditulis Plato, Socrates menyebut dirinya sebagai lalat penganggu. Dia bahkan tak lagi peduli pada pemerintah Athena yang akan memberinya hukuman mati karena sikap kritisnya.
“Jika saya dapat menggunakan kata kiasan yang menggelikan, saya adalah semacam lalat pengganggu yang diberikan kepada negara oleh Tuhan,” kata Socrates.
Socrates hingga akhir hayatnya percaya bahwa ada nilai kebenaran dan kebaikan yang universal. Dalam pikirannya itu, apa yang baik untuk Athena pasti baik pula untuk Sparta, atau bahkan Persia. Memiliki keutamaan (arete), berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia. Prinsip ini berbeda dengan apa yang diyakini para sofis.
Patung filsuf Plato di Yunani. Foto: Shutter Stock
Dalam Aletheia yang ditulis Protagoras, salah seorang sofis misalnya, kebenaran selalu tergantung pada manusia. Manusia dalam hal ini individu yang menentukan benar tidaknya sesuatu. Artinya, kebenaran didasarkan pada masing-masing individu yang merasakannya. Kebenaran universal sebagaimana yang dibayangkan Socrates tidak pernah ada
ADVERTISEMENT
“Manusia adalah ukuran untuk segala-galanya. Untuk hal-hal yang ada sehingga mereka ada, dan untuk hal-hal yang tidak ada sehingga mereka tidak ada,” tulis Protagoras
Dalam buku lainnya, Antilogiai, Protagoras mentransformasikan pendapatnya itu ke dalam teknik berpidato. Yakni bukan persoalan benar atau salah di dalam sebuah gagasan, tetapi bagaimana membuat argumen yang paling lemah sekalipun menjadi kuat. Sekaligus bagaimana membuat sebuah wacana bisa diterima oleh pendengarnya.
Pernyataan dari sofis semacam inilah yang tak disepakati Socrates. Baginya, jika kebenaran itu relatif, maka praktik retorika yang diajarkan para sofis hanya akan terjebak pada keindahan kata-kata yang dibalut koherensi logis. Tidak ada pretensi untuk menggapai kebenaran itu sendiri.
Kritik dari Socrates terhadap para sofis ini yang kemudian dilanjutkan Plato, hingga muridnya lagi, Aristoteles. Plato bahkan menyebut para sofis ini bukanlah filsuf. Bagi Plato, filsuf merupakan seseorang yang menyadari ketidaktahuannya. Hal ini yang tidak mungkin dimiliki para sofis.
ADVERTISEMENT
Kritik Aristoteles atas Logika Sofis
Aristoteles juga melayangkan hal serupa. Secara khusus Aristoteles mengulas kerancuan berpikir para sofis dalam bukunya On Sophistical Refutations. Dalam kalimat pembuka, Aristoteles mengejek sofis sebagai orang yang hanya berorientasi pada uang.
“Sofis adalah orang-orang yang menghasilkan uang dari kebijaksanaan yang seolah nyata, tetapi sebetulnya tidak nyata,” tulis Aristoteles.
Secara spesifik, buku itu sendiri membeberkan 13 kesesatan (fallacies) yang dilakukan para sofis. Dari 13 kesesatan itu, terdapat enam kesesatan karena bahasa dan tujuh kesesatan sisanya merupakan relevansi mengenai materi penalaran.
Patung Aristoteles Foto: Pixabay
Aristoteles lantas menunjukkan bahwa landasan kebenaran dari sofis sangat lemah. Dia memaparkan bahwa preposisi yang dibangun dari kaum sofis tidak benar, sehingga kesimpulannya juga tidak benar.
ADVERTISEMENT
Sialnya, ketidakbenaran itu dapat mempengaruhi publik secara masif. Sepintas logis, tetapi sebetulnya tidak. Publik lalu dapat bersimpati dan memberikan dukungan meski argumen yang diajukan dibangun di atas kepalsuan, bukan kebenaran.
Hal yang paling kentara dalam logika yang digunakan sofis adalah silogisme. Menurut Aristoteles, para sofis mengajarkan politikus untuk mempengaruhi masyarakat dengan silogisme yang sebetulnya sesat pikir.
Dari sekian banyak sesat pikir itu misalnya, para sofis sengaja menyimpan kesesatan dalam hal definisi dan penarikan kesimpulan. Salah satu yang disebut Aristoteles adalah kesesatan lgnoratio Elenchi (kesimpulan yang tidak relevan).
Dalam kesesatan itu, terjadi simplifikasi dalam hal penarikan kesimpulan. Contoh sederhananya begini: Bila Tuhan tidak bisa dilihat, maka Tuhan tidak ada.
ADVERTISEMENT
“Mereka yang bergantung pada asumsi dasar, serta menyatakan itu sebagai penyebab atas apa yang bukan penyebabnya, jelas merupakan kasus ignoratio elenchi melalui definisi daripadanya,” kata Aristoteles.
Ilustrasi buku-buku tua Foto: Pixabay
Di tangan Socrates, Plato, maupun Aristoteles, sofisme lalu diterjemahkan sebagai sesuatu yang amat peyoratif. Mereka memandang sofisme tak lebih sebagai paham yang menjadikan filsafat sebagai ladang bisnis semata.
Kelindan Definisi Sofis
Persoalannya kemudian, di era kontemporer ini, distingsi antara filsuf maupun sofis sebagaimana yang diltuduhkan Socrates dan murid-muridnya itu begitu buram dan mendapat penolakan. Kesesatan berpikir dalam argumentasi yang dilakoni para sofis memang ada, tetapi itu bukan berarti seluruh bangunan pemikiran sofis keliru.
Sejumlah filsuf post-strukturalis seperti Jean-François Lyotard, hingga Jacques Derrida misalnya, menilai distingsi tersebut tidak tepat. Hal itu karena bagi mereka, baik para sofis maupun Socrates dan murid-muridnya juga sebetulnya tengah berfilsafat. Sofis bahkan memiliki sebuah diskursus filsafat yang dapat melampaui permainan bahasa.
ADVERTISEMENT
Sederhananya begini, Socrates dan murid-muridnya, bagi para pemikir post-strukturalis, merupakan seorang esensialis. Artinya, Socrates percaya bahwa selalu ada esensi (nilai yang stabil). Suatu pandangan yang senantiasa mendambakan absolutisme, dalam hal ini adalah kebenaran universal.
Jacques Derrida. Foto: AFP/PIERRE VERDY
Persoalannya kian rumit manakala kebenaran itu digugat sebagai hal yang tak lebih sebagai permainan bahasa. Dalam sejumlah dialog dari Plato misalnya, Socrates senantiasa bertanya: Apa itu baik? pertanyaan tersebut akan tergelincir pada suatu bayangan tentang baik yang ideal. Suatu manifestasi konsep ‘baik’ yang berada di atas langit.
Lalu kemudian, Socrates maupun Plato tak mungkin bisa melihat aspek-aspek lain dari pertanyaan ‘apa itu baik’. Sebaliknya di tangan para sofis, yang kemudian dielaborasi lagi di era kontemporer, pertanyaan itu mendapat pertanyaan balik yang cukup pelik. Misalnya, ‘baik untuk siapa? ‘
ADVERTISEMENT
Filsafat yang mendiskusikan tentang relasi kuasa pun memperoleh tempatnya di sini. Adagium ‘Sejarah adalah milik para pemenang’ dari Mantan Perdana Menteri Inggirs Winston Churchill lantas menemukan maknanya.
Bahwa ternyata, setiap zaman memiliki nilai kebenarannya tersendiri. Apa yang dianggap benar dan agung di suatu rezim, akan hilang terkikis oleh rezim lainnya. Buku-buku sejarah ditulis dalam semangat seperti itu. Tergantung siapa yang berkuasa.
Bandul sejarah di Yunani kuno misalnya, menempatkan perempuan sebagai nonpenduduk. Perempuan bahkan dianggap sebagai sebuah properti. Hal itu diafirmasi Plato dalam Republik. Pemikiran itu yang kemudian memenangkan kontestasi pemikiran di Athena, dianggap sebagai sebuah kebenaran pada masanya.
Dalam bahasa yang lebih filosofis, absolutisme atau bahkan kebenaran universal adalah jejak di belakang jejak. Itu bukan pula sesuatu yang independen berada di luar teks. Tak ada finalitas. Tak ada tafsir tunggal. Absolutisme pun roboh dengan sendirinya.
ADVERTISEMENT
Hal yang barangkali cukup bijak diungkapkan Alaxander Nehamas. Profesor filsafat Universitas Princeton itu menilai distingsi antara sofis dan filsuf sebetulnya terletak pada tujuan moral.
Yang satu uang dan yang lain bukan. Ini juga bukan soal siapa yang lebih filosofis dari siapa. Bukan pula soal siapa yang lebih berakal sehat dibandingkan yang lainnya. Yang terjadi, keduanya sama-sama berfilsafat dengan cara, pemikiran, dan posisi yang hanya saja berbeda. Tidak lebih.
"Socrates tidak berbeda dari sofis dalam metode, tetapi yang berbeda adalah tujuan keseluruhan," kata Nehamas.
Jadi, anda lebih percaya yang mana?