RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Tersandera RKUHP

30 Juli 2019 18:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pelecehan seksual Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelecehan seksual Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus kekerasan seksual yang kian marak dinilai terjadi lantaran Indonesia belum memiliki payung hukum yang kuat. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dianggap sebagai kuncinya.
ADVERTISEMENT
Namun hingga kini, RUU tersebut tak kunjung rampung. Padahal, anggota DPR periode 2014-2019 sudah di pengujung masa jabatan.
Anggota Komisi III DPR, Taufiqulhadi, menilai, RUU PKS tidak bisa berjalan sendiri. Menurutnya, RUU PKS harus lebih dulu menunggu Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) selesai. Alasannya, agar tak ada potensi tabrakan atau tumpang tindih antara RUU PKS yang sudah berjalan dengan RKUHP.
Artinya, pengesahan RUU PKS bergantung pada RKUHP. Sebab, RKUHP yang menjadi induk hukum pidana, mengatur secara umum tentang pasal-pasal kekerasan seksual (lex generalis).
Anggota Komisi III DPR Fraksi NasDem Taufiqulhadi. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Nantinya, pasal-pasal khusus tentang kekerasan seksual baru akan diturunkan di RUU PKS (lex specialis). Sehingga, RKUHP akan dijadikan acuan.
"Karena apa, RUU bisa-bisa mengalami over kriminalisasi, seperti yang disampaikan. Yang ditanyakan tadi itu bisa terjadi RUU PKS, tapi itu tidak dibenarkan RUU KUHP," kata Taufiqulhadi dalam sebuah diskusi bertajuk 'RUU PKS Terganjal RKUHP?' di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (30/7)
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan, potensi akan saling bertabrakan itu terjadi jika RUU PKS mengatur hak perlindungan perempuan dari segala bentuk atau unsur kekerasan seksual secara fisik maupun nonfisik. Sementara dalam RKUHP, lebih kepada perlindungan korban sekaligus melindungi pelaku over kriminalisasi.
"Menurut saya ini penting sekali untuk diperhatikan, untuk mereka yang sedang membahas RUU PKS. Jangan sampai bertabrakan dengan RUU KUHP, karena kenapa, konstitusi hukum pidana kita. Di situlah kemudian dan kita sudah memasukkan semua perspektif, apakah perspektif agama, HAM, semua kita masukan," tuturnya.
"Oleh karena itu, menurut saya, dalam RUU PKS, dia harus ada limitasi. Limitasi dan kemudian ada parameter yang jelas terhadap hal tersebut, tidak boleh kemudian bergerak sendiri. Kalau itu bergerak sendiri maka hal itu terlepas dari RKUHP," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Politikus NasDem itu menilai RKUHP harus diselesaikan terlebih dahulu. Ia mewakili Komisi III meyakini bahwa RKUHP dapat dirampungkan pada masa periode 2014-2019.
"Menurut saya acuannya adalah kepada RUU KUHP dan RUU KUHP insyaallah, saya sebagai anggota Panja, insyaallah karena ada komitmen untuk menyelesaikan RUU ini. Periode ini kan akan berakhir pada bulan september, jadi RKUHP bisa disahkan sebelum September," tandasnya.
Diah Pitaloka. Foto: Ochi Amanaturrosyidah/kumparan
Sementara itu, Anggota Komisi VIII di DPR RI, Diah Pitaloka, mengaku sependapat. Dia mengatakan, pembahasan RKUHP akan melihat juga dasar pertimbangan RUU PKS.
"Jadi RKUHP lebih maju dari sebelumnya. Akan berlapis memang karena RKUHP sifatnya pidana umum. Jadi lex generalis, baru nanti kita lengkapi kalau diperlukan lex specialis-nya lewat RUU PKS," tutur Diah.
ADVERTISEMENT
Awal Mula Usulan RUU PKS
RUU PKS kali pertama diinisiasi oleh Komnas Perempuan. Mereka menganggap, kasus yang dialami korban kekerasan seksual tidak dapat diproses melalui sistem peradilan pidana di Indonesia karena tidak ada landasan normatif bagi penegak hukum untuk menindaklanjuti jenis tindak pidana yang dialami korban.
Ini artinya, bisa saja pemidanaan dan penindakan terhadap pelaku menjadi tak berlaku atau dibebaskan karena tak memiliki dasar hukum kuat. Bahkan korban tidak bisa memperoleh pemulihan atas hak-hak yang hilang dan kerugian yang dialami akibat kekerasan seksual.
Menghadapi pelecehan seksual Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan
RUU PKS hadir untuk melindungi hak-hak korban yang selama ini tidak dipedulikan. Komisioner-Ketua Subkom Divisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, menilai, RUU ini bisa menegakkan keadilan dan memberikan proses hukum bagi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
ADVERTISEMENT
“Isu kekerasan seksual ini tidak ada dalam hukum manapun. Dengan adanya RUU ini, negara bisa lebih adil dalam memberikan keadilan dan proses hukum terhadap kasus-kasus yang menyangkut perempuan,” tutur Mariana dalam sebuah wawancara dengan kumparanSTYLE.
Setidaknya, ada lima alasan mengapa RUU PKS diusulkan. Yakni: angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat, penyelesaian kasus kekerasan seksual selama ini seringkali merugikan perempuan, tidak adanya sistem pemidanaan dan penindakan terhadap beberapa jenis kekerasan seksual, korban dan keluarga akan mendapat dukungan proses pemulihan dari negara, dan pelaku kekerasan seksual akan mendapat akses untuk rehabilitasi.