Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Satu Frekuensi Menyambung Gaung Proklamasi
16 Agustus 2018 10:06 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Bom ‘Little Boy’ dan ‘Fat Man’ yang dijatuhkan pesawat Amerika Serikat ke Hiroshima dan Nagasaki menjadi puncak rentetan kekalahan Jepang terhadap sekutu. Douglas MacArthur, Panglima Tertinggi Komando Sekutu Anti-Jepang di Pasifik, merangsek pertahanan Jepang dengan menghancurkan kantong-kantong wilayah Jajahan Dai Nippon, mengubur dalam-dalam impian Emporium Asia Timur Raya.
ADVERTISEMENT
Kabar Jepang menyerah tanpa syarat pada 14 Agustus 1945 langsung dikabarkan melalui siaran radio internasional. Indonesia, melalui sejumlah pemuda, mendapat kabar kekalahan itu dari Radio BBC London, tiga hari sebelum teks Proklamasi menggema di Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta.
Golongan muda intelektual radikal terus menyiarkan berita kekalahan tersebut dan merancang agar Indonesia bisa segera merdeka dari Jepang, juga merdeka dari segala bentuk penjajahan dan kolonialisme.
Desakan demi desakan dilayangkan ke dua dedengkot Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Sukarno-Hatta. Para pemuda jengkel, tak mau mendapat janji kemerdekaan kelak di kemudian hari --disponsori Jepang.
Gayung bersambut. Usai melalui drama perjuangan, perumusan teks Proklamasi berhasil dirampungkan pada 17 Agustus 1945, hampir subuh --di bulan Ramadhan--.
ADVERTISEMENT
Tepat siangnya, pada pukul 10.28 waktu Jawa, Proklamasi Kemerdekaan berhasil dikumandangkan atas nama bangsa Indonesia, Sukarno-Hatta.
Setelah hajat bangsa itu selesai dan massa yang hadir membubarkan diri, Hatta berpesan kepada para pemuda, terutama B.M Diah, wartawan yang turut hadir saat merumuskan teks Proklamasi, untuk menyebarkan dan menyiarkan berita itu ke seluruh penjuru.
Euforia kemenangan mengalir deras ke Jakarta dan kota-kota besar. Pesan itu disampaikan secara berantai melalui berbagai media massa, mulai dari radio, koran, telegraf, selebaran, coretan dinding, hingga pekik merdeka di sudut jalan.
Mereka membagi tugas-tugas tersebut ke dalam beberapa kelompok. Setiap kurir-kurir kemerdekaan yang diutus, menyebar, memberitakan bahwa Indonesia merdeka atas kemauan dan usaha sendiri.
ADVERTISEMENT
Kelompok Sukarni misalnya, memusatkan kegiatan kelompoknya di jalan Defensielijn van den Bosch (sekarang Jalan Bungur Besar) untuk mengatur siasat. Semua alat komunikasi digunakan.
Namun, status Jepang yang masih terikat janji terhadap sekutu untuk menjaga status quo --tak boleh ada aktivitas dan perlawanan-- membuat usaha penyiaran Proklamasi itu terhambat. Aktivitas-aktivitas perlawanan, termasuk mengabarkan kemerdekaan, sebisa mungkin mereka redam.
Selain itu, keterbatasan teknologi yang dimiliki, membuat kabar penerimaan kemerdekaan menjadi tak kompak.
Di Jakarta, kabar Proklamasi disebarluaskan melalui radio Domei dan koran Asia Raya. Sebut saja Adam Malik, B.M Diah, hingga Jusuf Ronodipuro, memegang andil besar menjadi penyambung kemerdekaan ke telinga dan mata rakyat.
Gaung Proklamasi tidak berhenti di Jakarta. Kabar itu terus berantai diterima utusan pemuda, dan disebarkan ke seluruh penjuru Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bagaimana sekilas proses penyebarannya? Simak video di atas.
Simak ulasan lengkap Gaung Proklamasi dengan follow topik Penyelamat Proklamasi . Story-story akan kami sajikan pada Kamis (16/8) hingga Sabtu (18/8).