Sebut Saja Kami Tuli

13 Februari 2017 21:19 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Saya Tuli dan Saya Bangga. (Foto: Instagram @vinaswag89)
Tunarungu atau Tuli? Dua kata itu sering digunakan untuk menggambarkan kondisi seseorang yang tak bisa mendengar.
ADVERTISEMENT
Sebagian dari kita berasumsi bahwa tunarungu merupakan sebutan yang lebih baik dan dapat diterima oleh orang-orang yang tak bisa mendengar. Tapi apa benar mereka lebih senang dan menerima jika disebut tunarungu?
Lalu, bagaimana dengan sebutan Tuli? Jika seseorang memanggil tuli pada orang lain, sontak kita merasa jengkel atau meringis mendengarnya. Alasannya sederhana, kata Tuli terkesan kasar dan merendahkan. Betulkah seperti itu?
Pertanyaan itu akhirnya dijawab oleh Adhi Kusumo Bharoto (30), salah satu lelaki yang tak bisa mendengar.
Adhi Kusumo Bharoto (Foto: Facebook: Adhi Kusumo Bharoto)
Kepada kumparan Adhi mengaku lebih senang bila dipanggil dengan sebutan Tuli, bukan tunarungu.
"Saya pribadi lebih suka dipanggil Tuli (dengan huruf depan kapital). Sebagian Tuli di Indonesia lebih suka dipanggil Tuli daripada tunarungu. Hal ini karena mereka mengetahui makna dan sejarah terhadap diri mereka sendiri," tutur Adhi melalui pesan singkat Sabtu (11/2/2017).
ADVERTISEMENT
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Tuli terkait dengan istilah yang kasar dan tidak sopan apabila diucapkan pada orang lain sehingga bisa membuat orang lain tersinggung atau marah. Wajar apabila orang normal lain memiliki pandangan demikian terhadap kata Tuli dan lebih memilih menggunakan kata tunarungu.
Namun Adhi menjelaskan bagaimana orang Tuli menanggapi istilah Tuli itu sendiri. Adhi bercerita bahwa bagi Tuli, istilah itu normal saja.
"Sebenarnya, ini berhubungan dengan sosial di Amerika. Sebagian besar Tuli mengadopsi istilah Tuli dari kata Deaf. Istilah Tuli lebih mengacu pada kelompok minoritas linguistik yang menggunakan bahasa isyarat," kata Adhi.
Tuli dan Orang Dengar memiliki budaya yang berbeda, jelas Adhi. Orang Dengar menggunakan bahasa suara untuk berkomunikasi, sedangkan Tuli menggunakan bahasa isyarat.
ADVERTISEMENT
"Bahasa isyarat dan budaya Tuli merupakan identitas dan jati diri. Sedangkan tunarungu, dari segi makna kosakata, dikaitkan dengan kondisi pendengaran yang rusak, tidak bisa berbicara, dan tidak normal. Ada yang menganggap itu sebuah penyakit sehingga perlu diperiksa, diberi alat bantu dengar, dipasang implan koklea, terapi-terapi lainnya, sehingga dapat seperti "orang normal" lainnya," ungkap Adhi.
Apa yang diungkapkan oleh Adhi sepertinya memang benar. Kebanyakan dari kita menganggap bahwa Tuli merupakan sebuah penyakit dan merupakan "ketidaknormalan" sehingga berpikir bahwa mereka (Tuli) sangat memerlukan belas kasihan dan bantuan.
Bahasa isyarat (Kamu, Saya, Setara). (Foto: Instagram @vinaswag89)
Adhi menceritakan bagaimana perasaan dan pandangannya tentang kondisi yang dia dan kawan-kawan Tuli lainnya rasakan.
"Sebagian Tuli tidak merasa bahwa kondisi mereka sebuah kekurangan, mereka merasa normal. Hidup normal, hambatan yang dialami Tuli dan orang dengar itu hanyalah perbedaan budaya dan bahasa, serta lingkungan yang tidak mendukung seperti aksesibilitas bahasa isyarat, running teks, gambar visual, dan lainnya. Tuli memberi dampak positif dalam hidup, lebih tepatnya pandangan hidup yang positif dan normal. Kami tidak membutuhkan belas kasihan, mengandalkan orang lain, minta-minta dan lainnya,” papar Adhi.
ADVERTISEMENT
Senada dengan Adhi, Phieter Angdika mengungkapkan lebih suka disebut Tuli dibandingkan tunarunggu. Alasannya tidak jauh berbeda dengan Adhi.
Phieter Angdika. (Foto: Facebook: Phieter Angdika)
"Saya lebih suka disebut Tuli karena itu berdasarkan dari budaya dan identitas. Tunarungu itu berasal dari kata medis dan bersifat harus berusaha menjadi mendengar tetapi saya lebih suka Tuli karena sama-sama setara daripada Tunarungu yang berkesan "kasihan",” tutur Phieter dalam pesan tertulisnya.
Budaya Tuli
Adhi menjelaskan Tuli memiliki budaya tersendiri. Budaya Tuli dan Orang Dengar memiliki perbedaan, dan budaya Tuli merupakan salah satu ilmu pengetahuan.
"Kami berkomunikasi dengan berhadapan dan mata saling memandang. Apabila salah satu tengah berbicara menggunakan bahasa isyarat, kawan bicaranya tiba-tiba menoleh atau mata memandang arah lain bisa dianggap tidak sopan,” kata Adhi mencontohkan.
ADVERTISEMENT
"Contoh lain, kami memiliki nama isyarat. Sedangkan Orang Dengar tidak punya nama isyarat kecuali telah berkecimpung dengan Tuli lain seperti bergaul, berkawan, bertetangga, dan lainnya. Ketika Anda kenal seorang Tuli, lalu bergaul. Lama-lama Anda akan diberi nama isyarat olehnya sebagai identitas Anda," imbuhnya.
Sosialisasi Kata Tuli
Menurut Adhi sebagian orang masih menolak dipanggil Tuli dan lebih nyaman dengan Tunarungu. Hal ini karena minimnya jurnal-jurnal atau artikel-artikel yang mengaitkan dengan definisi dan makna Tuli di Indonesia.
"Istilah tunarungu dalam bahasa Inggris sepadan dengan Hearing Impaired. Di Amerika, banyak sekali jurnal, artikel, teori, sejarah yang berkaitan dengan Tuli. Indonesia sendiri masih perlu banyak belajar tentang ketulian. Perlu banyak sosialisasi," tutur Adhi.
ADVERTISEMENT
Adhi mengatakan sudah banyak upaya yang dilakukan oleh komunitas Tuli atau Organisasi Tuli untuk mensosialisasikan kata Tuli. Hasilnya ada yang positif dan negatif.
“Ada pro kontra terkait penggunaan istilah, yang positif sebagian setuju dan memahami definisi Tuli sebagai pelajaran baru bagi mereka. Sedangkan yang negatif itu tidak setuju karena alasannya macam-macam, ada yang bilang itu kasar, tidak sopan, dan merendahkan,” jelas Adhi.
Selain itu, sosialisasi penggunaan Tuli juga memerlukan proses yang panjang. Adhi berharap pemerintah turut mensosialisasikan penggunaan istilah tersebut.
“Sejauh ini belum ada upaya dari pemerintah, tetapi sebagian orang dari pemerintah mengetahui penggunaan Tuli,” katanya.
Tuli bukan merupakan sebuah kekurangan, itulah yang dirasakan oleh Adhi dan Pieter. Mereka berharap masyarakat bisa mempelajari budaya mereka (Tuli), sebagaimana mereka belajar budaya orang normal. Selain itu mereka juga yakin bahasa Tuli maupun bahasa dengar sama-sama bisa dipelajari.
ADVERTISEMENT
“Kami dididik, Anda dididik. Kami bisa, Anda bisa, kita sama” tutup Adhi dan Phieter.
Adhi bersama rekan-rekannya saat di Amerika. (Foto: Facebook: Adhi Kusuma Barata )