Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sejarawan UI Sesalkan Argumen JK Soal Rumah Cimanggis
21 Maret 2018 3:50 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
ADVERTISEMENT
Peneliti dan pengajar sejarah Universitas Indonesia Bondan Kanomoyoso menyesalkan pendapat Wakil Presiden HM Jusuf Kalla mengenai rumah Cimanggis di bulan Januari lalu. Pendapat JK yang dimaksud yakni, "Rumah itu rumah istri kedua dari penjajah yang korup, masa situs itu harus ditonjolkan terus?" dan "Jadi rumah istri kedua gubernur yang korup, masa mau menjadi situs masa lalu?"
ADVERTISEMENT
Bondan mengatakan, mayoritas gubenur jenderal yang pernah memimpin VOC merupakan orang-orang yang korup dan punya istri simpanan. Sedangkan istri sah mereka rata-rata tinggal di Belanda.
Menurut Bondan, tidak semestinya JK mengeluarkan pendapat semacam itu tentang rumah Cimanggis. Dia meminta JK untuk menggunakan sudut pandang yang lebih positif.
"Begitu saya baca, mohon maaf, argumentasinya Pak Wapres saya sedih sekali, kenapa saya sedih sekali karena sama sekali tidak menunjukkan argumen-argumen yang cerdas," ujarnya.
Bondan menekankan, banyak aspek historis yang perlu disampaikan. Salah satunya adalah nilai artistik bangunan tersebut merupakan salah satu gaya arsitektur terbaik di akhir abad ke-18.
"Rumah Cimanggis gaya bangunannya salah satu contoh gaya arsitektur terbaik di akhir abad 18, dibangun dengan gaya Indis perpaduan Eropa dan Asia, atap yang tinggi untuk menahan terik dan hujan (cocok untuk daerah tropis)," kata Bondan dalam diskusi Studi Klub Sejarah Universitas Indonesia di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (20/3).
Selain itu, menurut Bondan rumah tersebut bukan hanya menjadi cacatan sejarah sebagai rumah bekas isteri kedua Gubenur Jenderal VOC yang korup, seperti kata JK, melainkan sebagai catatan sejarah bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Penghuni rumah ini bukan hanya orang Belanda tapi orang-orang Indonesia (karena yang tinggal banyak pula pembantu dari orang-orang Indonesia), nah dengan menyelamatkan rumah ini bisa menyelamatkan sejarah," terangnya.
Bondan melanjutkan bahwa sejarah satu bangsa dengan bangsa lainnya memiliki keterikatan satu sama lainnya. Baik maupun buruk adalah bagiannya.
"Sejarah itu share history, enggak ada sejarah itu milik satu bangsa saja, jadi enggak bisa kita mengira-ngira mana punya kita, kita amankan, bukan punya kita, kita hancurkan," paparnya.
"Di seluruh dunia itu sudah terjadi, dan itu sharing history, yang berbagi bukan cuma orang Indonesia, Belandanya juga. Kalau bangsa lain bisa menerima, kita enggak, berpikir seperti itu kalau bukan sejarah kita, (apa) kita hancurkan," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Dia juga menjelaskan, rumah Cimanggis bukan peninggalan Gubenur Jenderal Belanda Petrus Albertus Van der Parra, melainkan peninggalan Gubenur Jenderal VOC. Kedua jabatan ini berbeda.
"(Rumah Cimanggis) dibangun di tahun 1775 dibangun di kawasan ommelanden (sekitar daerah) Batavia, yang dibangun pada masa VOC," kata Bondan.
"Bukan masa penjajahan Belanda ya, harus bisa dibedakan," imbuhnya.
Bondan juga menekankan bahwa rumah Cimanggis tersebut dibangun menjelang bubarnya VOC, yang dibubarkan di tahun 1799.
"Ketika rumah Cimanggis dibangun ini VOC sudah cukup lama berdiri, dan rumah itu dibangun menjelang VOC runtuh," terangnya.
Dengan demikian, Petrus Albertus Van der Parra merupakan Gubenur Jenderal VOC. Notabene pada saat itu Belanda belum menjajah Indonesia dan VOC hanya kongsi dagang Belanda yang diberikan Hak Oktroi (hak istimewa) oleh Kerajaan Belanda untuk melebarkan kekuasaannya dalam melakukan monopoli perdagangan dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Diantara hak-hak istimewa tersebut adalah
1. Hak monopoli perdagangan
2. Hak untuk membuat uang
3. Hak untuk melaksanakan perjanjian dengan kerajaan di Indonesia, dan
4. Hak untuk membentuk tentara/ pasukan
Setelah VOC bangkrut pada tahun 1799, maka secara langsung pada tahun 1800 semua hak dan tanggung jawab VOC diambil alih oleh kerajaan Belanda. Dengan demikian Indonesia dijajah langsung oleh negeri Belanda dan Indonesia resmi menjadi anak jajahan Kerajaan Belanda dan bernama Hindia-Belanda.