LIPSUS GAME PUBG DAN KEKERASAN, Cover Story

Semua Gara-gara PUBG

1 April 2019 11:28 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bermain PUBG. Foto: Herun Ricky /kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bermain PUBG. Foto: Herun Ricky /kumparan
Chirson memesan segelas minuman dingin setiba di warung kopi langganannya. Di tangan kirinya terselip sebatang rokok yang baru saja ia bakar. Sementara tangan kanannya langsung memutar ponsel, bersiap memulai permainan.
MabarlahPUBG kuy…” teriak pemuda 20 tahun itu, mengajak dua kawan sepermainannya di warkop itu dengan tak sabar. Mabar yang ia maksud adalah “main bareng”.
Chirson dan dua temannya segera larut dalam dunia di balik layar telepon genggam. Mereka bermain battle royale mobile game yang bernama PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG). Suara desing peluru dan pekik ketiga anak muda mendadak memenuhi warkop di pinggir jalan kawasan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, itu.
“Awas, ada yang nembak dari atas gedung. Ngumpet dulu,” jerit Chirson ditimpali teriakan dua kawannya.
Chirson dan kawan-kawan bukanlah atlet game profesional. Mereka berstatus mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta Jakarta.
Baru satu tahun belakangan Chirson bermain PUBG. Permainan itu baginya hanya untuk mengisi waktu luang seraya melepas penat sepulang kuliah.
“Kalau main paling malam hari begini. Mainnya juga bareng teman sendiri, jadi lebih seru. Kalau temannya mati duluan, bisa kita kata-katain,” tutur Chirson diiringi gelak tawa, Sabtu (30/3).
Tapi ia sadar, PUBG kerap membuatnya lupa waktu. Malam itu saja, tanpa disadari, ia telah bermain selama lima jam. Minuman yang dipesannya bahkan terlupakan. “Rokok baru dibakar aja lupa diisap, saking fokusnya main, tiba-tiba (rokok itu) udah habis aja.”
Kini, rencana pemberian fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk PUBG sedikit banyak membuat ia waswas. Meski masih dalam proses pengkajian, game favoritnya itu bisa jadi masuk dalam daftar haram MUI.
Wacana pemberian fatwa haram untuk PUBG muncul sebagai reaksi atas aksi teror di Christchurch, Selandia Baru, pertengahan Maret lalu. Penembakan bengis oleh Brenton Harrison Tarrant itu diduga terinspirasi misi penembakan di video game.
Tarrant, dalam catatannya sebelum melancarkan serangan yang menewaskan 50 orang itu, menyebut beberapa nama game bertema battle royale seperti Fortnite dan Spyro the Dragon.
Spekulasi di media sosial lantas kian liar, dan menyebut PUBG termasuk salah satu game yang mempengaruhi kesadisan aksi teror Tarrant. Pemuda 28 tahun itu diketahui kecanduan video game yang membuatnya menghabiskan waktu siang dan malam di hadapan layar.
Keresahan banyak pihak lantas membuat MUI merasa mesti turun tangan. Alhasil wacana mengharamkan game PUBG pun mencuat.
Sebagai tindak lanjut dari wacana fatwa haram itu, MUI menggelar Focus Group Discussion (FGD) di kantor MUI, Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (26/3).
MUI menggelar FGD terkait isu dugaan keterkaitan game PUBG dengan peristiwa teror, Selasa (26/3). Foto: Helmi Afandi/kumparan
Pada forum itu, MUI memanggil beberapa pemangku kepentingan terkait seperti Asosiasi e-Sport Indonesia (ieSPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), psikolog forensik, hingga Ditjen Aplikasi Informatika Kominfo. Belum ada fatwa keluar sebagai hasil FGD malam itu, namun lahir tiga rekomendasi bagi pemerintah.
Pertama, mengoptimalkan sisi positif game serta meminimalisir sisi negatif game. Kedua, me-review Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik. Ketiga, memperhatikan pembatasan usia, konten, waktu, dan dampak yang ditimbulkan.
“Belum tentu nanti menjadi fatwa. Entah nanti bentuknya seperti apa masih kita dalami. Kalau nanti temuannya lebih banyak pada panduan, kita masuknya (buat) panduan. Kita ini kalau belum paham betul tentang apa yang kita ingin fatwakan, kita akan terus menggali informasi terlebih dahulu,” terang Wasekjen Bidang Fatwa MUI, Salahuddin al-Ayyubi kepada kumparan.
Rencana Fatwa Haram PUBG. Infografik: Basith Subastian/kumparan
PUBG merupakan game yang memadukan unsur kemampuan bertahan hidup atau survival. Dalam sekali bertanding, 100 pemain akan dikumpulkan lalu diangkut dengan pesawat menuju pulau tertentu. Di pulau itu, para pemain akan berebut item seperti senjata, rompi anti-peluru, helm, dan kebutuhan lain untuk bertahan hidup.
Untuk survive, mereka harus menyingkirkan para pemain lain agar bisa menjadi pemenang di akhir permainan. Hingga kini, aplikasi PUBG telah diunduh 400 juta kali di seluruh dunia, termasuk oleh mereka yang menggunakan PC atau Xbox One. Khusus versi mobile, PUBG telah diunduh tak kurang dari 240 juta kali.
Sementara jumlah pemain di Indonesia per September 2018 tercatat sebanyak 10 juta, dengan lima juta di antaranya merupakan pengguna aktif. Para pemain ini rata-rata berusia remaja hingga dewasa muda.
Tak aneh, sebab pengguna internet di Indonesia didominasi oleh kelompok usia 19-34 tahun dengan porsi 49,52 persen, sedangkan 16,68 persen lainnya ialah kelompok usia remaja 13-18 tahun.
Ilustrasi pertandingan Esports. Foto: Dok. Bob Frid-USA TODAY Sports
Klasifikasi online game sebenarnya sudah diatur dalam Permen Kominfo No. 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik. Permen tersebut mengatur batas usia pemain game yang mengandung unsur kekerasan. Permainan jenis itu mesti dimainkan oleh mereka yang minimal berusia 18 tahun.
Meski demikian, permen itu dinilai masih terlalu lemah dan minim pengawasan. Menurut Komisioner Bidang Pornografi dan Cyber Crime KPAI Margaret Aliyatul Maimunah, Permen Kominfo 11/2016 masih jauh dari kata ideal. Ia tak melihat kontrol langsung terhadap aturan batas usia pemain online game.
“(Pengguna internet) nggak semua paham game ini boleh untuk usia berapa. Kontrolnya lemah, anak (yang seharusnya) belum boleh main game itu (malah) sudah main. Pemerintah harus menyiapkan regulasi,” kata Margaret kepada kumparan, Jumat (29/3).
Margaret menyetujui usul SIM Card khusus anak yang muncul di forum FGD bersama MUI. Ia berpendapat, ide Dirjen Aptika Kominfo untuk membuat SIM card khusus anak patut dipertimbangkan lebih lanjut.
“Jadi SIM card itu sudah dibersihkan atau difilter dari hal-hal negatif, yang isinya nggak sama dengan SIM card orang dewasa. Kalau memang pemerintah mampu membuat itu, saya kita itu ide yang bagus,” ujar Margaret.
Game PUBG Mobile. Foto: Muhamamd Fikrie/kumparan
Bukan Cuma Indonesia
Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mengkaji permainan PUBG. Kota-kota di Gujarat, India, telah lebih dulu mengeluarkan aturan soal game tembak-menembak ini. Malahan, di India, PUBG telah dianggap ancaman, bahkan disebut sebagai “setan di tiap rumah”.
Mengutip laman Hindustan Times, Minggu (31/3), Kepolisian di kota Rajkot sampai menangkap 10 mahasiswa yang kedapatan bermain PUBG. Kesepuluh mahasiswa itu kemudian dibebaskan setelah membayar uang jaminan.
Mendapati produknya dipermasalahkan di India, sejak 18 Maret, PUBG Corp—lewat pernyataan resminya—langsung membuat aturan baru, yakni membatasi waktu bermain untuk pemain di bawah umur.
Bermain PUBG. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
Di Negeri Sembilan, Malaysia, pemerintahan setempat juga ingin melarang PUBG. Pemimpin Negeri Sembilan, Mufti Yusof Ahmad, menganggap PUBG berdampak negatif karena bisa mengarahkan perilaku generasi muda ke tindakan terorisme dan memupus rasa cinta sesama manusia.
Untuk itu, ia meminta pemerintah Malaysia segera mempertimbangkan pelarangan PUBG. “Tujuan (PUBG) adalah membentuk generasi muda agar menikmati perang, bertarung, dan kegiatan yang ganas,” tegasnya.
Namun Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia, Syed Saddiq, menegaskan PUBG tak sepatutnya disalahkan atas tragedi yang terjadi di Selandia Baru. Ia berpendapat, ekstremis akan tetap melakukan aksi kekerasan walau tanpa pengaruh video game.
“Percayalah, ada atau tidak ada pengaruh dari online game, orang-orang dengan keyakinan ekstrem akan tetap melakukan aksi kekerasan,” ujarnya
Presiden AS Donald Trump menyalahkan PUBG dalam aksi penembakan di Florida. Foto: Reuters/Jorge Silva.
Kecaman terhadap tindakan yang diduga karena game juga sempat terlontar dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Ia menyalahkan video game terkait aksi penembakan di sekolah di Parkland, Florida, yang menewaskan 17 orang pada Februari 2018.
Dilansir The Guardian, Trump meyakini video game telah membentuk pemikiran anak muda soal kekerasan. “Kita harus mengawasi internet karena ada banyak hal buruk yang terjadi pada anak muda (akibatnya). Saya dengar ada banyak orang mengatakan tingkat kekerasan di video game benar-benar membentuk pola pikir anak muda,” kata Trump, 8 Maret 2018.
Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menjelaskan, online game yang mengandung unsur kekerasan memang berpengaruh terhadap perilaku pemainnya.
“Ada meta-analisa dengan jumlah peserta 134 ribu orang. Kesimpulannya solid: game yang kontennya tentang kekerasan, berpengaruh sangat kuat terhadap pembentukan perilaku kekerasan pada pemainnya,” kata Reza kepada kumparan.
Game dan Aksi Kekerasan. Infografik: Basith Subastian/kumparan
Ilmuwan Tak Sepakat
Hingga kini, pro-kontra seputar dampak game yang mengandung unsur kekerasan masih terus berlanjut. Kedua kubu melihat hal yang sama dari sisi berbeda.
Penulis sekaligus jurnalis senior Majalah Virginia Quarterly Review, Tom Bissell, percaya bahwa game dengan unsur kekerasan mampu mempengaruhi perilaku seseorang.
Pernyataan serupa pernah dilontarkan Craig A. Anderson, profesor di Iowa State University. “Eksposur video game yang mengandung unsur kekerasan secara signifikan memengaruhi level perilaku agresif seseorang.”
Peristiwa penembakan massal yang diduga terinspirasi dari video game memang pernah beberapa kali tercatat. Pada 2003, William dan Joshua Buckner membunuh satu orang dan melukai beberapa orang lainnya setelah menembakkan senapan mereka ke kendaraan yang sedang melaju di Tennessee, Amerika Serikat.
Kepada penyidik, Buckner bersaudara mengaku mendapat inspirasi menembaki mobil itu dari permainan game yang familier di tahun 2000-an, Grand Theft Auto III.
Contoh lainnya adalah kasus Anders Behring Breivik yang menembak mati 70 orang lebih di Norwegia pada 2011. Breivik mengaku menggunakan game Call Of Duty: Modern Warfare 2 sebagai medianya berlatih menembak.
“MW2 (Modern Warfare 2) lebih sebagai bagian dari simulasi pelatihan saya daripada game yang lain,” aku Breivik kepada penyidik.
Game Call of Duty Mobile. Foto: Activision/Tencet
Profesor psikologi dan staf pengajar peradilan pidana di Universitas Rutgers, Newark, AS, Paul Boxer, tak ingin terlalu cepat mengambil kesimpulan. Menurutnya, seseorang menjadi agresif atau melakukan kekerasan di dunia nyata tidak hanya karena faktor bermain game.
“Perilaku kekerasan merupakan kombinasi dari faktor risiko yang saling berinteraksi, termasuk penyakit mental, penganiayaan anak, penggunaan narkoba, dan pengaruh negatif lainnya,” kata Paul seperti ditulis Andrea C. Nakaya dalam buku Thinking Critically (2014).
Senada dengan Boxer, Profesor Andrew Przybylski dari Oxford Internet Institute, Universitas Oxford, menyatakan korelasi antara bermain game bergenre kekerasan dengan agresivitas perilaku pemainnya di dunia nyata hingga kini belum terbukti. Hal itu ia ungkapkan setelah melakukan penelitian terhadap anak berusia 14-15 tahun di Inggris.
Metode yang Przybylski gunakan adalah dengan mewawancarai 2.008 orang tua murid atau wali anak terkait perubahan perilaku sang anak di rumah setelah bermain game bergenre kekerasan. Hasil dari penelitian menyeluruh ini menunjukkan, tidak ada hubungan antara video game yang mengandung unsur kekerasan dengan agresivitas remaja.
“Penelitian ini belum menunjukkan bahwa ada alasan untuk khawatir,” kata Andrew seperti dilansir Forbes, Minggu (31/3).
Game battle royale PUBG. Foto: PlayerUnknown's Battlegrounds
Ketua Asosiasi e-Sport Indonesia, Eddy Lim, menyatakan setuju dengan kajian yang dilakukan MUI terhadap PUBG. Jika PUBG benar memberikan dampak negatif, ia mendukung adanya pembatasan bagi masyarakat dalam bermain PUBG.
“Belum ada bukti bahwa game ini menimbulkan kekerasan atau tidak, tapi yang ada masih kontroversi,” ujar Eddy kepada kumparan.
Namun, Eddy juga berharap publik melihat game macam PUBG secara lebih adil. Ia menjelaskan, esensi dari bermain PUBG adalah soal bagaimana mempelajari situasi bertahan hidup, membaca peta, kerja sama, dan koordinasi.
“Memang siapa yang mau game negatif? Tapi apakah game PUBG termasuk yang negatif, kan belum (tentu). Masih dikaji.”
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten