Senjata Makan Tuan Amerika

5 Oktober 2017 14:18 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Senjata makan korban di AS (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Senjata makan korban di AS (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Entah apa yang ada di benak Stephen Paddock (64) saat menembaki kerumunan orang yang sedang menyaksikan konser musik country Route 91 Harvest Festival. Motif aksi keji itu sampai sekarang belum jelas.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang jelas dan pasti terjadi sekarang adalah: jumlah korban tewas mencapai 60 orang dan lebih dari 500 orang terluka. Orang tua kehilangan anak-anaknya, anak kehilangan ibu bapaknya, suami kehilangan istrinya dan ada istri yang kehilangan suaminya. Senjata yang harusnya menciptakan rasa aman, malah menjadi penebar kematian. Senjata memakan tuan dan kawan-kawannya.
Hal lain yang pasti terjadi setelah ada tragedi penembakan adalah: diskusi dan perdebatan soal kepemilikan senjata api. Apakah masih relevan untuk menciptakan rasa aman dengan memiliki senjata api? Atau sekalian saja semua dilarang, agar tak ada orang sipil bersenjata di lingkungan warga?
Seperti dijelaskan oleh di sini Karut Marut Aturan Pelarangan Senjata dan Pembantaian yang Dibiarkan, polemik kepemilikan senjata api punya akar yang panjang karena menyangkut konsep civil rights (hak sipil) dan civil liberties (kebebasan sipil).
ADVERTISEMENT
Kelompok pro kepemilikan senjata, tidak rela butir kedua dari Bill of Rights, atau yang kerap disebut dengan Second Amandment (Butir Amandemen Kedua) ini dicabut. Dalam butir itu dijamin bahwa masyarakat bebas memegang atau memiliki senjata.
Meski niat awalnya adalah untuk “...memberi garansi kepada rakyat bahwa mereka akan boleh menyimpan dan membawa senjata tersebut untuk melaksanakan tugasnya untuk berpartisipasi di dalam milisi”, konteks sudah sedemikian berubah, membuat aturan tersebut sebetulnya tak relevan lagi.
Sewaktu Amandemen Kedua tersebut dibuat pada 1791, masyarakat AS masih mendapatkan ancaman yang nyata dari kelompok Indian yang bersikap keras, kelompok negara-negara Eropa yang masih menguasai banyak area AS sekarang, dan bahkan dari binatang buas, maupun dari pemerintah yang bertindak sewenang-wenang.
ADVERTISEMENT
Waktu itu, polisi saja belum terbentuk dengan baik. Maklum, AS baru merdeka selama delapan tahun. Negara bagiannya saja baru 13 buah, tidak 50 seperti sekarang. Maka, tak mengherankan apabila James Madison kekeuh untuk memasukkan perihal hak kepemilikan senjata di Amandemen Kedua.
Lalu bagaimana masa depan hak kepemilikan senjata ini? Apakah akan dicabut?
Suasana lokasi penembakan di Las Vegas (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana lokasi penembakan di Las Vegas (Foto: Reuters)
Sebelumnya, harus dipahami bahwa kebebasan memiliki senjata sejak 226 tahun lalu sudah bukan lagi masalah legal atau tak legal saja. Perkara ini telah menjadi budaya yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat di kelompok bawah. Senjata-senjata kecil ini bahkan dijual di supermarket-supermarket di AS.
Walmart, retail supermarket terbesar di AS, bahkan menjual beberapa jenis senjata api dengan bebas. “Saya harap toko-toko macam Walmart segera menyadari bahaya menjual dan mempertontonkan senjata-senjata ini di samping microwave dan Xbox seperti itu adalah hal yang biasa,” kritik Chris Murphy, senator Demokrat dari Connecticut, seperti dilansir CNN.
ADVERTISEMENT
Bayangkan saja, menurut penelitian yang dilakukan Congressional Research Service pada 2012, warga negara AS memiliki hampir separuh (48 persen) dari seluruh senjata api kecil yang dimiliki masyarakat sipil di seluruh dunia. Ada 650 juta senjata kecil di dunia, dan warga AS punya setengahnya.
Menurut konvensi internasional terkait kontrol senjata, senjata kecil termasuk jenis revolver, pistol, rifle, carbines, hingga senapan serbu.
Ini berarti setiap 100 orang di AS, ada 89 senjata kecil yang beredar di masyarakat. Angka ini bahkan lebih tinggi dibanding negara-negara yang tengah mengalami konflik macam Yaman (55 senjata per 100 orang) dan Iraq (34 senjata kecil per orang).
Hasilnya? Bisa ditebak. Penembakan massal adalah berita sehari-hari di AS. Menurut The Gun Violence Archive, sebuah database online yang mencatat kekerasan menggunakan senjata di AS, sebuah peristiwa penembakan bisa disebut penembakan massal apabila ada empat atau lebih orang tertembak.
ADVERTISEMENT
Luar biasanya, pembantaian yang dilakukan oleh Stephen Paddock di Las Vegas merupakan penembakan massal yang ke-273 di tahun 2017. Padahal, saat penembakan Paddock terjadi di Minggu (1/10) lalu, tahun 2017 baru berlangsung 275 hari.
Lokasi Penembakan di Mandalay Bay, Las Vegas (Foto: Mark Ralston/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Lokasi Penembakan di Mandalay Bay, Las Vegas (Foto: Mark Ralston/AFP)
Di hari yang sama dengan Paddock melakukan pembantaian itu, tiga orang tewas tertembak di Lawrence, Kansas, hanya karena sebuah keributan kecil. Sehari sebelumnya, seorang anak 15 tahun tewas tertembak sementara 3 lainnya berhasil selamat.
Menurut data The Gun Violence Archive, di tahun 2017, hampir sekali sehari penembakan massal terjadi di AS. Di tahun 2016, ada 383 penembakan massal. Di tahun 2015 ada 358 kejadian yang sama.
Hasilnya, setiap tahunnya ada lebih dari 10.000 orang tewas karena pembunuhan dengan senjata di kalangan masyarakat sipil AS. Di tahun 2014, angka mereka yang tewas berada di titik 12.571. Di tahun 2015, pihak yang tewas naik menjadi 13.501. Di tahun 2016, angka menjadi 15.079. Dan kini, sampai 5 Oktober 2017, sudah ada 11.763 orang meninggal gara-gara senjata api.
ADVERTISEMENT
Ingat, angka ini belum menghitung mereka yang bunuh diri dengan senjata api, yang berada dalam kisaran angka 20 hingga 22 ribu tiap tahunnya.
Penembakan di Las Vegas (Foto: Chase Stevens/Las Vegas Review-Journal via AP)
zoom-in-whitePerbesar
Penembakan di Las Vegas (Foto: Chase Stevens/Las Vegas Review-Journal via AP)
Mengapa Tak Kapok?
Meski angka fatalitas gara-gara senjata api di AS begitu tinggi, masih banyak kelompok masyarakat yang menolak kemungkinan pemerintah menghilangkan Amandemen Kedua dan mencabut hak kepemilikan senjata.
Bahkan, pada kejadian penembakan di Las Vegas lalu, Presiden AS Donald Trump sama sekali tak membahas pelarangan terhadap kepemilikan senjata. Bahkan, ia meminta publik untuk tak membahas soal aturan kepemilikan senjata. “Mungkin itu akan terjadi (soal perdebatan aturan kepemilikan senjata). Tidak untuk saat ini,” tegas Trump, Rabu (4/10).
Hal ini sebetulnya tak mengagetkan amat. Seperti dilansir BBC, ada hal yang selalu menghalangi ketika AS ingin mengajukan pelarangan terhadap kepemilikan senjata.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut adalah The National Rifle Association (NRA).
Para pegiat senjata di temu tahunan NRA (Foto: REUTERS/John Sommers II)
zoom-in-whitePerbesar
Para pegiat senjata di temu tahunan NRA (Foto: REUTERS/John Sommers II)
NRA bukanlah asosiasi main-main di AS. Mereka merupakan salah satu kelompok kepentingan paling berpengaruh di politik AS. Tidak hanya dengan uang yang mereka kucurkan untuk melobi politisi, namun juga karena jumlah kelompok mereka yang mencapai 5 juta anggota.
Pada tahun 2016, NRA menghabiskan tak kurang dari 4 juta dolar AS (setara dengan Rp 53 miliar) untuk melobi dan menyumbang berbagai kebutuhan politisi di AS. Selain itu, mereka juga menghabiskan 50 juta dolar AS (sekitar Rp 675 miliar) sebagai dana advokasi politik, termasuk 30 juta di antaranya untuk membantu Donald Trump terpilih sebagai presiden.
Uang ini terbilang kecil. Anggaran tahunan NRA sendiri mencapai 250 juta dolar AS, yang didistribusikan untuk program pendidikan, membangun fasilitas tembak, menyelenggarakan acara untuk anggota, sponsor, dan advokasi hukum bagi para anggotanya. Maka tak heran, ketika NRA berniat untuk menghambat adanya pembatasan kepemilikan senjata, politisi di Washington seakan patuh saja.
ADVERTISEMENT
“Mereka adalah satu kelompok di mana saya akan bilang, ‘Selama saya masih menjabat, saya tidak akan melawan NRA,’” ucap salah seorang anggota Kongres AS dari Republikan di tahun 2013, seperti dikutip dari The New York Times.