Karut Marut Aturan Pelarangan Senjata dan Pembantaian yang Dibiarkan

5 Oktober 2017 8:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aturan senjata di AS (Foto: Wikimedia)
zoom-in-whitePerbesar
Aturan senjata di AS (Foto: Wikimedia)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perdebatan perlu tidaknya senjata api dilarang di Amerika Serikat kembali mengudara. Pasalnya, Minggu (1/10) lalu, penembakan massal kembali terjadi di negeri yang memperbolehkan masyarakatnya memiliki senjata kecil secara pribadi tersebut.
ADVERTISEMENT
Penembakan massal yang dimaksud terjadi di Las Vegas, dilakukan oleh seorang laki-laki berusia 64 tahun bernama Stephen Paddock. Ia menghujani pengunjung konser musik country Route 91 Harvest Festival dengan senapan AR-15 dari lantai 32 gedung Mandalay Bay, sebuah resort sekaligus kasino yang berada di sebelah wahana konser.
Akibat pembantaian tersebut, total 60 orang tewas dan 527 lainnya mengalami luka-luka. Angka tersebut sudah termasuk sang pelaku, yang memutuskan membedil kepalanya sendiri ketika ia hendak digerebek petugas keamanan.
Suasana lokasi penembakan di Las Vegas (Foto: Reuters/Steve Marcus)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana lokasi penembakan di Las Vegas (Foto: Reuters/Steve Marcus)
Di dalam kamarnya di Mandalay Bay ditemukan 23 pucuk senjata api, termasuk AR-15 yang ia gunakan, sebilah senapan AK-47, sebuah senapan berkaliber 0.038. Dua di antara senapan laras panjang tersebut juga dilengkapi dengan tripod senapan dan juga teleskop untuk mengincar target di kejauhan. Sementara itu, di rumahnya ditemukan 19 pucuk senjata api lain.
ADVERTISEMENT
Dengan senjata dan peralatan tersebut, tentu saja jarak dari lantai 32 ke venue konser yang mencapai 300 yard (kurang lebih 274 meter) menjadi tidak begitu berarti. Terlebih lagi, dengan jumlah pengunjung yang mencapai 20 ribu orang dan bergerak secara bergerombol, akan sangat mudah bagi Paddock menyasar beberapa puluh saja di antaranya.
Paddock sendiri ditemukan telah bersimbah darah saat petugas keamanan berhasil membongkar tempat persembunyiannya. Kepalanya meletus, dengan luka tembak yang menembus kerongkongan hingga kepala belakang. Ia mati bunuh diri, menyisakan banyak pertanyaan bagi petugas keamanan.
Kondisi Stephen Paddock usai bunuh diri (Foto: Dok. InfoWars)
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi Stephen Paddock usai bunuh diri (Foto: Dok. InfoWars)
Saat penembakan mulai dilakukan, penyanyi musik country Jason Aldean tengah beraksi di atas panggung. Pengunjung pada awalnya tak sadar, mengira suara rentetan berkepanjangan yang mereka dengar adalah bunyi kembang api.
ADVERTISEMENT
“Suara tembakan itu berlangsung selama 10 hingga 15 menit. Penembakan itu sama sekali tidak berhenti,” ucap Rachel de Kerf, salah satu pengunjung yang selamat seperti dikutip dari CNN.
Selain Rachel, mantan Komisioner Kepolisian Kota New York juga menyebut bahwa senjata yang dimiliki pelaku bukanlah senjata ringan yang biasanya dimiliki secara bebas.
“Senjata yang digunakan, cukup jelas, punya kemampuan tembak lebih dari 300 yard. Ini menunjukkan senjata yang digunakan adalah yang berjenis militer,” ucap Bill Bratton kepada MSNBC.
Masalahnya, senapan dengan jenis militer --yang biasanya merujuk pada jenis senjata full automatic-- tidaklah tersedia secara legal untuk umum. Senjata paling ganas yang bisa dimiliki bebas oleh masyarakat AS adalah yang berjenis semi-otomatis, usai aturan Federal Assault Weapons Ban (1994) yang mengatur pelarangan terhadap senjata semi-otomatis dan amunisi berkapasitas besar telah kedaluarsa di tahun 2004. AR-15 termasuk dalam kategori senjata semi-otomatis ini.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah fakta bahwa AR-15 bukanlah senjata yang sedari pabriknya dikualifikasikan sebagai senjata otomatis. “AR” bukanlah singkatan dari automatic rifle seperti yang dikira publik, melainkan singkatan dari ArmaLite Rifle --nama perusahaan yang pertama menemukan jenis senjata tersebut.
Yang kemudian dilakukan Paddock adalah mengubah kemampuan senapan tersebut sehingga ia memiliki kemampuan yang mendekati senapan fully-automatic. Hal itu dilakukannya dengan menggunakan “bump stock”, alat tambahan pada senjata semi-otomatis yang legalitasnya belum diatur.
Dua bump stock ditemukan di kamar yang digunakan Paddock melakukan aksinya. Tugas bump stock sendiri adalah untuk menahan recoil dari senjata, memantulkannya, dan membuat penembak dapat dengan lebih cepat dan mudah menarik pelatuk secara berkali-kali.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi masalah, tak adanya aturan yang secara spesifik melarang keberadaan bump stock jelas merupakan resiko besar bagi keselamatan masyarakat AS. Dalam hukum, tak dilarang sama dengan legal. Apalagi, harganya terbilang murah: hanya 99 dolar AS atau setara dengan Rp 1,3 juta.
"Ini adalah cara terdekat yang bisa saya lakukan untuk memiliki sebuah senapan mesin (otomatis),” ucap Rich, pegawai kilang minyak di Delaware, AS, yang kebetulan punya hobi mengoleksi senjata api. Seperti dikutip dari The Guardian, ia memiliki setidaknya 40 senjata api.
Mengingat senapan laras panjang fully automatic jelas-jelas dilarang, mengapa alat yang dengan mudah mengubah senjata semi-otomatis menjadi senjata fully automatic justru dibebaskan?
Meski selalu menjadi polemik setiap kali tragedi penembakan massal kembali terjadi, sikap pemerintah AS yang biasanya lantang seakan selalu terkebiri untuk memutuskan apa yang harus diperbuat.
ADVERTISEMENT
Pro kontra terus terjadi dengan sengit: antara konservatif dan republikan yang menolak penghapusan hak kepemilikan pribadi, dan (kebanyakan) demokrat serta kelompok progresif yang mendorong seharusnya kepemilikan senjata ini tak bebas-bebas amat.
Namun, bahkan di kalangan masyarakat --di mana kerugian paling besar dirasakan-- suara terpecah dua. Jalan akhir yang biasanya dipilih kedua belah pihak (pemerintah yang dituntut dan masyarakat yang menuntut) adalah melupakan --menunggu ada masalah lain yang meledak, dan persoalan ini tenggelam secara natural. Melupakan memang mudah, meski juga sulit dalam waktu yang bersamaan.
Polemik dan perdebatan ini punya akar yang panjang, menyangkut konsep civil rights (hak sipil) dan civil liberties (kebebasan sipil). Kebebasan sipil berarti hak-hak alamiah individu yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, bahkan oleh pemerintah. Sedangkan, hak sipil merupakan sikap afirmatif pemerintah AS dalam memberikan perlindungan dan jaminan bahwa hak sipil individu mereka terlindungi secara adil dan merata.
ADVERTISEMENT
Hak-hak sipil ini dijamin dalam Konstitusi AS, tepatnya dalam 10 amandemen pertama yang mulai berlaku di 1791. Sepanjang sejarah AS, sudah ada 27 kali amandemen yang dilakukan terhadap Konstitusi AS. Dari 27 amandemen itu, 10 yang pertama terjadi dalam satu waktu, sehingga memiliki sebutan khusus yaitu Bill of Rights.
Pada dasarnya, Bill of Rights ini bertujuan untuk membatasi kewenangan pemerintah federal AS agar tak sewenang-wenang terhadap negara bagian dan masyarakatnya.
Bill of Rights ini lahir dari rahim perdebatan antara kelompok Federalis dan anti-Federalis di sekitar tahun 1780-an. Kelompok Anti-Federalis menilai sebuah jaminan hukum perlu untuk memastikan negara tak macam-macam terhadap mereka. Sedangkan, kaum Federalis merasa Konstitusi yang sudah ada tak memerlukan Bill of Rights, karena percaya masyarakat dan negara bagian akan memastikan negara federal tak akan punya kewenangan yang berlebihan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, salah seorang anggota House of Representative AS, James Madison, bertindak nekat dengan cara mengganti tulisan di Konstitusi dengan membuat konstitusi baru yang sudah disempurnakan dengan beberapa hal yang menurutnya tepat. Tindakannya ditolak oleh banyak anggota House of Representative lainnya, yang menyebut Kongres tak punya cukup kekuasaan untuk mengubah kata-kata dalam Konstitusi seenaknya.
Hasilnya, perubahan yang dilakukan oleh Madison dianggap sebagai usulan amandemen. Madison mengajukan 19 amandemen, namun The House hanya menerima 17 di antaranya. Dari 17 usulan amandemen tersebut, Senate hanya menyetujui 12 di antaranya. Selanjutnya, dari 12 usulan yang disetujui Senate hanya ada 10 yang diratifikasi oleh tigaperempat negara bagian. Virginia menjadi yang terakhir dalam meratifikasi 10 amandemen ini, yaitu pada 15 Desember 1791.
ADVERTISEMENT
Butir kedua dari Bill of Rights, atau yang kerap disebut dengan Second Amandment (Butir Amandemen Kedua) ini memuat soal kebebasan masyarakat memegang atau memiliki senjata. Kini, butir tersebut menjadi permasalahan seiring dengan banyaknya penembakan massal oleh mereka yang berlindung di balik Amandemen Kedua dalam kepemilikan senjata.
Bagi mereka yang pro dengan kebebasan memiliki senjata, Amandemen Kedua adalah ayat kitab suci yang tak boleh ditentang, apalagi coba untuk dilucuti dari keimanan mereka.
Kalimat “...the right of the people to keep and bear Arms, shall not be infringed,” adalah sabda yang harus dianut. Mereka menganggap ayat tersebut adalah dasar hukum bagi mereka memiliki senjata.
ADVERTISEMENT
Amandemen Kedua itu mereka yakini sebagai ayat yang melindungi hak individu untuk menyimpan dan membawa senjata api untuk pertahanan diri, rekreasi, dan yang terakhir --dan mungkin menjadi alasan yang sesungguhnya paling krusial-- adalah untuk menjaga kemungkinan mengangkat senjata untuk melawan pemerintah.
Saul Cornell, yang meneliti sejarah terbitnya Amandemen Kedua secara mendalam, dalam bukunya A Well Regulated Militia: the Founding Father and the Origins of Gun Control in America (2006) mengatakan bahwa pemahaman terhadap Amandemen Kedua tersebut sudah melenceng.
“Pemahaman otentik tentang Amandemen Kedua bukanlah soal pertahanan diri secara individu maupun kepentingan kolektif soal pertahanan sebuah negara bagian, namun lebih kepada hak sipil yang memberi garansi kepada rakyat bahwa mereka akan boleh menyimpan dan membawa senjata tersebut untuk melaksanakan tugasnya untuk berpartisipasi di dalam milisi yang tertata dengan baik,” ucap Cornell.
ADVERTISEMENT
Sederhananya: warga negara punya kewajiban menjadi bagian dari milisi yang ditata oleh oleh negara. Mereka berkewajiban mempersenjatai diri dan senantiasa siaga ketika dibutuhkan untuk melindungi lingkungan komunalnya, baik di negara bagian ataupun negara federal AS.
Sandra Dewi Dahlan, dalam kajiannya di Universitas Gadjah Mada berjudul Kontroversi Hak Kepemilikan Senjata Api di Amerika Serikat (2015), mencontohkan kasus yang menunjukkan kebutuhan Amandemen Kedua di politik AS.
Salah satu yang paling terkenal adalah peristiwa Pemberontakan Wiski di tahun 1791-1794, di mana petani di Pennsylvania Barat melakukan aksi protes menggunakan senjata api untuk menentang pajak yang dikenakan bagi wiski hasil produksi mereka.
Saat itu, pemerintah federal AS yang baru dibentuk menerbitkan rasio pajak yang terlalu tinggi bagi hasil wiski. Kebijakan yang dimaksudkan untuk mengurangi beban pemerintah terhadap hutang yang menumpuk setelah Perang Revolusi.
ADVERTISEMENT
Kebijakan federal ini ditentang, karena, selain dianggap terlalu ambisius dan tak sesuai dengan kemampuan rakyat, wiski juga sering digunakan sebagai alat tukar barang. Selain itu, peraturan pajak ini juga dinilai oleh para veteran perang telah melawan prinsip-prinsip Revolusi Amerika karena dicanangkan George Washington tanpa persetujuan wakil-wakil negara bagian.
Permasalahan macam inilah yang sebenarnya menjadi perhatian utama Amandemen Kedua. Konteks yang melatarbelakangi terbitnya Amandemen Dua sebetulnya tak jauh dari peristiwa Perang Revolusioner Amerika yang baru selesai delapan tahun sebelumnya. Kemerdekaan yang baru berjalan 15 tahun masih kerap mendapatkan ancaman dari beberapa pihak.
Dan milisi punya peran yang sangat dominan waktu itu. Hal ini terjadi karena belum adanya kekuatan polisi yang terorganisasi. “Kekuatan milisi ini tak hanya melindungi Amerika dari ancaman eksternal macam kaum Indian yang terus mengeluarkan sikap permusuhan dan kekuatan besar dari Eropa yang menjadi rival, namun ia juga menjadi satu-satunya cara yang mungkin dilakukan untuk melindungi komunitas dari kerusuhan sipil,” kata Cornell.
Penembakan di Las Vegas (Foto: Chase Stevens/Las Vegas Review-Journal via AP)
zoom-in-whitePerbesar
Penembakan di Las Vegas (Foto: Chase Stevens/Las Vegas Review-Journal via AP)
Kini, dengan angkatan keamanan yang telah terbentuk dan bentuk proteksi masyarakat AS yang telah terbentuk dengan baik --dan bahkan menahbiskan negara tersebut sebagai negara adidaya-- apakah Amandemen Kedua masih benar-benar diperlukan?
ADVERTISEMENT
Ya, biarkan saja mereka pusing sendiri. Apa urusan kita?