Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ade Junaedi tak pernah menyangka pekerjaannya sebagai Sekretaris Desa Tamansari, Karawang, akan ia tinggalkan. Penghasilannya yang semula hanya sekitar Rp 850.000 meningkat ratusan kali lipat hingga bisa mencapai Rp 10 juta bahkan Rp 100 juta dalam satu bulan.
Semua itu berkat sampah .
Hal tersebut bermula pada satu hari di akhir 2017, ia tiba-tiba dihubungi seseorang. “Awal mulanya sih ada semacam pekerja dari (PT) Fajar Surya Wisesa nawarin lewat teman saya, ‘Ini ada barang, kira-kira bisa dibakar gak?’ Gitu,” ujarnya mulai bercerita.
PT Fajar Surya Wisesa alias Fajar Paper yang dimaksud adalah perusahaan produsen kertas kemasan, salah satu pabriknya berada di Bekasi.
Barang yang ditawarkan ternyata merupakan ratusan bal sampah yang berjejer di halaman pabrik. Ade pun membawanya ke tempat pembakaran batu kapur (lio) yang ia miliki. Niat awal hanya sebagai bahan bakar pembuatan batu kapur akhirnya berubah.
“Ternyata masih banyak yang bisa didaur ulang. Jadi kenapa tidak dibisniskan?” ucap Ade. Pada 1-2 minggu pertama, menurut cerita Ade, ia dibayar Rp 350 ribu tiap kali mengambil satu truk berisi empat ton sampah.
Namun selanjutnya ia justru harus membeli sampah-sampah itu dari perusahaan seharga Rp 400 ribu - Rp 500 ribu. Keuntungan yang ia peroleh sebelumnya, membuat Ade berani mengambil 10-40 truk dalam sehari. “Ya kadang-kadang sampai 40 truk sehari. Kalau memang di sana lagi banyak (sampah) dan kondisi mobilnya memungkinkan.”
Sampah-sampah yang dikemas berbentuk kubus besar itu lantas ia bawa ke halaman rumahnya yang cukup luas. “Di sini dipilah dan dipilih. Itu 60 persen yang masih bisa terpakai. Ada emberan, alumunium, kaleng, dan sebagainya,” kata Ade. Sementara sisanya menjadi bahan bakar lio batu kapur.
Sekejap, lingkungan yang sebelumnya cukup asri itu berubah jadi penuh sampah.
Ade tahu bahwa sampah yang ia beli bukanlah sampah dalam negeri. “Ada dari Australia, Amerika Serikat, Asia (Hong Kong), bahkan Afrika,” imbuhnya. Hal ini ia sadari dari kondisi sampah yang kering, tak lagi bau, dan berupa sampah produk-produk merek luar negeri yang tak familiar di Indonesia.
Mulai dari plat nomor negara lain, jam tangan label ternama, hingga mata uang asing sering ia temukan saat memilah memilih sampah. “Kaget ya awalnya, Abang saya yang nemu 100 dolar sampai-sampai jingkrak-jingkrak teriak, ‘Duit! Dapet duit!’ katanya gitu,” tutur Ade.
Penemuan mata uang asing itu bukan hanya sekali dua kali saja. “Dolar Amerika itu yang paling banyak. Paling senang kalau dapet dolar Inggris, poundsterling, itu karena paling mahal.”
Gara-gara temuan-temuan barang berharga di antara serbuan sampah itu, menurut Ade, sebagian warga mendadak jadi Orang Kaya Baru alias OKB. “Termasuk saya, jadi OKB.”
Dalam satu tahun, sampah impor ilegal itu berubah jadi sumber mata pencaharian bagi hampir 100 orang warga di sana. Sampah itu biasanya diselundupkan melalui impor Limbah Non-B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) seperti limbah kertas bekas yang dibutuhkan untuk memenuhi bahan baku perusahaan industri kertas, khususnya produsen brown paper.
PT Fajar Surya Wisesa, ketika dihubungi kumparan, tidak bersedia memberikan keterangan. Pegawai kantor pusat FajarPaper mengatakan hanya mengurusi pencatatan ekspor dan impor, sedangkan pegawai pabrik di General Affair, Human Resources, sampai Legal Department menyebut tak dapat menyambungkan kumparan ke manajer atau direktur pabrik. Mereka pun menyatakan tak punya humas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan.
Selain dari FajarPaper, tawaran sampah impor di daerah Karawang juga datang dari PT Pindo Deli III. Anak perusahaan baru milik Sinar Mas yang bergerak di industri pengolahan kertas bekas.
Ketika dihubungi kumparan, Andar Tarihoran, staf humas PT Pindo Deli membantah pihaknya menjual sampah kepada masyarakat. Ia menduga, vendor importir yang bekerja sama dengan Pindo Deli 3 lah pihak yang membuang sampah-sampah impor itu ke warga.
“Komitmen kita, Sinar Mas, kan tidak membuang sampah ke sungai, tidak membuang sampah ke masyarakat. Tapi kita pakai vendor, ternyata vendor ini apakah karena volumenya besar lalu mereka kewalahan, atau mungkin mencari jalan pintas,” ucap Andar saat berbincang bersama kumparan di Brits Hotel, Karawang.
Meski berkilah bahwa bukan perusahaannya yang mendagangkan sampah kepada warga, Andar tak menampik adanya praktik jual beli sampah tersebut. “Kalau konteksnya jual beli, secara harfiah, iya.”
Padahal, berdasarkan aturan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun, perusahaan yang memiliki izin impor limbah Non-B3 harus mengimpor dan mengolah limbah itu sendiri.
Sampah impor pun tak selalu dan selamanya menuai berkah. Ia juga mengandung musibah yang bisa datang pada siapa saja di masa mendatang. Jika Ade bisa meraup untung, Andi justru mengalami buntung gara-gara desanya kebanjiran sampah ilegal.
Warga Desa Tamanmekar, Karawang, ini kembali harus menderita infeksi saluran pernafasan yang sebelumnya telah pulih. Padahal sebelumnya ia telah merasa sehat setelah sembilan bulan menjalani perawatan.
“Sekarang muncul lagi, setelah sekian tahun. Sebelum ada (pembakaran) sampah itu, sempat sehat saya. Sekarang kambuh lagi,” tuturnya saat berjumpa kumparan di rumahnya.
Selama berbincang siang hari itu, tangan kiri Andi (48) sibuk menutup mulutnya yang tak berhenti batuk. Sementara di belakang rumahnya, asap pembakaran sampah membumbung tinggi.
Udara yang tak sehat itu, menurut Andi, disebabkan oleh, “Satu, karena hutannya habis. Kedua, karena banyak bakar-bakaran itu sampah itu.” Ia pun berulang kali mendatangi kantor Dinas Lingkungan Hidup Karawang untuk mengadu.
“Kadang-kadang ada yang datang (ke desa), cuma ya datang gitu saja, action-nya enggak ada,” kata Andi kecewa.
Kekhawatiran akan serbuan sampah impor ilegal di Karawang juga disuarakan oleh komunitas peduli lingkungan, Masyarakat Karawang Bersatu. Yudi Wibisana, salah anggota MKB menyatakan rasa waswasnya akan bahan kimia yang termuat dalam sampah tersebut.
“Sampah segitu banyak itu tidak sama sekali dikerubungi lalat. Kalau dari hasil investigasi teman-teman, ketika dibuka mobil, baunya bau kimia bukan bau sampah,” ujar Yudi kepada kumparan di Das Kopi, Karawang, Senin (1/7).
Sampah-sampah yang kebanyakan berasal dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Eropa itu, menurut Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wet Conservation (Ecoton) Prigi Arisandi dicuci dengan klorin terlebih dulu sebelum dikirim. “Jadi bersih, nggak bau. Itu kalau dipegang-pegang, rasanya tangan itu jadi halus,” kelakar Prigi saat bertemu kumparan di Bandara Soekarno-Hatta pada 25 Juni 2019.
Berdasar pengamatannya, serbuan sampah ilegal ini mulai meningkat di tahun 2018. Di tahun itu pula, China dengan tegas menolak menerima limbah plastik negara-negara maju. Ia bersama timnya kemudian mencoba membeli sampah yang terkandung dalam impor limbah tersebut.
“Yang kita temukan paling banyak itu food packaging, seperti makanan anjing. Sampai 76 persen untuk food packaging. Kemudian sisanya adalah sekitar 14 persen produk mengepel, korek kuping, popok, sempak, odol, itu sebagian dibakar,” ujar Prigi.
Masuknya sampah impor ilegal itu ke Indonesia merupakan efek domino dari kebijakan yang diterapkan China dan ketidakmampuan negara-negara maju dalam mengolah sampahnya sendiri. Sejak 1980-an, sampah plastik dari negara di Eropa dan Amerika biasanya dikirim ke China.
Negeri Tirai Bambu itu mampu menyerap hampir 50 persen limbah plastik global dan mengolahnya kembali sehingga bernilai ekonomi. Namun sejak 2013, perspektif China terhadap limbah plastik mulai bergeser. Apalagi persentase kontaminan berupa sampah domestik yang terkandung dalam setiap limbah plastik yang diterima semakin besar.
Keuntungan yang diperoleh dari hasil daur ulang sampah pun tak sebanding dengan biaya pencemaran lingkungan dan ongkos pengobatan penyakit yang menjangkiti warganya. Maka pada 2013, China mulai menerapkan Green Fence yang memperketat regulasi impor skrap plastik. Kebijakan ini membuat Bea Cukai China menangguhkan lisensi impor 247 perusahaan.
Tak hanya sampai di situ, lima tahun berselang China kembali mengambil langkah lain untuk mengatasi persoalan limbah impor. Mereka menerapkan National Sword per 1 Januari 2018 yang melarang 24 jenis sampah masuk ke negerinya.
Akibat kebijakan China tersebut, negara-negara Eropa dan Amerika kelabakan. Akhirnya limbah bercampur sampah itu mengalir ke berbagai negeri berkembang di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rosa Vivien Ratnawati, menegaskan bahwa pemerintah menolak dan melarang masuknya sampah serta limbah B3 ke wilayah NKRI.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, berbagai LSM yang bergiat di bidang lingkungan mendorong pemerintah untuk memperketat regulasi yang ada dan menegakkan peraturan yang tersedia.
Peneliti hukum lingkungan dari Indonesia Centre for Environmental Law (ICEL), Margaretha Quina, misalnya mengatakan bahwa aturan yang ada sebenarnya sudah cukup jelas mengatur impor limbah. "Yang bisa dilakukan adalah pendetailan kriteria apa yang termasuk sebagai sampah dalam pengertian larangan impor sampah plastik, mana yang diizinkan."
Solusi selanjutnya adalah pengelolaan sampah dalam negeri sehingga kebutuhan limbah kertas bekas ataupun limbah plastik bisa dipenuhi oleh dalam negeri. Oleh karenanya, KLHK sendiri mendukung pemanfaatan sampah sebagai circular economy dalam pengelolaan sampah.
“Tapi masalah ini sampah impor, bukan dalam negeri. Kesalahannya bukan di masyarakat, tapi importir dan pabrik yang membuang sampah itu ke masyarakat,” ujar Rosa.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplast) Fajar Budiono, pasokan sampah dalam negeri sudah sangat melimpah. Namun, sampah yang ada belum terkelola dengan benar. “Jadi secara ekonomis, itu masih rendah nilainya. Kenapa? Karena masih tercampur dengan sampah basah.”
Menanggapi modus penyelundupan sampah dalam impor limbah Non-B3 bahan baku industri kertas, Direktur Eksekutif APKI (Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia) Liana Bratasida menyatakan bahwa penyelundupan sampah itu justru merugikan industri kertas.
“Industri kertas memerlukan kertas daur ulang atau waste paper, bukan plastik. Apabila bahan baku yang diperlukan tercampur dengan plastik dan sampah lainnya, hal tersebut mengurangi ketersediaan bahan baku, mengurangi tingkat produksi, dan meningkatkan biaya pengelolaan sampah plastik,” jawab Liana dalam pernyataan tertulisnya.
Liana berharap pemerintah bisa mengembangkan pusat daur ulang sampah di tiap kecamatan sehingga bahan baku limbah plastik ataupun kertas tak perlu lagi diimpor.