Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Umat Hindu Bali Gelar Upacara Melasti Sambut Hari Raya Nyepi
4 Maret 2019 14:49 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:02 WIB
ADVERTISEMENT
Umat Hindu di Bali mulai mengelar upacara melasti di Pantai Petitenget, Seminyak, Senin (4/3).
ADVERTISEMENT
Melasti dilaksanakan untuk menyucikan diri dalam menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka 1941 yang jatuh pada Kamis (7/3) mendatang.
"Upacara ini dilakukan setiap tahun untuk membersihkan diri dan menyucikan diri sebelum Nyepi, " kata Kelian (pemangku) Adat Banjar Anyar Kelod, Kerobokan, Made Sudita, di Pantai Petitenget.
Made Sudita mengatakan, sebelum pawai dilakukan, seluruh umat Hindu akan melakukan sembahyang di pura masing-masing, lalu berjalan menuju pantai. Pantauan kumparan, saat ini orang dewasa ataupun anak-anak berbondong-bondong berjalan kaki menuju pantai.
Mereka kompak mengenakan pakaian serba putih, sebagaian dari mereka juga membawa sejumlah pura kecil, gamelan, patung dewa mini, keris, keben (sejajen). Semua peralatan itu akan dibawa ke laut untuk disucikan.
ADVERTISEMENT
Sepanjang perjalanan, iringan musik gamelan dilantunkan. Di bawah matahari yang terik, pawai berjalan dengan tertib dan rapi.
Setibanya di pantai, umat Hindu kemudian menuju pura yang ada di Petitenget. Di sana, seorang pemangku memercikkan air suci baik seluruh alat dan umat yang hadir. Lalu, umat pun kembali berjalan menuju pinggir pantai.
Pura kecil serta seluruh alat suci juga ikut dibawa. Tampak mereka berdoa, menengadahkan diri ke pantai. Setelah berdoa, mengambil air laut dan mengusap ke bagian kepala. Uniknya, tak jarang dari sebagian dari umat yang hilang kesadaran atau kerasukan.
"Kerauh (kerasukan) itu hanya berlaku bagi mereka yang memiliki dewa. Artinya, mereka menunjukkan diri kepada dewa," jelas Made.
ADVERTISEMENT
Berbagai tingkah laku bagi mereka yang mengalami kerasukan. Ada yang berjalan seperti kera, ada yang menusuk diri dengan menggunakan keris, ada juga yang tutup mata berteriak-teriak.
Air suci yang dipercikkan seorang pemangku adatlah yang menyadarkan mereka kembali. Selanjutnya, mereka pindah ke bibir pantai.
Di sana mereka melaksanakan sembahyang dengan khusuk. Air suci masih juga dipercikkan. Usai melaksanakan berbagai rangkaian itu, umat kembali pulang ke Banjar masing-masing.