Wacanakan GBHN, PDIP Dinilai Ingin Kendalikan Presiden lewat MPR

13 Agustus 2019 7:25 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
 Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari Foto: Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari Foto: Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam Kongres V PDIP di Bali, Megawati Soekarnoputri memasukkan rekomendasi Amandemen UUD 1945 untuk menghidupkan lagi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Rekomendasi ini merupakan salah satu dari 23 sikap politik PDIP yang dihasilkan dalam Munas.
ADVERTISEMENT
Namun, wacana tersebut rupanya menuai polemik. Di satu sisi, PDIP menganggap GBHN yang dirumuskan MPR dibentuk untuk membuat kebijakan Indonesia terarah, sementara di sisi lain, GBHN dinilai justru membelenggu presiden dan menghidupkan kembali semangat Orde Baru (Orba).
Direktur Pusat Studi Konstitusi ( PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, berada di kubu kontra. Feri menduga PDIP memiliki transaksi politik di balik pencetusan wacana tersebut.
"Saya duga jangan-jangan ini kehendak PDIP mengendalikan presiden melalui lembaga yang bernama MPR, karena jika setengah saja jumlah anggota MPR itu kemudian punya perspektif politik yang berbeda dengan presiden, sangat mungkin presiden tersandera oleh kepentingan MPR itu," ujar Feri saat dihubungi kumparan, Senin (12/8).
ADVERTISEMENT
Secara garis besar, GBHN adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara yang ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu 5 tahun. Namun, setelah Amandemen UUD 1945, GBHN dan peran MPR sebagai lembaga tertinggi sudah tak berlaku, diubah menjadi lembaga negara. Sementara presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang memegang penuh kekuasaan eksekutif.
Feri mengatakan, jika MPR kembali mengaktifkan GBHN, itu sama saja membuat presiden bertanggungjawab terhadap dua lembaga, yakni DPR dalam penyelenggaraan undang-undang, dan MPR untuk GBHN.
Hal ini tentunya bisa mengganggu kinerja presiden. Bahkan, perumusan GBHN akan mengubah sistem pemerintahan Indonesia dari presidensial ke parlementer.
"Bukan tidak mungkin jabatan masa presiden itu terganggu dengan kekuasaan parlemen, kalau bisa diganggu, itu yang disebut dengan parlementer. Konsep itu 'kan memberikan pusat kewenangan kepada tersentralisasi di kepresidenan. Sementara ketika presiden harus tanggung jawab kepada MPR, lembaga tertinggi negara, tentu sentralistik kekuasaan berada di tangan MPR, itu mirip parlementary," tuturnya.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memberikan pidato penutupan Kongres V PDIP, di Bali. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Feri meyakini gagasan kewenangan GBHN akan merusak pola ketatanegaraan secara menyeluruh. Termasuk merusak tatanan sistem presidensial jika nantinya presiden bisa dipengaruhi oleh kekuasaan di MPR.
ADVERTISEMENT
Bahkan, ia menilai, wacana ini malah membuat proses transaksi politik semakin meluas. Misalnya, bukan tidak mungkin, kata dia, presiden nantinya ditawari hal-hal menggiurkan seperti masa jabatan.
"Misal, PDIP nawarin masa jabatan untuk presiden bisa lebih dua periode kalau ada GBHN atau perubahan UU. Ini perlu dijawab oleh politisi yang mengusulkan itu, pasti ada transaksi politik," ungkapnya.
"Presiden harus jaga marwahnya, kalau berkali-kali dipanggil dua lembaga berbeda, mempertanggungjawabkan, akan merusak marwah juga, misal presiden dinyatakan langgar GBHN, jangan-jangan akan ada sanksi sosial. Itu mengganggu kinerja," tutur Feri.
Ketua DPP PDIP Bidang Hukum, Yasonna Laoly, sebelumnya menampik spekulasi liar atas usul tersebut. Yasonna menyebut isu GBHN memang sudah dibahas lama oleh pemerintah termasuk sejumlah partai.
ADVERTISEMENT
"Ya, soal hanya sekedar mengajukan, supaya ada arah pembangunan bangsa yang jelas 'kan, dibuat itu saja. Enggak ada macam-macam lain, jadi ini menjadi liar ke mana-mana," kata Menkumham itu di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (12/8).
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (kanan) tiba di lokasi Kongres V PDIP, di Bali. Foto: Paulina Herasmarindar/kumparan
"Partai-partai pada umumnya sudah sepakat GBHN dalam konsep amandemen terbatas. Ini harus perlu dikoreksi, tidak ada keinginan macam-macam soal itu," tegasnya.
GBHN pernah tertuang dalam UUD 1945 ditetapkan oleh MPR. Namun, pada amandemen ketiga, fungsi MPR diubah, salah satunya tidak lagi menetapkan GBHN, alias otomatis GBHN dihapuskan.
Sebagai gantinya, MPR berfungsi hanya menetapkan UU. Lahirlah UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang isinya RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) skala 20 tahun dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) skala 5 tahun.
ADVERTISEMENT