Ada Plastik di Perut Hewan-hewan yang Hidup di Laut Terdalam

20 November 2017 15:19 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hewan Laut yang Menelan Sampah Plastik (Foto: Newcastle University)
zoom-in-whitePerbesar
Hewan Laut yang Menelan Sampah Plastik (Foto: Newcastle University)
ADVERTISEMENT
Tidak ada area di bumi ini yang bebas dari pencemaran plastik. Bahkan di lokasi-lokasi laut terdalam, para peneliti menemukan adanya sampah-sampah plastik buatan manusia. Tak hanya mencemari lingkungan tersebut, plastik-plastik itu juga tertelan hewan-hewan yang hidup di sana.
ADVERTISEMENT
Sebuah penelitian yang dipimpin oleh Alan Jamieson, ahli ekologi kelautan dari Newcastle University, menemukan adanya plastik dalam perut hewan-hewan yang hidup di enam lokasi terdalam bumi.
Keenam lokasi itu adalah Palung Mariana, Palung Jepang, Palung Izu-Bonin, Palung Peru-Chile, Palung New Hebrides, dan Palung Kermadec.
Dalam penelitian, Jamieson dan tim menguji 90 hewan krustasea yang hidup di enam palung tersebut. Hasilnya, tidak ada palung yang bebas dari pencemaran plastik.
Pencemaran plastik tertinggi ditemukan di Palung Mariana, palung terdalam bumi yang memiliki kedalaman hampir 11 kilometer di bawah permukaan laut. Isi perut semua sampel hewan yang diambil dari palung itu menunjukkan adanya kandungan mikroplastik.
Adapun pencemaran plastik “terendah” ditemukan di Palung New Hebrides. Sebenarnya tidak bisa dibilang rendah juga, sebab isi perut dari setengah jumlah semua sampel hewan yang diambil dari palung itu juga menunjukkan adanya kandungan mikroplastik.
Mikroplastik dalam Perut Hewan di Palung Mariana (Foto: Newcastle University)
zoom-in-whitePerbesar
Mikroplastik dalam Perut Hewan di Palung Mariana (Foto: Newcastle University)
"Kami pernah menerbitkan sebuah penelitian pada awal tahun ini yang menunjukkan tingkat polutan organik yang tinggi di laut-laut yang sangat dalam dan banyak orang bertanya kepada kami tentang keberadaan plastik-plastik tersebut, jadi kami memutuskan untuk menelitinya lagi,” tutur Jamieson dalam sebuah pernyataan yang dilansir laman Newcastle University pekan lalu.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya pada Februari 2017 Jamieson dan timnya pernah melaporkan bahwa palung-palung dalam di lautan telah tercemar oleh polychlorinated biphenyls (PCB) dan polybrominated diphenyl ethers (PBDE). Laporan itu telah dipublikasikan di jurnal Nature Evolution and Ecology.
PCB dan PBDE adalah dua jenis senyawa kimia yang ada dalam limbah plastik. PCB banyak digunakan dalam berbagai industri. Senyawa kimia itu telah dilarang sejak 1979 karena mengandung racun. Begitu pula PBDE, senyawa kimia itu juga telah dilarang karena dapat mengganggu sistem reproduksi, kekebalan dan saraf.
Jamieson menjelaskan, “Organisme-organisme di laut dalam bergantung pada makanan yang turun dari permukaan yang membawa komponen buruk seperti plastik dan polutan di dalamnya.”
Dikutip dari Live Science, penelitian pada 2014 menemukan adanya 5 triliun potongan plastik yang mengapung di lautan. Beratnya lebih dari 250.000 ton.
ADVERTISEMENT
Adapun menurut penelitian yang dipublikasikan pada Juni 2017, sungai-sungai membuang 2,4 juta ton plastik laut setiap tahunnya. Sebanyak 86 persen sampah plastik yang dibuang ke lautan itu berasal dari sungai-sungai di Asia.
Jenna Jambeck, peneliti dari University of Georgia, juga pernah meneliti soal sampah plastik di lautan. Hasilnya, ia menobatkan Indonesia sebagai negara penyumbang terbesar kedua sampah plastik ke laut dunia. Indonesia masuk ke dalam 5 besar penyumbang sampah plastik terbanyak ke lautan dengan urutan China, Indonesia, Filipina, Vietnam dan Srilanka.
Penelitian Jambeck yang telah dipublikasikan di jurnal Science pada 12 Februari 2015 itu memperkirakan bahwa sampah plastik dari Indonesia yang masuk laut adalah sebesar 0,48-1,29 juta metrik ton per tahun.
ADVERTISEMENT
Terkait kandungan plastik dalam perut-perut hewan yang hidup di palung-palung dalam, Alan Jamieson menyebut hasil penelitiannya itu sebagai “temuan yang mengkhawatirkan”.
“Jumlah area yang kami temukan di dalamnya, dan jarak ribuan kilometer yang mengikutinya menunjukkan ini bukan hanya kasus yang terisolasi, ini bersifat global," tegasnya.