Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Di muka pagi yang nahas usai suntuk piket semalaman, Uta merasa pening hebat di atas pelipis kiri. Nyut-nyut-nyut. Nyeri itu datang tiba-tiba dan segelas teh manis serta tiga potong bakwan tidak berdaya mengusir si Nyut-nyut sialan. Uta mencoba rebah.
Ditunggu-tunggu, si Nyut-nyut ternyata betah. Uta repot; rebah sudah tapi nyeri di kepalanya masih tetap singgah. Sedikit panik dan sambil menebak-nebak siapa dari:
yang bertanggung jawab atas nyut-nyut di kepalanya, Uta menenggak sebutir paracetamol dan membuka browser di gawainya. Alamak.
“Sakit kepala sebelah kiri” Uta tulis di peramban dan Google yang selalu ada setiap saat menjawab dengan berbagai situs pilihan. Uta buka yang teratas, sebuah tautan berjudul "Sakit Kepala Sebelah Kiri: Gejala, Penyebab, dan Pengobatan". Terlihat meyakinkan.
Dalam sekali klik, beberapa scroll-scroll cantik, dan lima menit membaca cepat, tiba-tiba Uta sadar waktunya tak lama lagi. Ia—menurut apa yang ia baca—ternyata mengidap glaukoma, meningitis, neuralgia trigeminal, dan tumor otak. Ia jadi agak menyesal tadi malas salat subuh.
Bagaimana bisa sakit kepalanya ternyata menyimpan banyak sekali penyakit macam itu? Tambah pusing, Uta berhenti mendiagnosis dirinya sendiri. Ia berharap paracetamol cepat bekerja, ia paksakan matanya buat terpejam.
Tak jauh berbeda, mendiagnosis kesehatan mental diri sendiri sama konyolnya dengan mendiagnosis kesehatan fisik diri sendiri.
“Manusia cenderung tidak mampu melihat secara tepat. Biasanya dia mengurangi atau melebih-lebihkan,” ujar dr. Jiemi Ardian, Sp. KJ saat ditemui kumparan, Sabtu (5/10) di JCC Senayan, Jakarta.
Termasuk, kata dr. Jiemi, dalam membandingkan apa yang ia baca dan kondisi dirinya sendiri. “Apa yang berbahaya dari melebih-lebihkan? Misal, harusnya kondisinya bukan distimia (depresi berkepanjangan), tapi dia, setelah baca dari internet, menganggap itu distimia. Mungkin cuma stres pekerjaan, atau burnout, misalnya. Sesuatu yang sebenarnya sederhana,” kata dr. Jiemi.
“Tapi, karena menganggap kondisinya distimia, akhirnya, dia meng-internalized penderitaan yang sebenarnya tidak ada. Dia berperilaku seperti (orang dengan) distimia, meminta obat distimia, dan itu tidak membawa dia ke mana-mana,” ujar dr. Jiemi.
Sementara, bagi mereka yang mengurang-ngurangi atau denial bisa berpengaruh terhadap keputusannya untuk tidak mencari pertolongan—yang sangat mungkin membuatnya tak tertolong saat kondisinya telah memburuk. “Fungsinya profesional itu sebenarnya cermin. Cuma buat ngelihat, Am I okay?”
“Selain itu,” sambung dr. Jiemi, “ada yang namanya psychological syndrome. Ini sering dialami mahasiswa kedokteran, ‘Gue baca ini, kayaknya gue sakit ini deh.’ Kayak gitu. Kita mudah sekali ‘terbohongi’, dalam tanda kutip. Itu rawan.”
Kondisi rawan yang dimaksud diakibatkan oleh psychological syndrome itu adalah kemungkinan terlewatinya penyakit fisik karena perhatian swadiagnosis yang ngawur hanya terfokus pada kondisi mentalnya saja. dr. Jiemi mencontohkannya dengan penyakit gondok.
“Penyakit itu kompleks, kan kita ngomongin faktor biologis, psikologis, dan sosial. Misal dia hipoteroid, penyakit gondok. Pada penyakit gondok, yang hormon tiroidnya menurun, kondisi depresinya tuh bisa stay terus. Itu sebenarnya karena hormonal. Tapi, kalau orang udah ngotot duluan itu distimia, bisa bayangkan kita akan miss diagnosis aslinya,” ujar dr. Jiemi.
“Atau misalnya kanker di otak yang nempel di pengatur mood. Tapi gue udah ngotot, ‘Ini distimia.’ Bisa bayangkan bahayanya kan?”
Meski begitu, tak bisa dipungkiri bahwa informasi mengenai tanda dan karakteristik gangguan kejiwaan yang kini jamak di internet juga punya sisi positif. Meskipun demikian, hal tersebut seharusnya sebatas meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kondisi mentalnya alih-alih sebagai patokan diagnosis.
“Kalau kita memandangnya secara positif, itu membuka (agar) orang lebih familiar terhadap kondisi dirinya ya. 'Oh iya ya aku begini-begini.' Jadi informasi lebih banyak, orang jadi lebih mudah mengaksesnya. Kalau beberapa waktu lalu, sebelum internet booming, kan nggak ngerti gitu. 'Oh ini ada ini ya,' dulu kan nggak ngerti,” jelas psikolog Ratri Kartikaningtyas kepada kumparan di Perumahan Kota Wisata, Cibubur, Bogor, Jawa Barat, Rabu, (9/10).
Meski demikian, menurut Ratri, tetap saja bukan berarti informasi tersebut menjadi patokan untuk seseorang melakukan self-diagnose. Menurut Ratri, “Melakukan dan menegakkan diagnosis itu nggak sederhana. Itu harus profesional.”
“Tipsnya, kalau kita membaca info seperti itu, kemudian kita merasa mengalami beberapa hal, itu berarti tanda bahwa kita lebih baik untuk segera menemui profesional, untuk memastikan kondisi kita . Itu langkahnya,” ujarnya lagi.
Meskipun terdengar sepele dan terlihat jelas basis logikanya, tak sedikit orang yang melakukan diagnosis sendiri dan mengecilkan arti bertemu tenaga medis profesional untuk menangani sebuah penyakit. Hal ini dirasakan oleh Lady Chita, CEO sekaligus co-founder dari Ibunda.id, sebuah platform yang fokus di kesehatan mental dan menjadi jembatan antara user dan tenaga profesional di bidang kesehatan mental macam psikolog dan psikiater.
“Pertanyaannya bukan soal ‘Aku harus minum obat apa ya?’ tapi malah ‘Aku udah minum obat ini, nih.’ Dan itu psikolog kita suka konfirmasi, ‘Apakah kamu dapat obat itu dari psikiater atau kamu beli sendiri? Dan ada yang beli sendiri, ada yang emang dari psikiater,” ujar Chita kepada kumparan, Rabu (9/10).
“Mereka beli sendiri, biasanya tuh kayak, ‘Aku dapetin dari teman, karena temanku mengalami hal yang sama.’ Kayak gitu banyak terjadi,” ujar Chita.
“Padahal, belum tentu sama (setiap orang). Memang harus prepare buat kita semua sebagai praktisi: ketika awareness-nya naik, nggak boleh berhenti sampai di situ. Karena, kalau berhenti di situ, jadinya (banyak yang ) self-diagnose. ‘Oh, gue tau nih, gue masalahnya ini’ terus ‘gue beli obat sendiri’ gitu,” ujar Chita.
Yang kemudian menjadi pertanyaan, apabila seseorang tak boleh melakukan diagnosis terhadap diri sendiri, kapan seseorang—yang telah membaca karakter sebuah gangguan dan merasa memiliki beberapa pertanda tersebut—harus menemui tenaga profesional ?
Menurut dr. Jiemi, hal tersebut mudah saja. “Ada empat tandanya. Distress, disability, danger, deviance.”
Distress yang dimaksud adalah penderitaan dalam jangka waktu yang terus-menerus. “Intinya, sebagian besar harimu menderita.”
Disability, ketidakmampuan, dicontohkan dr. Jiemi seperti ‘...tidak mampu mandi, tidak mampu makan, tidak mampu beraktivitas seperti biasa.’
“Dulu gue progresnya bagus, dua tahun terakhir kok progresnya stagnan dan nggak enak? Itu disability,” ujarnya.
“Yang ketiga danger. Ini pikiran berbahaya, baik ke orang lain maupun diri sendiri. Misalnya cutting (ke tangan), atau pernah nggak sih, lagi lewat kereta, ‘Gue pingin dorong orang ini.’ Itu pikiran danger,” tambah dr. Jiemi.
Yang terakhir adalah deviance. Menurutnya, ini pertanda yang biasanya disadari oleh teman atau keluarga. “‘Kamu kok akhir-akhir ini tidurnya panjang, kok moody, sensitif?’ Misalnya.”
“Keempat itu kata kuncinya konsisten. Kalau berulang kali, apalagi danger, terutama, itu nggak bisa nego. Harus cari pertolongan,” ujar dr. Jiemi.
Mata Uta perlahan terbuka. Gerah. Ia barusan mimpi berada di rumah sakit dan dikejar-kejar mantri yang menenteng pisau bedah sebesar gergaji mesin Senso. Uta meraih handphone dan bangun pelan-pelan. Sudah hampir magrib.
Kepalanya sedikit pengar namun nyeri di kiri kepala mulai hilang. Ia tertawa kecil mengingat vonis tumor otak dan glaukoma. Ia menyadari dua hal: betapa penemu paracetamol adalah ahli surga dan betapa tidur adalah nikmat alam yang tak terkira.