Benarkah Ateis Lebih Cerdas dari Orang Beragama?

9 Juni 2017 6:26 WIB
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Ateis (Foto: Thinkstock)
Membicarakan ateisme selalu mengusik hegemoni agama dalam masyarakat. Tak mengakui Tuhan dan tak beragama seakan membuat manusia menjadi pengkhianat --melenceng dari kebiasaan umat selama ribuan tahun untuk memercayai yang Tertinggi.
ADVERTISEMENT
Namun, identitas ateis (atau agnostik) bukan keanehan. Banyak orang dengan sengaja meninggalkan kepercayaannya. Pew Research menyebutkan, setidaknya 97 juta orang di dunia merupakan kelompok non-pemeluk agama atau ateis.
Selanjutnya, muncullah pembagian kelompok pemeluk agama dan non-agama. Keduanya tentu saja tidak dilihat melalui identitas fisik seperti suku atau etnis.
Pemahaman agama, bagaimanapun, ialah personal. Ini tentang bagaimana manusia memahami kehidupannya. Sehingga, diskursus tentang kepercayaan lalu merembet ke ranah studi psikologi.
Salah satu bentuk klaimnya adalah ateis menyebut diri sebagai orang-orang rasional yang menghindari pemikiran transendental (abstrak/kerohanian).
Alih-alih memercayai kekuatan supernatural dan tangan Tuhan yang menjadikan semuanya ada, menurut mereka setiap peristiwa dalam hidup memiliki alasan yang bisa dibuktikan secara saintifik.
Salah satu yang saat ini banyak dibicarakan adalah komparasi berujung kesimpulan bahwa ateis memiliki kecerdasan di atas kelompok religius. Baru-baru ini, Live Science melansir penelitian yang menyebutkan bagaimana ateis memiliki kecerdasan lebih dibanding dengan mereka yang memeluk agama.
ADVERTISEMENT
Jurnal ilmiah berjudul The Relation Between Intelligence and Religiosity: A Meta-Analysis and Some Proposed Explanations mencatat ada 63 penelitian yang menghubungkan kecerdasan dan religiusitas. Dari semua penelitian yang membentang dari tahun 1928 hingga terakhir 2015, seluruhnya menunjukkan hasil serupa: ateis lebih cerdas dibanding orang beragama.
Ilustrasi manusia dan semesta. (Foto: Pixabay)
Kecerdasan menjadi bagian sentral dalam studi psikologi abad ke-20. Dalam sebuah penelitian, psikolog University of California, Berkeley Linda Gottferdson menyebut intelligence atau kecerdasan adalah “Kemampuan untuk membangun alasan, menyelesaikan masalah, berpikir abstrak, menjelaskan gagasan yang kompleks, belajar dengan cepat, dan belajar dari pengalaman.”
Sementara religiusitas sering dilihat sebagai konsep tentang bagaimana manusia patuh terhadap segala macam dogma dan ajaran agama. Agama begitu berpengaruh dalam menggerakkan masyarakat. Para sosiolog, mulai Auguste Comte, Emile Durkheim, dan Max Weber, sepakat bahwa manusia pada mulanya digerakkan oleh spiritualitas.
ADVERTISEMENT
Namun para sosiolog tersebut juga mengatakan, kelak manusia akan mengedepankan rasionalitas dan meninggalkan sesuatu yang supernatural. Sehingga, konsep religiusitas dianggap bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Tulisan Edward Dutton dan Van Der Linden berjudul Why is Intelligence Negatively Associated with Religiousness? mengatakan bahwa agama merupakan insting (naluri), dan memerlukan kecerdasan untuk bisa menghadapi insting tersebut.
Agama dan kecerdasan, meski terkesan saling melengkapi, namun dianggap Dutton sebagai kombinasi negatif.
“Kecerdasan bekerja berlawanan (dengan agama). Ia dapat digunakan lebih tinggi dari insting. Ada kecenderungan, sesuatu yang tak berkaitan dengan insting akan mampu dipahami oleh kecerdasan dan dapat membantu kita menyelesaikan masalah yang kita hadapi,” ujar Dutton.
Hasil sejumlah penelitian memperlihatkan, masyarakat beragama memiliki kekurangan, yakni gagal menciptakan kecerdasan logika di tengah mereka.
ADVERTISEMENT
Penelitian sederhana oleh Reeve dan Basalik tentang seberapa religius masyarakat yang di dalamnya terdapat sejumlah orang ber-IQ tinggi, menyimpulkan “Populasi dengan tingkat IQ lebih tinggi kemungkinan besar menjauh dari kebiasaan agama dan menjadi lebih rasional.”
Penelitian lain bahkan menelurkan kesimpulan yang lebih mencengangkan. Penelitian yang dipimpin Profesor Gijben Stoet dari Leeds University ini mengukur tingkat religiusitas 82 negara.
Penelitian tersebut menunjukkan, negara-negara religius seperti Indonesia, Qatar, Yordania, Yaman, dan Mesir memiliki populasi dengan kemampuan rendah dalam menyerap ilmu pengetahuan alam dan hitung-menghitung. Aktivitas pendidikan di negara-negara religius terlihat lebih menghabiskan waktu namun tak mengasah kemampuan dalam memahami ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Namun tak semua akademisi “menyudutkan” agama. Profesor Ilmu Neurologi dari Universitas Oxford, Professor Dominic Johnson, menyebutkan bahwa “klaim” kelompok ateis bahwa mereka sangat rasional, sesungguhnya lemah.
Ia berkata, “manusia pada dasarnya percaya pada sesuatu yang tidak terlihat, semacam Sesuatu yang Maha Kuat. Bahkan hal itu juga terjadi pada para ateis yang merasa paling rasional.”
Ilustrasi agama. (Foto: Tumblr)