Harga Vanili Dunia Mahal, Mahasiswa UB Kembangkan Vanili dari Limbah

20 Juli 2017 13:13 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tanaman vanili (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Tanaman vanili (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Meski semakin mahal, Titi masih rutin membeli dan menggunakan vanili setiap bulan. “Lebih mahal yang sekarang,” sebut pengusaha makanan skala rumahan itu saat membandingkan harga vanili saat ini dengan tahun-tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Perempuan berusia 50-an tahun itu mengaku biasa menggunakan vanili sebagai bahan pengharum dan penyedap kue. Selama ini ia hanya menggunakan kualitas menengah yang harganya Rp 15 ribu per 50 mililiter. Itu tidak semahal vanili asli. “Vanili yang asli harganya mahal banget,” tuturnya, Selasa (18/7/2017) sore.
Vanili alami berbentuk polong kering yang terbuat langsung dari buah vanili, yang dipetik dari tanaman kacang-kacangan polong yang banyak tumbuh di Madagaskar dan Indonesia.
Di Tokopedia, situs jual beli di Indonesia, harga vanili berbentuk polong kering dibanderol lebih dari Rp 5 juta per kilogram.
Di Eropa, harga vanili jauh lebih mahal lagi. Berdasarkan laporan pasar Eurovanille pada Juli 2017, harga vanili asli bisa mencapai 600 dolar AS per kilogram atau hampir sekitar Rp 8 juta per kilogram. Produk tersebut diperkirakan akan semakin mahal seiring bertambahnya jumlah penduduk. Konsumsi vanili meningkat, sementara persediaannya makin menipis.
ADVERTISEMENT
Kini, banyak perusahaan berlomba-lomba membuat vanili sintetis untuk memenuhi permintaan pasar terhadap produk yang lazim digunakan sebagai bahan penguat rasa kue, cokelat, es krim, permen, parfum, dan bahkan bahan kosmetik. Sebagian dari mereka membuat vanili sintetis dari bahan kimia turunan minyak bumi (petrochemical) yang tak ramah lingkungan dan dapat menimbulkan efek berbahaya jika dikonsumsi terus-menerus, seperti alergi, iritasi kulit dan mata, migrain, hingga kanker.
Melihat kondisi ini, empat mahasiswa dari Universitas Brawijaya (UB) --Himawan Auladana, Rizki Septian, Rulyawan Ediwasito, dan Elyda Amelia Noor-- kemudian berinisiatif melakukan penelitian untuk membuat produk vanili alternatif. Senyawa vanilin (C8H8O3), komponen utama dari vanili, yang berhasil mereka hasilkan dari jerami itu mereka namakan LignoFlava --singkatan dari lignocellulose flavor agent natural vanillin yang berarti perasa vanili alami dari lignoselulosa.
Tim mahasiswa UB di ajang Thought for Food. (Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Tim mahasiswa UB di ajang Thought for Food. (Foto: Dok. Pribadi)
Bukan tanpa alasan. Mereka menggunakan jerami sebagai bahan baku karena limbah pertanian itu banyak terdapat di Indonesia. “Biasanya kan (jerami) cuma dibakar oleh para petani,” tutur Himawan kepada kumparan (kumparan.com), Selasa (18/7/2017) malam.
ADVERTISEMENT
Pemanfaatan jerami menjadi vanili, harapannya, juga membantu petani memperoleh tambahan pendapatan.
Penelitian bermula saat Himawan dan kawan-kawan melihat adanya peluang untuk mengolah limbah pertanian itu menjadi senyawa vanilin dengan menggunakan mikroorganisme spesifik yang mereka sebut jamur pelapuk cokelat. Melalui proses fermentasi dengan bantuan jamur tersebut, setiap bahan yang mengandung lignoselulosa seperti jerami dapat diolah menjadi berbagai produk turunan, salah satunya senyawa vanilin. Adapun lignoselulosa sendiri merupakan komponen struktur yang mengandung lignin, selulosa, dan hemiselulosa yang banyak ditemukan pada limbah tanaman --bahan baku yang dapat diperbarui.
Himawan mengungkapkan, jamur khusus tersebut ditemukan oleh dosen pembimbing mereka yang bernama Irnia Nurika. Pengajar di jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UB itu menemukan dan menggunakan mikroorganisme spesifik itu untuk pengembangan bioetanol. Setelah berkonsultasi dengan Irnia, Himawan dan kawan-kawan akhirnya mulai fokus mengerjakan penelitian LignoFlava tersebut.
Limbah jerami. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Limbah jerami. (Foto: Pixabay)
Atas terobosan penelitian itu, tim mereka kemudian terpillih sebagai 10 besar peserta kompetisi pangan bertaraf internasional bertajuk Thought for Food. Mereka baru saja mengikuti sesi akhir kompetisi yang diadakan selama tiga minggu di Amsterdam, Belanda, itu pada Mei-Juni 2017 lalu. Dalam ajang internasional yang diikuti oleh berbagai tim dari seluruh dunia tersebut, mereka merupakan satu-satunya tim yang berasal dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di Amsterdam, penelitian mereka mendapat banyak tanggapan positif dari sejumlah perusahaan dunia. Salah satu ahli (expert) dari Givaudan, perusahaan asal Swiss yang memproduksi bahan penyedap rasa, pawangi, dan kosmetik, mengungkapkan rasa tertariknya pada penelitian mereka. Menurutnya, sebagaimana dituturkan Himawan, prospek penelitian mereka sangat bagus.
“Ada lagi Evolva. Nah ini malah lebih menjurus ke kami lagi. Mereka memang inginnya (yang) natural atau organik seperti produk kami,” kata Himawan. Evolva Holding SA (Evolva) adalah perusahaan asal Swiss yang berupaya untuk menemukan, membuat, dan menyediakan bahan-bahan yang inovatif dan berkelanjutan untuk kesehatan, nutrisi, dan kesegaran.
Himawan mengklaim senyawa vanilin yang dihasilkan dari jerami ini aman dikonsumsi, tidak seperti vanilin yang berasal dari turunan minyak bumi.
ADVERTISEMENT
“Kalau secara teorinya sih LignoFlava ini aman karena produk kami ini kan berbasis organik. Sementara kita tahu sendiri minyak bumi itu kimia kompleks yang istilahnya kalau masuk tubuh itu kurang bagus. Beda sama produk kami yang organik,” papar Himawan.
Tim mahasiswa UB di ajang Thought for Food. (Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Tim mahasiswa UB di ajang Thought for Food. (Foto: Dok. Pribadi)
Secara sederhana, mahasiswa tingkat akhir UB itu menjelaskan proses pembuatan senyawa vanilin dari jerami kepada kumparan. Pertama, jerami dipotong-potong dengan menggunakan alat pemotong, kemudian difermentasi dengan menggunakan fermentor. Selanjutnya, bahan diekstraksi menggunakan ekstraktor, dan akhirnya dimurnikan menggunakan evaporator. “Setelah dievaporasi, barulah kemudian didapatkan senyawa vanilin,” jelasnya.
Secara terpisah, Kepala Bidang Pengelolaan dan Diseminasi Hasil Penelitian Pusat Penelitian Biomaterial LIPI, Dede Heri Yuli Yanto, menyatakan memang memungkinkan membuat senyawa vanilin dari jerami atapun bahan-bahan lain yang mengandung lignoselulosa.
ADVERTISEMENT
“Pada prinsipnya yang disintesa menjadi senyawa vanilin ini adalah dari komponen lignin-nya,” kata Dede kepada kumparan, Kamis (20/7/2017) siang.
Cairan senyawa vanili yang dihasilkan. (Foto: Dok. Himawan Auladana)
zoom-in-whitePerbesar
Cairan senyawa vanili yang dihasilkan. (Foto: Dok. Himawan Auladana)
Kini Himawan dan kawan-kawan berupaya mengembangkan dan menyempurnakan penelitian, melalui pemanfaatan bahan baku lainnya, seperti sabut kelapa, kulit cokelat, dan limbah kayu lainnya yang juga mengandung lignoselulosa.
Mereka berharap harga vanili tersebut nantinya bisa menyaingi vanili dari turunan minyak bumi, sehingga menarik konsumen beralih menggunakan vanili dari bahan organik tersebut.
Mereka memperkirakan harga vanili berbentuk bubuk yang akan diproduksi bernilai 180 dolar AS per kilogram atau sekitar Rp 2,4 juta per kilogram. Ini jauh lebih murah dibandingkan harga bubuk dari tanaman vanili yang kini mencapai 1.200 dolar AS per kilogram atau sekitar Rp 16 juta per kilogram, maupun vanili yang masih berbentuk polong kering seharga 500 dolar AS per kilogram atau sekitar Rp 5,3 juta per kilogram.
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan dengan harga vanili sintetis yang berasal dari petrochemical, diakuinya LignoFlava masih lebih mahal. Vanili dari petrochemical itu cuma 80 dolar AS per kilogram. “Nah target kita ingin menyaingi vanili yang sintetis,” ujar Himawan.
Senyawa vanilin berbahan jerami sejauh ini masih belum diujicobakan langsung pada makanan. Himawan masih mengupayakan sejumlah pengembangan supaya didapat hasil evaporasi yang paling murni. “Setelah didapat yang paling murni, kita akan coba ke makanan,” terangnya. Untuk selanjutnya, ia akan mengurus hak paten penemuan tersebut.
Penelitian yang telah berjalan sejak September 2016 itu sedikitnya telah menghabiskan biaya lebih dari Rp 60 juta, yang sebagian besar dikuras dari kantong sendiri.
Keikutsertaan mereka dalam ajang internasional di Amsterdam bulan lalu telah membuka jalan yang baik. Himawan menceritakan ada beberapa investor dari luar negeri yang tertarik membiayai kelanjutan penelitian mereka.
ADVERTISEMENT
“InsyaAllah kalau tak ada halangan kami bulan Oktober (2017 ini) akan ke Italia bikin MoU dengan investor dari Italia,” pungkas Himawan.
Tim mahasiswa UB di ajang Thought for Food. (Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Tim mahasiswa UB di ajang Thought for Food. (Foto: Dok. Pribadi)
Editor: Irma Tambunan