Jawab Permasalahan Lingkungan, Profesor ITB Ciptakan Batu Bara Hibrida

20 Maret 2018 13:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Prof. Dwiwahju Sasongko (Foto: Dok. ITB)
zoom-in-whitePerbesar
Prof. Dwiwahju Sasongko (Foto: Dok. ITB)
ADVERTISEMENT
Saat ini, batu bara banyak dimanfaatkan di Indonesia sebagai bahan bakar untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Dibandingkan bahan bakar fosil lainnya seperti minyak bumi dan gas bumi atau gas alam), batu bara menghasilkan lebih banyak emisi karbon dioksida serta partikulat dalam bentuk partikel abu.
ADVERTISEMENT
Memasuki abad ke-20, beberapa sumber energi terbarukan seperti energi surya, bayu, biomassa, hidro, dan lainnya, mulai dimanfaatkan. Pada saat itu pulalah aktivis-aktivis lingkungan mulai menyerukan pengurangan penggunaan batu bara.
Selain menyebabkan terbentuknya emisi gas rumah kaca, pembakaran batu bara juga berpotensi mencemari lingkungan dengan senyawa asam seperti NOx dan SOx yang dapat menyebabkan hujan asam.
Adanya isu-isu lingkungan tersebut tidak serta-merta membuat manusia meninggalkan penggunaan batu bara sebagai bahan bakar. Sampai saat ini batu bara masih menjadi sumber energi utama bagi industri karena cadangannya yang berlimpah, biaya investasi peralatan yang lebih rendah, serta dukungan teknologi yang sudah matang.
Menjawab permasalahan yang terjadi soal pemanfaatan batu bara ini, Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung (FTI ITB) Profesor Dwiwahju Sasongko menyampaikan orasi ilmiah berjudul "Tantangan Pengembangan Teknologi Pemrosesan Batubara Ramah Lingkungan (Clean Coal Technology) di Indonesia”.
Prof. Dwiwahju Sasongko (Foto: Dok. ITB)
zoom-in-whitePerbesar
Prof. Dwiwahju Sasongko (Foto: Dok. ITB)
Bertempat di Aula Barat ITB pada Sabtu, 10 Maret 2018, orasi ilmiah yang disampaikan Prof. Sasongko di acara Forum Guru Besar ITB itu berisi pemaparan terkait berbagai hasil penelitiannya mengenai pemanfaatan batu bara di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Prof. Sasongko menjelaskan, saat ini Indonesia memiliki cadangan batu bara terbanyak ke-9 di dunia atau sekitar 2,2 persen dari seluruh cadangan batu bara dunia. Sayangnya, sekitar 80 persen cadangan batu bara Indonesia termasuk batu bara peringkat sedang dan rendah dengan nilai kalor kurang dari 5000 kilokalori/kilogram.
Batu bara dengan nilai kalor yang rendah ini masih sedikit atau belum dimanfaatkan. Selain itu, dengan produksi batu bara di Indonesia yang lebih dari 400 juta ton per tahun, hanya sekitar 20 persen batu bara yang dimanfaatkan untuk keperluan dalam negeri, sementara 80 persen lainnya diekspor ke luar negeri.
Selain memiliki banyak cadangan batu bara peringkat sedang dan rendah yang masih kurang dimanfaatkan, Indonesia juga memiliki potensi limbah biomassa yang banyak dan juga masih sedikit dimanfaatkan. Limbah biomassa ini bisa berupa serbuk gergaji kayu, sekam, dan limbah dari pertanian, perkebunan dan kehutanan lainnya.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi ini, Prof. Sasongko bersama Dr. Winny Wulandari dan Dr. Jenny Rizkiana yang juga dari FTI ITB melakukan penelitian terobosan, yakni membuat batu bara hibrida. Mereka mencampurkan batu bara peringkat rendah dan sedang dengan limbah biomassa lalu mengkonversinya menjadi batu bara hibrida.
Prof. Dwiwahju Sasongko dan tim risetnya (Foto: Dok. ITB)
zoom-in-whitePerbesar
Prof. Dwiwahju Sasongko dan tim risetnya (Foto: Dok. ITB)
Batu bara hibrida dibuat dengan mencampurkan partikel batu bara dan biomassa dengan menggunakan perekat (binder) kemudian memprosesnya melalui proses pirolisis pada temperatur rendah, yakni sekitar 200-300°C.
Pirolisis adalah proses dekomposisi termokimia bahan organik melalui proses pemanasan tanpa oksigen atau dengan sedikit oksigen atau pereaksi kimia lainnya. Proses ini dilakukan dengan menggunakan panas yang tinggi hingga bisa mencapai ribuan derajat Celcius.
Bahan baku penyusun batu bara hibrida (Foto: Dok. Tim Riset Prof. Dwiwahju Sasongko)
zoom-in-whitePerbesar
Bahan baku penyusun batu bara hibrida (Foto: Dok. Tim Riset Prof. Dwiwahju Sasongko)
Proses pirolisis dengan suhu yang relatif lebih rendah dalam pembuatan batu bara hibrida ini lazim juga disebut sebagai proses torefaksi. Melalui proses ini, sebagian bahan volatil mengalami dekomposisi dan terlepas dari matriks batu baramaupun biomassa sehingga nilai kalor bahan bakar padat ini lebih tinggi dibandingkan nilai kalor batu bara maupun biomassa penyusunnya.
ADVERTISEMENT
Selain memiliki nilai kalor yang lebih tinggi, batu bara hibrida ini juga kandungan air yang lebih rendah serta bersifat lebih hidrofobik. Yang lebih menarik lagi, emisi karbon dioksida pada pembakaran batu bara hibrida ini lebih rendah dibandingkan dengan batu bara umpan karena karbon dioksida yang dihasilkan pada pembakaran biomassa adalah karbon dioksida netral.
Batu bara hibrida (Foto: Dok. Tim Riset Prof. Dwiwahju Sasongko)
zoom-in-whitePerbesar
Batu bara hibrida (Foto: Dok. Tim Riset Prof. Dwiwahju Sasongko)
Selama ini, Prof. Sasongko dan tim juga pernah melakukan penelitian lain untuk menanggulangi dampak negatif pemrosesan batu bara. Selain dilakukan secara fisik dan kimiawi, kandungan sulfur dalam batu bara dapat disisihkan dari batu bara secara biologik dengan memanfaatkan bakteri Thiobacillus ferrooxidans.
Dalam penelitian lain Prof. Sasongko dan tim juga pernah memanfaatkan mikroorganisme Trichoderma sp untuk memutus rantai hidrokarbon dalam matriks batu bara sehingga dihasilkan bahan bakar cair melalui biosolubilisasi. Dengan mengkonversi batu bara menjadi bahan bakar cair, abu tidak akan dihasilkan pada pembakaran sehingga lebih ramah lingkungan.
Batu bara cair (Foto: Dok. Tim Riset Prof. Dwiwahju Sasongko)
zoom-in-whitePerbesar
Batu bara cair (Foto: Dok. Tim Riset Prof. Dwiwahju Sasongko)
Selain itu, Prof. Sasongko dan tim juga pernah melakukan penelitian untuk memanfaatkan abu batu bara yang dihasilkan PLTU untuk sintesis zeolit. Zeolit dapat berfungi sebagai adsorben atau katalis dan memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih menjanjikan dibandingkan dengan abu batu bara yang saat ini hanya dimanfaatkan sebagai bahan baku pabrik semen atau konstruksi bangunan.
ADVERTISEMENT
Prof. Sasongko berharap, hasil penelitian-penelitian ini dapat membantu menanggulangi dampak negatif penggunaan batu bara di Indonesia dan dunia
“Mengingat beberapa keunggulan yang dimiliki batu bara dan telah banyak upaya untuk mengatasi dampak negatifnya, Indonesia memiliki potensi untuk memberikan kontribusi pada pengembangan teknologi pemrosesan batu bara ramah lingkungan di masa kini dan masa depan,” ujar Pof. Sasongko, sebagaimana juga dilansir laman ITB.