Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Ketika Siklon Cempaka Ancam Habitat Kelelawar di Yogyakarta
8 Desember 2017 15:06 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Dampak siklon Cempaka ternyata tidak hanya dirasakan oleh warga Yogyakarta saja. Para penghuni gua di kawasan Geopark Gunugsewu, Kulon Progo, Yogyakarta pun terancam banjir yang dibawa oleh siklon tropis tersebut.
ADVERTISEMENT
Lewat kicauan di Twitter, LIPI mempaparkan bagaimana siklon Cempaka akan membawa dampak bagi hewan-hewan yang habitatnya berada di dalam gua. "Akibat banjir, hewan teresrial (darat) kehilangan habitat karena tidak mampu bertahan di dalam air," tulis LIPI.
Menurut Peneliti Zoologi dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cahyo Rahmadi, baru kali ini kawasan Gunungsewu mengalami banjir yang besar sehingga sebelumnya tidak ada ancaman seperti yang terjadi sekarang.
"Selama ini kan tidak pernah Gunungsewu mengalami banjir yang sedahsyat itu, ini kan dahsyat sekali. Jadi, ketika satu gua sampai tidak sanggup menampung air, sehingga sampai di mulut gua menggenang itu kan berarti daya tampung di dalamnya sudah tidak bisa menyalurkan sampai laut selatan," kata Cahyo kepada kumparan (kumparan.com).
ADVERTISEMENT
Kawasan Gunungsewu merupakan rumah bagi berbagai biota terestrial (darat) dan akuatik (air). Biota terestrial yang hidup di sana terdiri dari berbagai jenis kelelawar, termasuk Nycteris javanica yang merupakan endemik di Pulau Jawa.
Nycteris javanica atau dalam bahasa Indonesia disebut pedan jawa adalah kelelawar endemik di Pulau Jawa dan memiliki status terancam punah berdasarkan IUCN Red List.
Selain Nycteris javanica, ada beberapa kelelawar lain yang hidup di Gunungsewu, seperti Coelops frithii, Hipposideros diadema, dan Rousettus amplexicaudatus.
Cahyo secara spesifik mengungkapkan kekhawatirannya pada kelelawar, dikarenakan air yang memenuhi gua dikhawatirkan dapat membunuh kelelawar.
"Yang menjadi permasalahan kalau yang hewan darat itu tersapu ya sudah, hilang. Pasti seperti itu. Baik yang menempel di dinding gua maupun di lantai gua," katanya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, masih ada kemungkinan kelelawar di sana bisa selamat dari banjir apabila mereka sempat meninggalkan gua terlebih dahulu.
“(Ada) Kemungkinan untuk kembali. Jadi begini, skenario proses terjadinya, banjir itu masuk ke dalam gua itu bertahap. Saya belum tahu persis tapi ada kemungkinan mereka (kelelawar) punya nature, insting alamiah yang bisa memberi peringatan ke mereka bahwa mereka terancam (sehingga) mereka keluar terlebih dahulu," jelasnya.
Kelelawar yang berhasil selamat kemungkinan akan mencari habitat baru yang mirip dengan habitat aslinya. Dan dipastikan mereka akan kembali bila banjir sudah selesai. Namun, perubahan jumlah dan bentuk kelompok bisa terjadi setelahnya.
"Kalau banjir itu datang begitu cepat dan langsung memenuhi (gua) sudah pasti tidak sempat menyelamatkan diri dan terendam air. Bisa jadi."
ADVERTISEMENT
Jumlah kelelawar yang pergi dari gua itu ia sebut akan mengalami dampaknya dari siklon Cempaka tersebut. Menurutnya, butuh waktu untuk mengumpulkan kembali kawanan yang telah terpisah pasca banjir.
"Kolonisasi atau kembalinya itu kan membutuhkan waktu. Karena mereka pasti akan terpengaruh dari sisi jumlah (akan ada perubahan jumlah kelelawar yang kembali) dan lain-lain," papar Cahyo.
Ketika dikonfirmasi mengenai keadaan di Gunungsewu, Eddy Guano, peneliti di kawasan karst Gunungsewu dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan tidak terjadi banjir di Gunungsewu, melainkan hanya luapan air. Meski begitu, ia belum bisa memastikan apakah kekhawatiran LIPI terhadap biota yang hidup di dalam gua-gua di Gunungsewu benar terjadi atau tidak.
Pasca berlalunya siklon Cempaka, kini warga Yogyakarta bisa beraktivitas seperti biasa lagi dan kegiatan pariwisata pun kembali berlanjut. Siklon yang penuh ancaman itu sudah menjauhi Pulau Jawa. Badai memang pasti berlalu.
ADVERTISEMENT