Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kisah Antonio Blanco, Pria Jakarta yang 6 Tahun Hidup dengan HIV
8 Mei 2018 8:19 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT
Antonio Blanco masih ingat betul kapan pertama kali ia mendapatkan hasil pemeriksaan yang menyatakan dirinya positif terinfeksi Human Immundeficiency Virus (HIV ).
ADVERTISEMENT
“3 Agustus 2012. Di Bali,” ujarnya. Pada saat itu, Antonio masih berusia 26 tahun.
Munculnya inisiatif Antonio untuk tes HIV adalah karena ketika berlibur di Pulau Dewata itu ia bertemu dengan aktivis HIV/AIDS dari Amerika Serikat, Paul Robb Latourell. Latourell adalah orang yang pertama kali menyarankan Antonio untuk memeriksakan diri.
“Awalnya sih agak worry (khawatir) juga. Takut hasilnya positif. Tapi lebih cepat, lebih baik,” kenangnya.
Setelah didiagnosis positif terinfeksi HIV, karena Antonio berdomisili di Jakarta, ia kemudian mendapatkan surat rujukan untuk melanjutkan pengobatan di Ruang Carlo Rumah Sakit St. Carolus Jakarta. Ruang Carlo adalah bagian khusus dari rumah sakit ini yang memberikan pelayanan untuk pemeriksaan dan konseling HIV/AIDS di rumah sakit itu.
ADVERTISEMENT
Sekembalinya dari Bali ke ibu kota, Antonio tidak langsung melanjutkan pengobatan. Ia masih tak terima dirinya positif HIV. Oleh karena itu, dengan menggunakan nama samaran, ia mencoba melakukan tes ulang HIV di Rumah Sakit St. Carolus.
Ternyata hasil tes ulang ini sama: Antonio positif HIV.
Mengetahui dirinya benar-benar positif HIV, tentulah membuat Antonio merasa terpuruk. Ia tidak langsung mengabarkan hal ini kepada keluarga dan teman-temannya di Jakarta.
Jangankan berpikir soal penerimaan dari orang tua maupun teman-temannya yang ada di Jakarta, pada saat itu, Antonio sendiri pun masih sulit menerima kenyataan bahwa dirinya positif HIV pun sangat sulit.
Karena masih merasa begitu syok, Antonio tidak memutuskan untuk memulai pengobatan HIV di rumah sakit yang menjadi rujukan dari dokter pertama yang mendiagnosis dirinya positif HIV itu. Antonio justru memilih untuk pergi Yogyakarta. Di sana, di rumah eyangnya, Antonio ingin menenangkan diri terlebih dulu.
ADVERTISEMENT
Masa-masa itu adalah momen paling krusial bagi Antonio. Tak hanya syok, Antonio juga sempat putus asa dan merasa “it’s the end of the world.” Ia merasa dunianya sudah hancur karena dirinya positif HIV.
Meski sempat depresi setelah mengetahui dirinya benar-benar positif HIV, pada akhirnya Antonio tetap mengambil pilihan yang logis, yakni kembali ke Jakarta dan mulai melakukan pengobatan di Rumah Sakit St. Carolus.
“Padahal di Jakarta rumah sakit banyak, kenapa saya harus kembali lagi ke sini?” ujar Antonio yang merasa bawah rumah sakit itu punya nilai sentimental tersendiri baginya.
Antonio lahir di Rumah Sakit St. Carolus Jakarta. Orang tuanya pun bekerja di rumah sakit ini sejak tahun 1982. (Oleh karena itu, ketika melakukan tes ulang HIV ia memakai nama samaran supaya rekam medisnya tidak diketahui.)
ADVERTISEMENT
Tak hanya menjadi tempat lahirnya dan tempat bekerja orang tuanya, sejak akhir 2012 itu bertambah lagi jejak sejarah yang Antonio buat di rumah sakit ini. Ia mulai melanjutkan pengobatan terhadap kondisinya sebagai orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di rumah sakit itu sebagaimana rujukan dokter.
Pengobatan yang Dijalani Antonio
Ketika pertama kali meminta pengobatan khusus untuk ODHA kepada Ruang Carlo Rumah Sakit St. Carolus, CD4 (sel yang menjadi bagian dari sistem kekebalan tubuh manusia) Antonio masih berada di atas 500. Karena itu, ia belum diberi obat dan harus menunggu hingga evaluasi tiga bulan kemudian.
Tiga bulan kemudian, CD4 Antonio mulai mengalami penurunan, dari semula 555 menjadi 389. Ketika sudah mengalami penurunan CD4 itulah Antonio mulai mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV). Obat ini tidak bisa menyembuhkan AIDS maupun membasmi HIV, tapi setidaknya bisa membantu ODHA untuk melambatkan pertumbuhan HIV di tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Kini, Antonio rutin mengonsumsi ARV. Sebagaimana yang ia tuturkan kepada kumparanSAINS akhir Maret lalu, sudah enam tahun ini ia rajin meminum obat tersebut dua kali sehari.
Ketika ditanya apakah seorang ODHA sepertinya dirinya harus mengonsumsi obat tersebut di sepanjang hidupnya, pria 32 tahun yang kini bekerja sebagai Case Manager di Yayasan Kasih Suwitno Jakarta dan bertugas mendampingi pasien-pasien ODHA di Ruang Carlo Rumah Sakit St. Carolus itu memberi jawaban yang begitu optimis.
“Kalau aku bilang sih enggak seumur hidup. Kita enggak tahu, mungkin besok WHO mengumumkan ada obat HIV ditemukan,” ujar Antonio.
Sehari sebelum bercakap-cakap dengan Antonio, kumparanSAINS sempat berbincang dengan peneliti vaksin HIV asal Denmark, Peter Johannes Holst , yang sedang berkunjung ke Kantor Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor (PSSP IPB).
ADVERTISEMENT
Peter Holst yang saat ini menjabat sebagai Associate Professor di Departemen Imunologi dan Mikrobiologi, University of Copenhagen, sekaligus pemimpin tim riset vaksin HIV di kampusnya itu, mengatakan tidak mudah untuk menciptakan obat maupun vaksin untuk HIV/AIDS karena virus tersebut memiliki sifat yang istimewa.
Holst menyebut upaya untuk menciptakan vaksin HIV yang sedang ia jalani ini adalah tantangan yang sangat besar. “Berbeda dengan kebanyakan virus lainnya, HIV selalu mencari cara untuk bertarung dengan sistem kekebalan tubuh.”
Holst mengatakan, sampai saat ini belum ada terobosan besar yang bisa menghentikan pertumbuhan infeksi HIV. “Banyak peneliti yang mencoba mencari cara untuk menyembuhkan HIV/AIDS. Sampai saat ini, sudah ada penelitian yang berhasil sedikit mengurangi risiko infeksi HIV, tapi hanya sedikit (mengurangi),” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Adapun terkait vaksin HIV yang sedang dikembangkan ia dan timnya, Holst mengatakan vaksin ini masih butuh proses yang sangat panjang untuk benar-benar bisa digunakan oleh manusia. “(Untuk uji klinisnya) itu saja bisa memakan waktu tujuh, delapan, hingga 10 tahun.”
Kedatangan Holst ke PSSP IPB sendiri sebenarnya merupakan bagian dari proses yang panjang tersebut. Pria bule bertubuh tinggi besar itu hendak menguji coba vaksin HIV yang sedang timnya kembangkan itu pada beruk (Macaca nemestrina) yang disediakan PSSP IPB.
Sebelumnya, Holst dan tim telah menguji coba vaksin HIV tersebut pada monyet rhesus dan hasilnya terbukti manjur. Namun untuk diterapkan pada manusia, vaksin HIV ini masih butuh waktu yang tak sebentar seperti yang telah Holst sebutkan karena harus melalui serangkaian uji coba, termasuk uji klinis.
ADVERTISEMENT
Dan apa yang Holst dan timnya sedang kembangkan ini adalah vaksin HIV, bukan obat HIV.
Menurut Holst, untuk mengembangkan obat HIV, dirinya perlu melakukan rangkaian penelitian baru yang berbeda dari ini. “Untuk menyembuhkan, masalahnya lain lagi,” ujarnya “Saya pikir, untuk menyembuhkan, ini tantangan yang berat, seperti membuat vaksin dari awal lagi.”
Meski yang sedang coba diciptakan oleh Holst dan timnya bukanlah obat HIV, melainkan vaksin HIV, Antonio tetap menyambut baik upaya tersebut. Kepada kumparanSAINS, Antonio menyebut kabar itu sebagai “good news” alias kabar baik yang menggembirakan.
Seperti yang telah ia ucapkan tadi, Antonio optimis suatu saat nanti WHO akan mengumumkan penemuan obat HIV. Dan penemuan obat HIV ataupun vaksin HIV yang diharapkan banyak orang seperti Antonio itu, bisa jadi berasal dari upaya keras nan panjang dari peneliti seperti Peter Holst.
ADVERTISEMENT
"Kita enggak tahu, mungkin besok WHO mengumumkan ada obat HIV ditemukan.” Harapan Antonio ini adalah lecutan semangat tersendiri bagi semua peneliti di dunia yang sedang berupaya menemukan vaksin ataupun obat untuk HIV.