Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Di tengah kekacauan dan kekerasan yang terjadi di Republik Demokratik Kongo, dalam satu tahun terakhir ini para ilmuwan dan dokter di sana telah menjalankan uji klinis obat baru untuk memerangi wabah Ebola yang mendera negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada Senin (12/8), World Health Organization (WHO) dan National Institutes of Health (NIH), mengumumkan dua eksperimen pengobatan yang secara efektif telah meningkatkan kelangsungan hidup pada penderita Ebola.
“Mulai sekarang, kita tidak akan lagi mengatakan bahwa Ebola tidak dapat disembuhkan,” ujar Jean-Jacques Muyembe, Direktur Jenderal Institut National de Recherche Biomedicale di Kongo, yang mengawasi pengujian obat tersebut.
Pada November 2018 lalu, pasien di pusat perawatan di timur Kongo, di mana wabah paling parah terjadi, secara acak menerima satu dari empat terapi yang diteliti, baik diberikan obat antivirus yang disebut remdesivir, atau obat yang menggunakan antibodi monoklonal.
Para ilmuwan meramu protein berbentuk Y ini untuk mengenali bentuk spesifik dari bakteri dan virus yang menyerang. Kemudian, mengambil sel-sel kekebalan untuk menyerang patogen tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah satunya, obat bernama ZMapp. Obat ini telah diuji dan digunakan selama wabah Ebola menyerang Afrika Barat pada tahun 2014. Menurut Anthony Fauci, direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular (NIAID) NIH, secara keseluruhan, pasien penerima ZMapp di empat pusat penelitian mengalami tingkat kematian 49 persen.
Berbeda dengan ZMapp, koktail antibodi monoklonal yang diproduksi oleh sebuah perusahaan bernama Regeneron Pharmaceuticals mampu menurunkan tingkat kematian hingga 29 persen, sementara antibodi monoklonal yang disebut mAb114 menurunkan tingkat kematian 34 persen.
Akan tetapi, hasil mengejutkan terjadi pada pasien yang segera mendapatkan perawatan tak lama setelah ia terinfeksi Ebola. Di mana, tingkat kematian turun hingga 24 persen dengan ZMapp, dan 33 persen dengan Remdesivir. Sedangkan 11 persen dengan mAb114, dan hanya 6 persen dengan obat Regeneron.
Berdasarkan data-data tersebut, ilmuwan memutuskan untuk menghentikan pengobatan menggunakan ZMapp dan Remdesivir, dan menggantinya dengan obat-obatan antibodi monoklonal yang kini menjadi andalan utama para dokter, yakni mAb114 dan Regeneron. Obat ini juga bisa menangkal berbagai penyakit mulai dari kanker hingga lupus.
ADVERTISEMENT
Dengan ini, para peneliti akan memulai percobaan baru dengan membandingkan langsung Regeneron dengan mAb114, yang sedang diproduksi oleh perusahaan yang berbasis di Florida bernama Ridgeback Biotherapeutics.
Selain itu, dituturkan oleh Mike Ryan, direktur kesehatan WHO, semua unit perawatan Ebola yang berada di zona wabah, sekarang hanya akan memberikan dua obat antibodi monoklonal yang paling efektif.
“Berita hari ini menempatkan kita satu langkah lagi untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa. Keberhasilannya jelas. Tragisnya adalah tidak cukup banyak orang yang dirawat. Kami masih melihat terlalu banyak orang menjauh dari pusat perawatan, orang tidak ditemukan pada waktunya untuk mendapatkan manfaat dari terapi ini,” ujar Ryan.
Sejak wabah Ebola menyerang provinsi Kivu Utara DRC pada Agustus 2018, lebih dari 2.800 orang telah terinfeksi, dengan 1.794 kematian yang terkonfirmasi. Ini adalah wabah Ebola terbesar kedua yang pernah tercatat.
ADVERTISEMENT
Pada 17 Juli 2019, WHO menyatakan wabah Ebola sebagai "darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional," setelah sebuah kasus Ebola muncul di Goma, sebuah kota besar yang berbatasan dengan Rwanda.
Adapun tantangan terberat dalam menangani wabah ini adalah banyaknya pengidap Ebola yang tidak mau mencari pengobatan, di mana 75 persen angka kematian terjadi akibat orang yang terinfeksi tidak mencari perawatan.