Super Blue Blood Moon Mungkin Bisa Memicu Gempa dan Erupsi Gunung Api

31 Januari 2018 12:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bulan Merah Darah (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Bulan Merah Darah (Foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada 11 Maret 2011, sebuah gempa dan tsunami melanda Jepang. Lindu dan tsunami dahsyat ini merampas nyawa hampir 16.000 orang. Delapan hari setelahnya terjadi fenomena supermoon alias Bulan super.
ADVERTISEMENT
Supermoon sendiri adalah fenomena ketika Bulan berada pada titik terdekat dengan Bumi. Akibat fenomena ini, Bulan tampak lebih besar daripada biasanya.
Pada 22 Februari di tahun yang sama, gempa berkekuatan 6,3 Magnitudo mengguncang Christchurch, Selandia Baru. Gempa ini merenggut 185 korban jiwa. Empat hari sebelum gempa ini, fenomena supermoon juga terjadi.
Dikutip dari media daring Inggris, Express.co.uk, sejumlah ilmuwan menyatakan bahwa mungkin ada peran fenomena supermoon dalam gempa dan tsunami yang pernah terjadi di beberapa tempat di dunia.
Bahkan Dr John Ristau, ahli seismologi di GNS Science, badan riset di Selandia Baru, secara terang-terangan mengatakan bahwa supermoon bisa memicu lindu.
Ilustrasi Gempa Bumi (Foto: Shutter Stock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gempa Bumi (Foto: Shutter Stock)
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin juga menyatakan hal serupa. Ia mengatakan bahwa fenomena supermoon mungkin juga dapat memicu bencana alam lain selain pasang air laut yang tinggi dan banjir rob.
ADVERTISEMENT
Selama ini supermoon memang dikenal dapat memicu gelombang pasang laut yang tinggi. Penjelasannya, ini diakibatkan oleh gaya gravitasi Bulan terhadap Bumi. Pada saat supermoon, posisi Bulan yang lebih dekat dengan Bumi daripada biasanya ini, memperbesar gaya tersebut.
Kepada kumparanSAINS, Thomas mengatakan ada kajian yang menyebutkan bahwa efek gaya gravitasi Bulan terhadap Bumi, berpengaruh pada pelepasan energi dalam bentuk gempa bumi dan erupsi gunung berapi.
“Tetapi memang (kajian) ini belum konklusif, walaupun beberapa data memang menunjukkan waktu yang berdekatan antara purnama dengan gema bumi besar. Seperti gempa Aceh yang lalu itu, sangat berdekatan dengan purnama,” tutur Thomas saat ditemui kumparanSAINS di ruang kerjanya.
Thomas Djamaluddin, Kepala LAPAN. (Foto: Mulki Razqa)
zoom-in-whitePerbesar
Thomas Djamaluddin, Kepala LAPAN. (Foto: Mulki Razqa)
Dalam kondisi normal, Bulan selalu menghasilkan gaya gravitasi terhadap Bumi. Adapun ketika terjadi supermoon yang berbarengan dengan purnama dan gerhana Bulan, gaya diferensial gravitasi Bulan terhadap Bumi akan semakin besar.
ADVERTISEMENT
Penjelasannya, pada saat purnama ataupun gerhana, Bulan-Bumi-Matahari berada pada satu garis sehingga gaya gravitasi terhadap Bumi ini, selain berasal dari Bulan, juga diperkuat lagi dari Matahari.
Pada 31 Januari 2018 malam ini, akan terjadi super blue blood moon yang merupakan gabungan dari tiga fenomena, yaitu Bulan super alias supermoon, purnama kedua di satu bulan alias blue moon, dan gerhana Bulan total atau biasa juga disebut Bulan merah darah alias blood moon.
Fenomena ini, menurut Thomas, berpotensi memperbesar gaya diferensial gravitasi Bulan terhadap Bumi.
Tempat dan Waktu Pengamatan Super Blue Blood Moon (Foto: Sabryna Muviola/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tempat dan Waktu Pengamatan Super Blue Blood Moon (Foto: Sabryna Muviola/kumparan)
Kembali pada contoh kasus gempa di Aceh pada tahun 2004. Thomas menuturkan, pada saat itu Gempa Aceh dan purnama terjadi dalam waktu yang berdekatan.
“Pada saat itu, pagi hari itu, berarti Bulan itu berada pada posisi di barat. Di lautan Hindia, itu air sedang surut karena posisi Bulan ada di barat. Itu yang kemudian salah satu teori mengatakan pada saat itu beban di air laut itu menjadi minimum sehingga lempeng itu kemudian memungkinkan untuk terjadi pergeseran,” papar Thomas.
ADVERTISEMENT
Pada 2004 lalu, lindu di Aceh ini diikuti pula oleh peristiwa tsunami.
“Dugaan mengaitkan antara purnama dan (gempa) ini sebetulnya bukan hanya saat gerhana, tapi saat purnama atau Bulan baru,” tegas Thomas sekali lagi.
Dalam kajian ini, gerhana, purnama ataupun Bulan baru dianggap sama-sama memiliki potensi atau kemungkinan untuk memicu terjadinya pelepasan energi.
“Memicu karena energinya sudah tersimpan lama misalkan untuk pergeseran lempeng itu. Kemudian memicu beban yang menekan lempeng dari beban air laut ini jadi berkurang, kemudian energinya ini terlepas sehingga penyusutan lempeng terjadi, kemudian terjadilah gempa tektonik,” jelas Thomas.
Bulan Merah Darah Akhir Januari (Foto: Chandra Dyah A/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bulan Merah Darah Akhir Januari (Foto: Chandra Dyah A/kumparan)
Namun begitu Thomas menegaskan bahwa kajian atau teori ini belumlah konklusif.
“Artinya tidak selalu ya. Tidak selalu ketika terjadi purnama kemudian terjadi pelepasan energi dalam pergeseran lempeng yang menyebabkan gempa Bumi atau terjadi pelepasan energi yang tertahan sehingga menyebabkan erupsi gunung berapi,” terang Thomas.
ADVERTISEMENT
Thomas menggaris bawahi, dalam teori ini Bulan super atau purnama ataupun gerhana dianggap bisa sebagai pemicu gempa, tapi bukan penyebabnya.
“Artinya pemicu itu sebenarnya energinya sudah ada. Yang menyebabkan gempa itu sebenarnya energi yang sudah tertahan lama, tapi kapan lepasnya kan tidak ada metode ilmiah atau teknologi yang bisa meramalkan kapan itu dilepaskan dan pada titik mana energi itu dilepaskan,” pungkas Thomas.