Waspada Distimia, Depresi Menahun yang Kerap Disepelekan

Waspada Distimia, Depresi Menahun yang Kerap Disepelekan

11 Oktober 2019 9:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Waspada Distimia, Depresi Menahun yang Kerap Disepelekan. Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Waspada Distimia, Depresi Menahun yang Kerap Disepelekan. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Pikiran Azizah kalut. Dadanya terasa berat. Sepagian itu ia tak bisa menangkap dengan baik materi pelajaran di kelas. Hingga akhirnya saat bel pulang berbunyi, Azizah bergegas membereskan peralatan sekolahnya, lalu berjalan menuju atap gedung asrama dan menangis tersedu-sedu.
Ia dihantam perasaan sedih dan hampa. Emosi itu datang tanpa alasan, dan kian hari semakin menekan jiwanya. Itu sebabnya ia kerap menangis sendirian di atap asrama atau sekadar menyendiri di pojok perpustakaan.
Azizah tidak ingat kapan terakhir kali merasa bahagia. Sejak duduk di kelas tiga SMA, mendung seolah menggayuti hatinya. Padahal, dari luar hidup Azizah tampak normal-normal saja. Ia bisa berbaur dengan cukup baik, berkumpul seperti biasa dengan teman-temannya, bereaksi wajar mendengar cerita kawan-kawannya itu, termasuk ikut tertawa saat mendengar mereka berkelakar. Namun di balik itu, menurut Azizah, “Aku nggak pernah benar-benar tertawa. Tertawa bisa saja, tapi dalam hati terasa kosong. Nggak bisa happy. Rasanya selalu sedih, tapi nggak ada sebabnya.”
Tahun terakhir di SMA menjadi masa paling berat bagi Nuryani Azizah. Beberapa hal buruk datang bertubi-tubi. Pertama, kalah dalam perlombaan menulis puisi di mana banyak teman dan guru menaruh harapan besar di pundaknya. Kedua, tak lulus seleksi masuk perguruan tinggi favorit. Ketiga, kepergian nenek tercinta. Yang terakhir itulah yang paling memukulnya.
Bagi Azizah, kepergian sang nenek adalah cobaan terberat dalam hidupnya. Ia tak sempat menemani atau melihat wajah neneknya untuk terakhir kali karena karena ia tinggal di pesantren di Mojokerto, sementara neneknya berada di kampungnya, Sidoarjo.
Padahal, nenek adalah orang terpenting buat Azizah. Ia, yang anak tunggal dan tumbuh dari keluarga kurang komplet, sedari kecil diasuh oleh kakek dan neneknya karena orang tuanya bekerja sebagai TKI di Malaysia. Maka, nenek adalah orang terdekat Azizah—satu-satunya orang tempat ia mencurahkan isi hati.
Bahkan kala orang tuanya telah kembali ke kampung halaman di Sidoarjo, Azizah tetap tidur bersama neneknya setiap malam. Maka, ketika sang nenek tiada bertepatan dengan periode kelulusannya dari SMA, Azizah tumbang. Semangat hidupnya menipis.
“Seperti hilang arah, aku bingung harus ngapain,” keluh Aziah saat berbincang dengan kumparan, Senin (7/10).
Ilustrasi orang dengan distimia sedang menyendiri. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Demi melangkah melanjutkan hidup, Azizah memutuskan untuk belajar Broadcasting TV di salah satu universitas swasta di Surabaya. Ia, di tengah gempuran kejatuhan mental, nyatanya bisa menerima pelajaran dengan baik. Nilainya bahkan termasuk tinggi.
“Tapi aku merasa tidak bisa berkembang, terutama secara sosial. Aku tidak mengundang satu orang pun ke dalam hidupku,” kata Azizah.
Ia tak bisa membuka diri. Walau beberapa teman memancingnya untuk berbagi cerita, ia tak pernah mampu meluncurkan satu kisah pun dari mulutnya. Azizah curiga alam bawah sadarnya tidak mengizinkannya berbuat demikian.
Maka, terlepas dari nilai-nilainya yang bagus, Azizah menjalani hari-hari kuliah dengan datar, hingga kian hari hidupnya terasa semakin berat dan melelahkan.
Tiap kali sampai di rumah dan merebahkan diri di kasur, ia lalu kesulitan beranjak. “Rasanya tidak ingin melakukan apa-apa lagi,” ujarnya.
Namun pada satu titik, dengan mengerahkan semua energi yang tersisa, Azizah mencoba membuka diri. Ia berpacaran dengan salah satu teman kampusnya. Lelaki itu punya karakter yang mampu menggerakkan sedikit emosi Azizah.
Sialnya, semesta seakan berkomplot membabat semangat hidup Azizah. Sehari setelah Lebaran, kekasihnya itu mengundang Azizah ke rumahnya. Tak dinyana rumah itu kosong karena orang tua si lelaki sedang berkunjung ke rumah kerabat.
Kekasihnya kemudian memaksa Azizah untuk berhubungan badan. Azizah ditarik dan didorong ke lantai dengan kasar.
“Untungnya aku masih kuat untuk mendorong dan menendang balik,” tutur Azizah pilu. Dunianya runtuh seketika.
Pacar yang dengan sepenuh hati ia percaya, malah mencoba memerkosanya, meninggalkan goresan luka dengan cara paling buruk yang dapat dibayangkan Azizah.
Nuryati Azizah Foto: dok. Azizah
Hidup datar yang dijalani Azizah semakin muram. Ia lulus kuliah di akhir 2015 dan bekerja sebagai content writer di media online.
Pada suatu malam di pertengahan 2016, Azizah merasa lehernya tercekik. Dadanya terasa berat dan napasnya sesak. Ia lemas, menggigil, dan diserang demam. Suhu tubuhnya meninggi, namun dokter mengatakan tak ada yang salah. Beberapa butir obat demam dikantongi Azizah usai menjalani pemeriksaan.
“Tapi aku merasa semakin buruk. Setiap malam aku sering mimpi buruk, diselimuti perasaan mau mati. Setiap pulang kerja aku nangis, rasanya capek sekali. Aku sampai self-harm (menyakiti diri sendiri). Aku tidak bisa tidur dua hari dua malam. Aku ini kenapa sebenarnya?” tanya Azizah pada diri sendiri.
Ia lalu mencoba googling dan mencari pertolongan ke psikolog. Psikolog itu kemudian langsung mengarahkannya ke psikiater—dokter jiwa. Dari sang psikiater, Azizah mulai mendapat jawaban. Ia rupanya terkena serangan panik.
Azizah mendapatkan obat penenang dan resep terapi pola tidur. Namun diagnosa tak selesai sampai di situ. Azizah perlu menjawab tes berisi 500 soal. Ia juga menjalani beberapa pemeriksaan.
Barulah setelah semua pemeriksaan lengkap, hasil diagnosis keluar: Azizah mengalami distimia.
Distimia yang punya nama ilmiah persistent depressive disorder adalah bentuk kronis dari depresi. Ia merujuk pada kondisi ketika seseorang mengalami depresi dengan intensitas lebih ringan, namun berkepanjangan, minimal dua tahun berturut-turut.
Distimia dicirikan dengan perasaan sedih, gangguan pola makan dan pola tidur, serta rasa lelah dan rendah diri.
Ilustrasi konsultasi konseling kejiwaan. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Psikiater RS Siloam Bogor, dr. Jiemi Ardian SpKJ, menjelaskan penderita distimia akan kesulitan merasa bahagia sehingga kerap dipandang sebagai pemurung.
Gejala-gelaja distimia sangat mirip dengan depresi. Depresi adalah gangguan suasana hati atau mood yang menyebabkan seseorang kehilangan kesenangan, sehingga berujung pada berbagai problem emosional dan fisik. Gangguan ini mempengaruhi cara berpikir dan bersikap.
Penderita depresi dapat mengalami penurunan atau peningkatan berat badan secara drastis, perlambatan kinerja otak dan aktivitas fisik, pemunculan perasaan tidak berharga dan kehilangan harapan, serta pemicu datangnya pikiran berulang soal kematian atau gagasan untuk mengakhiri hidup.
Keluhan yang jadi ciri-ciri depresi itu mengganggu kegiatan sehari-hari dan dirasakan dalam kurun waktu sekitar dua minggu. Sementara distimia—yang punya gejala seperti depresi—memiliki durasi lebih lama.
Sementara mood penderita depresi naik-turun ekstrem, mood penderita distimia cenderung konsisten di bawah garis normal. Seorang yang mengidap distimia dapat kehilangan ketertarikan normal pada aktivitas sehari-hari.
“Depresi kalau dilihat dari jauh sudah kelihatan—ada perilaku yang terganggu. Misal kerjaannya jelek. Sedangkan distimia, walaupun (perilakunya) nggak seoptimal orang biasa, masih tetap bisa kerja wajar. Hanya saja, ketidakmampuan untuk merasakan kebahagiaan itu kuat sekali,” tutur dr. Jiemi.
“Apapun yang kamu lakukan, tidak akan ada bahagia. Beda dengan orang burnout (kelelahan), yang jika dia mengambil jeda atau waktu untuk break, kebahagiaannya dapat timbul kembali,” lanjut dr. Jiemi.
Distimia bukan depresi biasa. Foto: Argy Pradypta
Distimia sulit terlihat karena si penderita biasanya masih masih produktif dan baik dalam bekerja. Padahal, penderitaan dalam batinnya berkelanjutan.
Penderitaan itu terdapat di persepsi otak yang kemudian akan dianggap sebagai nyeri atau tekanan berkepanjangan. Akibatnya, tubuh berada pada ketidakseimbangan terus-menerus.
“Dia tidak mampu merasakan kebahagiaan dan tidak punya motivasi terus-menerus. Bagaimana bisa menyenangkan hidup seperti itu?” ujar Jiemi.
Tak hanya itu, distimia juga akan berimbas ke problem fisik karena immune system di tubuh seseorang berhubungan dengan perasaan. Jika sistem imun turun, risiko infeksi otomatis meningkat. Ini bisa mengarah pada gangguan kesehatan psikis maupun fisik lain.
Dalam kasus Azizah, ia terkena panic attack selain insomnia. Sementara distimia itu sendiri telah membuat Azizah insomnia hingga pernah dua hari penuh tak tidur. Gabungan serangan panik dan distimia itu tak jarang membuat pikiran Azizah dihantui soal kematian.
Orang depresi dan distimia memiliki pandangan terhadap diri yang rendah. Panic attack terjadi karena perubahan keseimbangan neurokimiawi otak, yang juga terjadi perubahan akibat distimia.
Gejala lainnya termasuk pandangan suram akan masa depan, seakan hidup tidak ada harapan dan meningkatkan risiko bunuh diri. Kecemasan muncul lebih karena adanya kemiripan mekanisme neurobiologi otak antara depresi dan gangguan kecemasan.
dr. Jiemi Ardian, SpKJ, psikiater RS Siloam Bogor. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Distimia muncul karena tiga faktor, yakni psikologis, sosial, dan biologis. Faktor psikologis menyangkut cara seseorang berpikir—bagaimana ia mempersepsi kehidupan, bagaimana ia dididik, bagaimana keadaan keluarganya.
Faktor sosial menyangkut lingkungan membentuk dia—lingkungan sekolah, pekerjaan, dan lain-lain. Sementara faktor biologis menyangkut genetik—penyakit dan kerentanan tubuh seseorang.
“Jadi distimia tidak bisa hanya karena satu aspek yang terganggu. Tidak sesederhana itu,” jelas Jiemi.
Oleh sebab itu, penderita distimia akan disarankan ke psikiater. Psikiater dapat memberikan obat-obatan untuk memperbaiki ketidakseimbangan neurokimiawi di otak.
Perawatan terbaik bagi penderita distimia adalah kombinasi psikoterapi (konseling) dan obat-obatan. Konseling mengidentifikasi akar masalah dan memperbaiki pola pikir yang didominasi sikap rendah diri, termasuk mengajarkan cara untuk mengelola stres, melepas rasa putus asa, dan menyelesaikan konflik batin dari trauma masa kecil.
Lyqa Maravilla orang dengan distimia. Foto: Dok. Lyqa
Berbeda dengan Azizah, Lyqa Maravilla mengalami distimia karena faktor keturunan.
“Saudara kembar saya juga memiliki gangguan yang sama,” tutur perempuan 31 tahun itu kepada kumparan, Rabu (9/10).
Sejak usia 14 tahun, Lyqa mengalami gangguan tidur. Ia sering tidak tidur semalam suntuk dan hanya tidur siang di sela waktu istirahat sekolah.
Menginjak usia 16 tahun, gangguan mood yang dialami Lyqa semakin menjadi. Seperti Azizah, Lyqa sering menangis tanpa sebab.
Di keluarga Lyqa, mengekspresikan perasaan bukan hal yang sering mereka lakukan, bahkan untuk hal-hal kecil seperti ungkapan-ungkapan “aku sayang kamu” kepada adik atau kakaknya. Situasi ini membuat Lyqa tak bisa bercerita tentang apa yang ia rasa.
Keluarga baru tahu kondisi buruk Lyqa saat ia ketahuan mempersiapkan cara untuk bunuh diri.
Sejak saat itu, sepuluh tahun sudah Lyqa menjalani perawatan dengan obat dan konseling. Ia 15 tahun hidup dengan distimia dan hingga kini belum bisa menyebut diri sembuh karena perasaan-perasaan buruk itu masih kerap datang.
Lyqa masih rutin kontrol dan konseling, walau yang lebih berperan dalam kestabilan emosinya adalah perhatian dari keluarga dan orang dekat.
Tidak mudah bagi penderita distimia—atau gangguan mental apa pun—untuk terbuka pada orang sekitar. Apalagi, mengaku punya penyakit mental bisa berbalik jadi pedang buat mereka. Alih-alih beroleh pertolongan, pengidap gangguan metal bisa mengalami tekanan dari masyarakat atau lingkungan sekitar.
Saat pertama kali Azizah memberanikan diri untuk berbagi cerita tentang gangguan distimianya kepada orang sekitar, misalnya, banyak yang menghakiminya sebagai orang yang kurang religius dan tidak dekat dengan Tuhan.
“Banyak yang bilang ‘Coba deh banyak istigfar’, baca surat ini itu, bahkan disarankan untuk dirukiah,” kata Azizah.
Stigma seperti ini bukan cuma di Indonesia. Lyqa yang tinggal di Filipina pun kerap menerima bisik-bisik negatif semacam “Mungkin dia mendapat perlakuan kasar dari orang tuanya sejak kecil.”
Meski demikian, Azizah dam Lyqa memutuskan untuk terus terbuka mengenai penyakit yang mereka derita. Pertama, untuk menguatkan diri sendiri. Kedua, untuk menegaskan bahwa gangguan mental bukan sesuatu yang harus disembunyikan dan membuat malu.
“Hanya karena kamu memiliki mental disorder, apakah kamu akan menyimpan dan merahasiakannya selama hidupmu? Or maybe you aren’t going to be productive member of society? So I think by me posting that post out there, I think that setting other free to talk their problem,” kata Lyqa.
Lyqa saat ini aktif sebagai online educator. Akun Youtube-nya memiliki 372 subscribers dan akun Instagram-nya memiliki 13.200 followers. Platform media sosial tersebut juga dimanfaatkan Lyqa untuk menyebarkan motivasi dan pesan-pesan positif.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten