Bravo yang Belum “Bravo!”

4 Januari 2017 20:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
- (Foto: Jan Kruger/Getty Images)
“Bravo!”
Sebagian besar orang mungkin akan mengatakan kata yang sama ketika melihat sesuatu yang menakjubkan. Satu kata yang cukup pendek untuk mengapresiasi sebuah keberhasilan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Cambridge Dictionary, kata "bravo" digunakan untuk mengekspresikan atau memuji kinerja seseorang saat berhasil melakukan sesuatu dengan baik.
Namun, dalam khasanah dunia sepak bola belakangan ini, “bravo” tak selalu berarti baik atau dengan pasti melakukan tugasnya dengan baik. Ya, yang kami maksud adalah Bravo dengan nama depan Claudio —kiper Manchester City itu.
Pria yang lahir di Viluco, Chile, 33 tahun silam tersebut dibeli pada 25 Agustus lalu dan merupakan pembelian ketujuh City dibawah arahan Pep Guardiola.
Harganya pun tak murah-murah amat; City harus merogoh kocek 17 juta poundsterling untuk mendapatkannya. Transfer tersebut membuat Bravo menjadi kiper termahal kelima sepanjang masa, di bawah Gianluigi Buffon, Manuel Neuer, David De Gea, dan Angelo Peruzzi.
ADVERTISEMENT
Pembelian Bravo bukan tanpa alasan yang kuat. Ia tipikal pemain yang cocok dengan filosofi permainan Guardiola. Seperti yang diketahui, Guardiola menginginkan semua pemainnya bisa memainkan bola. Lebih tepatnya tak hanya sekadar memainkan, namun juga menggiring, menahan dan melakukan umpan yang akurat, tak terkecuali seorang kiper.
Untuk itu Bravo diproyeksikan menjadi sweeper keeper dalam skema Guardiola. Manajer asal Spanyol itu selalu membutuhkan kiper yang mampu melakukan umpan dan membuang bola secara efisien. Istilah lainnya, Guardiola membutuhkan kiper yang tak hanya bisa menggunakan tangannya, tapi juga kakinya.
Guardiola bahkan berani mendepak Joe Hart ke Torino hanya untuk memberikan tempat utama kepada Bravo. Keputusan yang cukup memicu kontroversi mengingat pengabdian luar biasa yang diperlihatkan Hart selama berkostum City. Musim lalu, kiper nomor satu Tim Nasional Inggris itu sukses mencatatkan 15 clean sheet, hanya selisih satu dengan Petr Cech yang ada di peringkat pertama.
ADVERTISEMENT
Namun, Guardiola tak melihat itu sebagai sebuah prestasi dan memilih untuk mendatangkan Bravo dari Barcelona. Bravo sendiri melakoni debutnya di laga derby melawan Manchester United. Meski sempat melakukan blunder —pada gol Zlatan Ibrahimovic, di mana ia maju meninggalkan gawang dan gagal menghalau bola dengan sempurna—, tetapi secara keseluruhan ia melakukan apa yang diinstruksikan oleh Guardiola.
Guardiola mengatakan, Bravo merupakan alasan mereka bisa unggul dua gol lebih dulu di babak pertama, meski akhirnya harus kebobolan akibat blunder yang ia lakukan.
Melihat performa Bravo sejauh ini, ia memang melakukan tugas Pep dengan baik. Ia juga unggul dari segi pendistribusian bola dibanding keempat penjaga gawang dari lima klub di posisi lima besar Premier League.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Squawka, Bravo mencatatkan rataan 22,5 umpan per laga, unggul jauh dari Thibaut Courtois (Chelsea) yang hanya megirimkan 12,79 operan di tiap pertandingan. Tak hanya dari segi kuantitas, Bravo juga memimpin dari tingkat akurasi sebesar 77%. Selisih jauh dengan persentase kesuksesan umpan Cech yang cuma 59%.
Kiper Tim Nasional Chile itu juga berhasil melakukan take-ons (usaha melewati lawan) yang jarang dilakukan oleh kiper-kiper lain. Ia mencatatkan 3 take ons sukses sejauh ini.
Ini adalah catatan-catatan yang, tentu saja, terlihat menggiurkan. Tapi, ingatlah, tugas utama penjaga gawang adalah mengawal gawang sebaik-baiknya.
Catatan Bravo sebagai kiper “sesungguhnya” tidak bisa dikatakan baik. Dari total 17 kali berada di bawah mistar City, Bravo telah kebobolan 19 kali. Kesuksesan dalam menjaga keperawanan gawangnya juga terhitung rendah, hanya empat kali berhasil mencatatkan clean sheet.
ADVERTISEMENT
Jumlah tersebut di bawah dari kiper-kiper seperti Fraser Forster (Southampton) dengan 7 clean sheet, dan Lee Grant (Stoke City) dengan 6 clean sheet. Bravo hanya menempati peringkat ketujuh bersama Tom Heaton (Burnley), Victor Valdes (Middlesbrough), dan Kasper Schmeichel (Leicester City).
Bahkan jumlah yang ia buat tak lebih dari setengah jumlah clean sheet yang dibukukan Courtois. Sejauh ini, Courtois sudah membuat 11 clean sheet dari 19 penampilan.
Bravo memang memilki kemampuan yang baik dalam menahan dan mendistribusikan bola ke rekan-rekannya serta membangun serangan. Namun, ia acap kali kikuk mengambil keputusan, terutama ketika menghadapi umpan-umpan silang.
Contoh teranyar adalah bagaimana bingungnya Bravo melihat bola melambung di hadapannya pada laga melawan Burnley beberapa hari lalu. Kala itu, tinju Bravo tidak mengenai bola, imbasnya Burnley pun bisa mencetak gol.
ADVERTISEMENT
Yang menarik adalah ucapan striker Leicester City, Jamie Vardy, setelah The Foxes menang 4-2 atas City, 10 Desember 2016. Kebiasaan pemain-pemain City untuk memainkan bola dari belakang dan dari kaki ke kaki —termasuk menggunakan Bravo sebagai awal mula serangan— dijadikan alat Leicester untuk memukul balik.
Karena paham bahwa Bravo pasti akan mendistribusikan bola, entah kepada bek-bek di depannya atau langsung ke depan, Leicester berulang kali menekan Bravo dan bek-bek City ketika mereka menguasai bola.
Meski pada akhirnya gol-gol Leicester di laga itu mayoritas berasal dari serangan balik, Vardy menilai strategi menekan bek-bek City dan Bravo sedari awal berjalan cukup sukses.
Bagi seorang kiper, tentu amat menyakitkan melihat bola masuk ke gawangnya. Seperti yang pernah dikatakan oleh kiper legendaris, Lev Yashin:
ADVERTISEMENT
“Kiper macam apa yang tak tersiksa ketika ia kebobolan? Ia harus merasa tersiksa.”