Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Dadang Nursusanto (45) baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai hakim garis (line judge) di Indonesia Open 2019, Sabtu (20/7/2019) siang WIB. Setelah melintasi area mixed zone Istora GBK, Dadang bersama rekannya menuju ruang ofisial pertandingan untuk menyantap makan siang.
ADVERTISEMENT
Para pewarta sudah menanti-nantikan rombongan ini lewat. Mereka bersiap mencegat untuk menanyakan beberapa hal. Pasalnya, ada yang menarik dari apa yang mereka kenakan ketika bertugas di lapangan.
Dadang dan hakim garis lainnya mengenakan pakaian khas Yogyakarta, baju lurik, yang didominasi warna biru --lengkap pula dengan blangkon. Sudah lima hari Dadang rekan-rekannya bertugas di gelaran turnamen BWF World Tour Super 1000 ini, tetapi baru hari Sabtu itu mereka mengenakan baju lurik.
Bagi Dadang yang berasal dari Banten, mengenakan baju tradisional Indonesia ketika bertugas pada turnamen di tanah kelahiran menghadirkan perasaan bangga. Jika ada kesempatan, kata Dadang, ia berharap bisa mengenakan baju adat yang lebih unik lagi.
“Ada rasa bangga sebagai orang Indonesia baju daerahnya dipakai buat tugas kejuaraan tingkat dunia. Akan dilihat semua yang menyaksikan televisi. Dilihat baju adat juga bisa dipakai, jadi dunia tahu bahwa Indonesia punya berbagai macam adat. Harapannya suatu saat bajunya yang lebih antik lagi,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Baju lurik dan blangkon bukan satu-satunya pemandang menarik yang terlihat dari para petugas pertandingan. Untuk umpire dan service judge, mereka mengenakan baju batik --yang didominasi warna merah-- sebagai seragam saat bertugas.
“Ini sudah lama, dimulai sekitar empat tahun lalu. Mengapa demikian? Karena kami perlu inovasi, lagi pula ini bukan pertama kali juga hakim garis pakai baju lurik dan blangkon. Tahun lalu kalau tidak salah pakai udeng (khas bali),” kata Kasubid Bidang Hubungan Internasional PBSI, Bambang Rudyanto.
“Batik itu tidak ada masalah, hal yang dapat diterima. Tapi, memang, umpire tidak boleh pakai udeng (atau blangkon) karena takut mengganggu. Makanya pakai batik saja. Yang hakim garis pakai blangkon, sekarang kita bikin khusus jadi warna biru,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Bambang menyebut bahwa inovasi mendapat respons positif dari Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) dan para umpire yang berasal dari luar Indonesia.
“Awalnya ada pertentangan dari BWF, tapi sekarang tidak. Karena batik sudah diterima karena merupakan pakaian. Jika dilihat juga elegan saat wasit mengenakan batik. Respon umpire asing, mereka sudah tahu kalau ke sini pasti dapat batik dan mereka senang karena bisa buat oleh-oleh,” jelasnya.
Pernyataan Bambang diamini oleh salah satu umpire, Iris Metspalu. Menurut wanita asal Estonia itu, bertugas di Indonesia Open selalu meninggalkan kesan karena seragam batik yang didapatkannya.
“Ini terasa spesial. Sebuah kebanggan bagi saya bisa meggunakan pakaian nasional Indonesia. Bukan pertama kali ini, tiga tahun lalu saya juga pakai di Indonesia Open saat semifinal dan final. Corak baju kali ini unik dan bagus. Kebetulan warna favorit saya merah,” kata Metspalu.
ADVERTISEMENT
Lantaran seragam batik ini ia bawa pulang ke negara asalnya, Metspalu mengaku kerap mempromosikan pakaian adat Indonesia kepada rekan-rekannya.
“Ya, saya sering menjelaskan kepada teman-teman saya mereka selalu bertanya apa yang saya pakai ini saat di Indonesia. Jadi, saya menjelaskan bahwa ini baju nasional, sesuatu yang dibanggakan,” ucapnya.
Para line judge, service judge, hingga umpire masih akan mengenakan pakaian adat Indonesia pada hari terakhir Indonesia Open 2019, Minggu (21/7), di mana partai final dari kelima nomor akan dilangsungkan.