Jalan Ksatria para Jagoan Arena

9 Agustus 2018 15:05 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Upacara pembukaan Olimpiade 1936 di Olympiastadion Berlin. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Upacara pembukaan Olimpiade 1936 di Olympiastadion Berlin. (Foto: AFP)
ADVERTISEMENT
Sebelum ini semua dimulai, mari kita kembali ke tahun 1936. Belanda masih berkuasa di Nusantara, film terbaik versi Academy Awards adalah 'Mutiny on the Bounty', dan fasisme sedang populer-populernya di Eropa. Pada tahun tersebut, Nazi Jerman menggelar Olimpiade Berlin yang di kemudian hari akan dikenal sebagai Olimpiade paling politis dalam sejarah.
ADVERTISEMENT
Fuehrer Jerman, Adolf Hitler, sebenarnya tidak menyukai gagasan akan Olimpiade itu sendiri. Internasionalisme, menurut Hitler, adalah akal-akalan kaum Yahudi dan Freemason untuk mendongkel superioritas ras Arya. Namun, penolakan Hitler itu berubah menjadi dukungan usai mendengar bisikan dari Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi.
Goebbels, pada 1933, berkata bahwa olahraga adalah sebuah cara untuk memperkuat karakter bangsa lewat semangat juang dan camaraderie. Hitler pun akhirnya mengizinkan Berlin dijadikan kota tuan rumah Olimpiade. Bersama Goebbels, Hitler menjadikan Olimpiade Berlin sebagai etalase untuk menunjukkan superioritas Jerman dan ras Arya secara keseluruhan.
Pada Olimpiade itu, Jerman memang akhirnya keluar sebagai juara umum. Dengan raihan 33 medali emas, 26 medali perak, dan 30 medali perunggu, mereka mengungguli Amerika Serikat yang harus puas duduk di tempat kedua. Kendati begitu, ada noda yang tak bisa begitu saja dienyahkan oleh Nazi Jerman. Yakni, empat medali emas yang diperoleh Jesse Owens, seorang pelari kulit hitam yang datang mewakili Negeri Paman Sam.
ADVERTISEMENT
Empat medali emas itu didapatkan Owens persis di hadapan Hitler yang kemudian menolak untuk memberinya selamat. Bahkan, Goebbels sendiri lantas menulis dalam buku hariannya bahwa keberhasilan Owens itu semestinya membuat orang-orang kulit putih malu.
Prestasi gemilang Owens itu menutupi segala 'keberhasilan' yang dibuat Jerman pada Olimpiade tersebut. Padahal, selain gelar juara umum, Jerman juga sudah menjadi 'pemenang' lewat upacara pembukaan yang sangat fenomenal pada masanya. Bahkan, upacara pembukaan itu akhirnya berhasil menciptakan sebuah tradisi yang bertahan hingga kini, yakni torch relay alias estafet obor.
Dalam otaknya, Hitler selalu berpendapat bahwa peradaban manusia datangnya dari Yunani, kemudian berpindah ke Romawi, sebelum akhirnya sampai ke Jerman. Kebetulan, Olimpiade pertama kali memang digelar di Yunani. Maka dari itu, Hitler pun kemudian menggelar torch relay api abadi Olimpiade dari Athena -- setelah melakukan penggalian situs asli Olimpiade -- menuju Berlin melewati Cekoslowakia.
ADVERTISEMENT
Dan sisanya adalah sejarah.
***
Politik dan olahraga, mau diupayakan seperti apa pun, takkan bisa dipisahkan. Ada keterikatan yang sudah terlalu kuat di antara keduanya. Bahkan, upaya para administrator untuk mengenyahkan politik dari olahraga sendiri seharusnya sudah bisa disebut sebagai langkah politis.
Sejak dekade 1930-an, para penguasa sudah tahu apa arti olahraga untuk politik dan ini akan senantiasa mereka lakukan, bahkan sampai sekarang. Piala Dunia 2018 lalu, tanpa campur tangan Vladimir Putin yang berniat mengubah citra negatif Rusia, rasanya takkan terwujud. Pun begitu dengan Piala Dunia 2022 di Qatar kelak.
Namun, seiring berjalannya waktu, para penguasa bukan jadi satu-satunya aktor yang menggunakan olahraga sebagai wadah untuk mempromosikan pandangan politiknya. Para atlet yang sebelumnya cuma bisa melakukan apa yang disuruh juga kemudian mulai menggunakan arena milik mereka ini untuk bersuara.
ADVERTISEMENT
Nama Peter Norman, pada 2018 ini, kembali mengemuka. Padahal, mantan sprinter Australia ini sudah tutup usia sejak 2006 lalu. Nama Norman kembali disebut-sebut seiring dengan mencuatnya pergerakan politik para atlet, khususnya atlet kulit hitam, di Amerika Serikat dalam upaya melawan pemerintahan despotik Donald Trump.
Norman sendiri merupakan pria kulit putih. Pada Olimpiade 1968, di nomor lari 200 meter, dia finis di urutan kedua. Di depannya ada Tommie Smith, di belakangnya mengekorlah John Carlos. Kedua orang ini sama-sama berasal dari Amerika Serikat dan berkulit hitam.
Black Power Salute di Olimpiade 1968. Peter Norman (kiri), Tommie Smith (tengah), dan John Carlos. (Foto: AFP/EPU)
zoom-in-whitePerbesar
Black Power Salute di Olimpiade 1968. Peter Norman (kiri), Tommie Smith (tengah), dan John Carlos. (Foto: AFP/EPU)
Dalam prosesi pemutaran lagu kebangsaan, terekamlah sebuah momen paling masyhur dalam sejarah aktivisme atlet kulit hitam. Ketika 'The Star-Spangled Banner' dikumandangkan, Smith dan Carlos mengangkat tangannya yang terkepal. Gestur itu merupakan Black Power Salute yang jadi simbol pergerakan orang-orang kulit hitam di Amerika dalam melawan rasialisme struktural yang telah berjalan ratusan tahun.
ADVERTISEMENT
Nama Norman jadi buah bibir karena dia sebetulnya memiliki peran besar dalam eksekusi Black Power Salute tersebut. Dalam sesi penyerahan medali dan pemutaran lagu kebangsaan, Norman juga mengenakan emblem Olympic Project for Human Rights (OPHR) yang dia dapatkan dari seorang pedayung Amerika Serikat bernama Paul Hoffman.
Sebelum sesi pengalungan medali, Smith dan Carlos mengungkapkan rencananya melakukan Black Power Salute itu. Smith pun bertanya kepada Norman apakah dia percaya pada hak asasi manusia. Ditanya seperti itu, Norman menjawab, "Ya, dan aku akan berdiri tegak bersama kalian."
Tak sampai di situ, Norman juga kemudian memberi saran kepada Smith dan Carlos untuk membagi sepasang sarung tangan hitam yang ada. Itulah mengapa, Smith kemudian mengangkat tangan kanan, sementara Carlos mengangkat tangan kirinya.
ADVERTISEMENT
Apa yang diperbuat Norman di Mexico City itu pada akhirnya menjadi senjata makan tuan. Sebab, sekembalinya di Australia, Norman justru diperlakukan bak paria. Dirinya diasingkan dari tim atletik Australia dan tak pernah diikutsertakan dalam Olimpiade lagi, termasuk ketika Sydney menjadi tuan rumah pada 2000.
Cerita soal Norman ini merupakan sebuah pengingat bahwa aktivisme, khususnya yang dilakukan oleh atlet, selalu punya konsekuensi yang mahal harganya. Mantan quarterback San Francisco 49ers Colin Kaepernick, misalnya, sampai sekarang belum memiliki tim lagi usai melakukan aksi berlutut saat lagu kebangsaan Amerika Serikat dikumandangkan.
Aksi berlutut Colin Kaepernick dan Eli Harold jelang pertandingan menghadapi Chicago Bears. (Foto: Getty Images/Jonathan Daniel)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi berlutut Colin Kaepernick dan Eli Harold jelang pertandingan menghadapi Chicago Bears. (Foto: Getty Images/Jonathan Daniel)
Protes yang dilakukan Kaepernick tahun 2016 itu sebetulnya masih senada dengan protes Smith dan Carlos. Ketiga orang itu sama-sama menuntut agar pemerintah Amerika bisa bertindak lebih adil kepada golongan minoritas, khususnya yang berkulit hitam. Kaepernick prihatin atas maraknya kekerasan polisi terhadap warga kulit hitam.
ADVERTISEMENT
Aksi berlutut Kaepernick itu sendiri akhirnya berbuntut sangat panjang. Aksi ini diikuti oleh banyak pemain National Football League (NFL) dan membuat Presiden Trump serta Wakil Presiden Mike Pence murka. Trump mengatai mereka yang berlutut dengan sebutan 'haram jadah', sementara Pence melakukan walkout saat para pemain tengah berlutut.
NFL pun kemudian melakukan 'hal yang sangat NFL' dengan mengusulkan peraturan baru soal lagu kebangsaan. Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa pemain wajib berdiri dan menghormat kepada bendera saat lagu kebangsaan diperdengarkan. Siapa pun yang melanggar bakal dikenai sanksi serta denda.
Ini, tentu saja, mendapat tentangan dari mana-mana, termasuk dari sejumlah pemain kulit putih seperti Aaron Rodgers. "Kalau mereka (para administrator NFL) mau mengalihkan fokus dari apa yang sebenarnya diprotes -- itu bukan soal lagu kebangsaan, atau prajurit, melainkan soal keadilan sosial dan ketidakadilan rasial --, mereka harus bersikap adil kepada semua orang yang ada," kata Rodgers kepada The Ringer.
ADVERTISEMENT
"Kalau aturannya begitu, ya, semua orang di stadion harus berdiri. Tapi 'kan tidak mungkin. Ada orang yang sedang di kamar mandi, ada juga kameramen yang sedang berjongkok. Yang jelas, kalau mau, semuanya harus berdiri," lanjut pria 34 tahun tersebut.
NFL memang merupakan arena perang proksi yang seksi untuk perjuangan meraih keadilan sosial. Sebab, olahraga satu ini memang sarangnya kaum konservatif. Dalam kolomnya di The Guardian, Aaron Timms bahkan sudah menjelaskan panjang lebar bagaimana para pelatih football menjadi pelindung sejati konservatisme Amerika.
Menurut Timms, konservatisme Amerika dibangun dengan fondasi 3F, yaitu Faith (Kepercayaan terhadap agama Kristen), Family (Keluarga), dan Football. Football, oleh kaum konservatif, dianggap sebagai sebuah metode pendisiplinan terhadap generasi muda dan pelatih football adalah sosok penegak disiplin itu.
ADVERTISEMENT
Anggapan ini betul-betul diimani secara khidmat oleh orang-orang kanan di Negeri Paman Sam. Bahkan, ada seorang jenderal bintang tiga yang berkata bahwa Amerika merupakan negara terhebat di dunia karena merekalah satu-satunya negara di dunia yang bermain football. Kentalnya konservatisme dalam football inilah yang membuat resistensi terhadap aktivisme para atlet juga menjadi lebih kuat.
Di basket, khususnya NBA, situasinya agak berbeda. Inilah mengapa, suara-suara yang terdengar dari sini pun lebih kencang. Steve Kerr dan Gregg Popovich, dua pelatih kulit putih, bahkan menjadi penentang Trump paling vokal di NBA. Ini, tentunya, belum termasuk bagaimana peman-pemain seperti LeBron James, Steph Curry, atau Dwyane Wade menyuarakan aktivismenya.
Selama ini, Curry dikenal sebagai pendukung Barack Obama sejati. Bahkan, guard Golden State Warriors ini rela membuat sepatu custom untuk menyatakan dukungannya kepada POTUS 44 sekaligus menyuarakan tentangan pada POTUS 45. Sementara itu, Wade pernah memberi penghormatan khusus pada penggemarnya, Joaquin Oliver, yang meninggal pada sebuah penembakan massal di Parkland.
ADVERTISEMENT
Namun, di antara para pebasket NBA, tak ada yang suaranya lebih lantang ketimbang James. Entah sudah berapa kali penggawa Los Angeles Lakers ini menyuarakan ketidaksukaannya kepada Trump, termasuk saat mengatai sang presiden dengan sebutan 'gelandangan'. Sikap politis James ini kemudian membuat dirinya mendapat serangan dari sana-sini, termasuk pembawa acara Fox News, Laura Ingraham, yang menyuruhnya 'diam saja dan mendribel bola'.
Serangan-serangan itu tak membuat James gentar. Bahkan, dia kemudian merespons segala hal negatif yang dilontarkan kepadanya dengan berbagai langkah yang membuatnya kebanjiran pujian. Salah satu caranya adalah dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak tidak mampu di kota asalnya, Akron. Program sekolah gratis itu diberinya nama I Promise School.
Selain itu, James juga saat ini tengah mempersiapkan peluncuran sebuah acara televisi yang diberi judul 'Shut Up and Dribble', sesuai dengan 'permintaan' Ingraham kepadanya. Nantinya, acara yang akan ditayangkan di saluran Showtime ini akan bercerita dalam bentuk dokumenter soal aktivisme pebasket NBA sejak 1976.
ADVERTISEMENT
LeBron James dalam sebuah pertandingan NBA menghadapi Boston Celtics. (Foto: USA Today Sports)
zoom-in-whitePerbesar
LeBron James dalam sebuah pertandingan NBA menghadapi Boston Celtics. (Foto: USA Today Sports)
Sejauh ini, para atlet di Amerika Serikat terhitung masih sangat istikamah dalam menjalankan aktivismenya. James dan Curry, misalnya, teguh sekali dalam menolak undangan dari Gedung Putih usai menjadi juara NBA. Hal serupa juga dilakukan para penggawa Philadelphia Eagles yang menjuarai Super Bowl 2018. Bahkan, penolakan itu membuat Gedung Putih sampai membatalkan undangan demi menyelamatkan muka.
Dari basket, aktivisme tak cuma dilakukan oleh para pemain pria saja. Para pebasket wanita pun begitu. Pemain-pemain Minnesota Lynx, juara WNBA 2018, sedari awal memang tak pernah diundang ke Gedung Putih. Akan tetapi, mereka akhirnya tetap datang ke Washington D.C. untuk melakukan bakti sosial di sebuah sekolah. Pemain-pemain Lynx ini juga terlibat dalam Pride Parade di New York, Juni lalu.
ADVERTISEMENT
Bagi dunia olahraga, aktivisme para atlet Amerika Serikat ini memang menawarkan dimensi baru. Yakni, bahwa atlet juga manusia yang punya tanggung jawab lain di bidang selain olahraga. Dengan popularitas dan sumber daya yang mereka miliki, para atlet ini menjadikan olahraga sebagai sarana untuk berbuat lebih kepada sesamanya. Dalam hemat Kerr, itulah patriotisme yang sesungguhnya.
***
Jika para atlet di Amerika Serikat sudah begitu jauh terlibat dalam aktivisme, bagaimana dengan rekan-rekan mereka di Eropa?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita berbicara tentang Enes Kanter. Pebasket Turki yang pernah berkunjung ke Indonesia itu adalah jawaban dari Eropa untuk James di Amerika. Kanter yang bermain untuk New York Knicks di NBA itu dikenal sebagai sosok yang vokal melawan rezim Recep Tayyip Erdogan.
ADVERTISEMENT
Aktivisme Kanter di Turki itu tidak dilakukannya seorang. Pria kelahiran 26 tahun silam ini memang berasal dari keluarga yang peka terhadap politik. Sang ayah, Mehmet, yang merupakan profesor histologi di Universitas Trakya itu juga terlibat dalam perlawanan terhadap Erdogan.
Pebasket Oklahoma City Thunder, Enes Kanter. (Foto: Reuters/Mike Segar)
zoom-in-whitePerbesar
Pebasket Oklahoma City Thunder, Enes Kanter. (Foto: Reuters/Mike Segar)
Karena kritik-kritik yang dilontarkannya kepada Erdogan itulah Kanter kini menjadi buron pemerintah. Sang ayah juga sekarang sudah kehilangan pekerjaannya. Meski begitu, Kanter bergeming. Dia bahkan berani berkata bahwa dirinya saat ini tidak punya negara.
Kanter bukan atlet pertama Eropa dan seharusnya takkan jadi yang terakhir. Mantan bek Juventus, Zoran Mirkovic, pernah secara terbuka memprotes agresi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ke Yugoslavia pada 1999. Pada pertandingan menghadapi Torino, Mirkovic duduk di bangku cadangan dengan mengenakan kaus bertuliskan 'Peace, Not War'. Hal serupa juga dilakukan oleh dua pengawa Lazio, Sinisa Mihajlovic dan Dejan Stankovic, jelang laga menghadapi Milan.
ADVERTISEMENT
Pemboman yang dilakukan NATO ke Yugoslavia itu merupakan buntut dari segala konflik di Balkan yang terjadi pada dekade 1990-an. Salah satu bentuk sikap politik lain yang datang dari konflik tersebut adalah apa yang dilakukan Xherdan Shaqiri dan Granit Xhaka pada Piala Dunia 2018.
Shaqiri dan Xhaka adalah penggawa Tim Nasional Swiss. Namun, mereka sebenarnya merupakan putra-putra Kosovo berdarah Albania yang harus mengungsi akibat perang dengan Yugoslavia pada awal 1990-an. Dalam pertandingan melawan Serbia -- yang merupakan pewaris takhta Yugoslavia --, Shaqiri dan Xhaka sukses mencetak gol. Mereka merayakan golnya itu dengan gestur elang yang menunjukkan bahwa mereka masih orang Albania.
Selain Shaqiri dan Xhaka, pesepak bola lain yang dikenal vokal menyuarakan pendapat politiknya adalah Oleguer Presas. Bahkan, eks pemain Barcelona ini lebih dikenal akan aktivismenya ketimbang kemampuannya mengolah Si Kulit Bulat. Pemain asli Catalunya itu, sejak dulu hingga kini setelah pensiun, masih saja aktif menyuarakan kemerdekaan 'negaranya' dari tangan Spanyol.
ADVERTISEMENT
Jika disebutkan satu per satu, contoh aktivisme dalam olahraga ini jelas tidak akan cukup dan di situlah sisi positifnya. Artinya, sekali lagi, sudah banyak atlet yang menyadari bahwa ada hal-hal yang jauh lebih penting ketimbang sekadar menang dan kalah. Lagipula, apalah artinya olahraga jika peradaban yang menyokongnya hancur lebur akibat ulah manusia-manusia bebal itu?