Kalian Mau Bahas Pelatih Hipster? Oke, Kita Bahas Pelatih Hipster

6 Maret 2017 14:44 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Hipster (Ilustrasi) (Foto: Unsplash)
Apa yang membuat seorang hipster menjadi, well, hipster?
ADVERTISEMENT
Entahlah. Misteri itu, sebagaimana "bagaimana 'millennial' akhirnya menjadi kata kotor" adalah misteri terbesar di awal abad ke-21 ini. Tetapi, meski definisinya bermacam-macam, ada satu kesamaan yang dimiliki semua hipster dari bidang apa pun, entah itu musik, film, maupun sepak bola.
Semua hipster itu sama-sama tidak menyukai hal yang populer, atau mulai populer. Mereka selalu berusaha ingin jadi yang pertama mengenal sesuatu sebelu sesuatu itu jadi tren arus utama. Contohnya adalah mereka yang terus-terusan mengingatkan siapa saja yang mau mendengarkan bahwa Katy Perry dulunya merupakan penyanyi latar Payable on Death.
Di sepak bola pun begitu. Siapa yang dulu begitu mengagung-agungkan Neymar ketika dia masih bermain di Santos lalu mencampakkannya begitu dia dibeli (secara ilegal) oleh Barcelona? Siapa pula yang dulu begitu memuja Juergen Klopp lalu memutuskan bahwa dia "sudah tidak keren lagi" ketika menerima pinangan Liverpool? Ya, kalian itu.
ADVERTISEMENT
Nah, para hipster yang terhormat. Bicara soal Juergen Klopp berarti bicara soal pelatih hipster, atau lebih tepatnya, pelatih pujaan para hipster.
Jika logika hipster adalah "menyukai sesuatu/seseorang sebelum mereka menjadi tren arus utama", maka siapa sih pelatih yang layak jadi pujaan para hipster? Apakah pelatih muda potensial macam Julian Nagelsmann? Atau pelatih nyentrik macam Marcelo Bielsa? Atau pelatih genius yang minim gelar Juanma Lillo? Bagaimana dengan pelatih yang jadi pelopor berbagai hal populer seperti Victor Maslov? Oh, atau mungkin pelatih yang tololnya keterlaluan seperti Phil Brown? Lalu bagaimana dengan pelatih yang tidak punya padanan seperti Shigeyoshi Suzuki?
Semua pelatih itu sebenarnya bisa dikategorikan sebagai pelatih pujaan para hipster. Masalahnya, parameter ke-hipster-an sesuatu jelas berbeda antara hipster yang satu dengan hipster yang lain, bukan?
ADVERTISEMENT
Baiklah, daripada ribut sendiri, lebih baik kita hajar saja satu per satu persoalan pelik ini. Mari kita mulai dengan pelatih muda potensial dulu.
Julian Nagelsmann ini adalah Katy Perry yang masih jadi penyanyi latar Payable on Death. Kita semua tahu bagaimana merdunya suara Katy Perry dan di lagu Goodbye For Now, penikmat musik yang jeli -- atau hipster, duh -- sudah disuguhi oleh kehebatan sang biduanita. Ketika mendengar suara perempuan di pengujung lagu, para hipster pasti berusaha mencari tahu siapa penyanyinya, berapa umurnya, seperti apa rupanya.
Nagelsmann pun begitu. Dengan usia yang baru menginjak 29 tahun, karier pelatih kepala TSG Hoffenheim ini masih sangat panjang. Memang tidak ada jaminan kalau karier Nagelsmann di dunia kepelatihan bakal sebesar Perry di belantika musik. Namun, potensinya tak terbantahkan.
ADVERTISEMENT
Jika suatu hari nanti, Nagelsmann bakal menjadi sebesar Ottmar Hitzfield, para hipster (kalau masih hidup) pasti akan bercerita ke siapa saja yang mau mendengar bahwa Nagelsmann ini dulunya begini, dulunya begitu. Mereka tahu karena mereka mengantisipasi semuanya sejak awal, atau ya, sekadar beruntung.
Oh, satu hal lagi. Narasi Nagelsmann ini bisa juga diaplikasikan ke Eddie Howe.
Kemudian, ada pelatih nyentrik. Marcelo Bielsa jelas merupakan pelatih pujaan hipster yang (ironisnya) paling populer. Sama seperti berewok yang kini jadi setelan standar pria hipster, Bielsa adalah "setelan standar" yang keluar dari mulut para hipster seandainya ditanya siapa pelatih favorit mereka.
Tidak salah, memang, karena Bielsa sendiri memang nyentrik. Julukannya saja "Si Gila" dan formasi kesukaannya pun aneh, 3-3-1-3 (atau 3-3-3-1 tergantung bagaimana Anda melihat Humberto Suazo dan Matias Fernandez). Malah, kadang-kadang Bielsa suka tidak pakai formasi.
ADVERTISEMENT
Si Gila, Marcelo Bielsa (Foto: Flickr)
Selain itu, kelakuannya pun sering bikin orang garuk-garuk kepala. Mulai dari menghadapi suporter yang marah dengan granat tangan sampai mengundurkan diri dari Lazio hanya setelah dua hari. Hingga kini, kegilaan Bielsa masih sulit dicari tandingannya, meski warisan taktikalnya bisa disaksikan di mana-mana.
Ketiga, pelatih genius yang minim gelar. Ini menarik. Masalahnya, seringkali para pelatih ini adalah orang-orang yang mendahului zamannya. Bayangkan The Beach Boys dan Pet Sound-nya atau Fritz Lang dengan Metropolis-nya.
Ya, orang seperti Juanma Lillo memang hidup di era yang salah. Sosok yang kini menjadi asisten Jorge Sampaoli di Sevilla ini sendiri lebih dikenal sebagai mentornya Pep Guardiola. Lahir tahun 1965, Lillo sudah menjadi pelatih di usia 16 tahun. Dari situ saja sudah terlihat bahwa otak pria satu ini memang selalu difungsikan untuk memikirkan sepak bola. Namun, meski pernah menjadi pelatih termuda La Liga kala menangani Salamanca tahun 1992-1996, Lillo tidak pernah merasakan nikmatnya gelar juara.
ADVERTISEMENT
Belum cukup hipster? Mari kita lanjutkan ke jenis pelatih keempat, para pelatih pelopor. Nah, mereka ini adalah sosok-sosok yang berjasa meletakkan fondasi permainan tertentu.
Bermain tanpa penyerang? Ada Alberto Suppici. Siapa dia? Pelatih Tim Nasional Uruguay di Piala Dunia 1930. Ketika itu, Suppici memerintahkan Peregrino Anselmo untuk menjadi false-nine. Jadi, bukan Matthias Sindelar, Francesco Totti, atau (yang benar saja) Lionel Messi-lah pelopor false nine, melainkan Anselmo, di bawah perintah Suppici.
Kemudian, pressing. Pernah dengar nama Victor Maslov? Ya, Victor Maslov, pelatih sepak bola asal Uni Soviet yang selain menemukan pressing, juga pertama kali memainkan formasi 4-4-2 dan bereksperimen dengan nutrisi pemain. Ketika Maslov memainkan sepak bola model begini, kolumnis sepak bola Jonathan Wilson menyebut bahwa ketika itulah sepak bola modern lahir.
ADVERTISEMENT
Apa lagi? Catenaccio? Ya, tepat sekali. Bukan Helenio Herrera.
Baiklah, Herrera memang memopulerkan cara bermain ini, tetapi penemunya adalah orang Austria bernama Karl Rappan. Jika di Italia cara bermain bertahan ini disebut catenaccio, di negara asal Rappan, orang-orang menyebutnya verrou. Artinya sama: gerendel.
Para pelatih ini jelas layak dipuja oleh para hipster seperti halnya para hipster film lebih menyukai Scarface keluaran 1932 dibanding yang keluaran 1983. Atau bagaimana hipster musik menyebut bahwa penemu musik punk bukan Ramones, melainkan kuartet kulit hitam bersaudara yang tergabung dalam band bernama Death.
Selanjutnya, ada pelatih yang saking tololnya justru menjadi pujaan tersendiri. Logika ini sama dengan logika yang digunakan para penggemar film-film Ed Wood, Uwe Boll, atau Gatot Brajamusti. Saking jeleknya, justru jadi keren.
ADVERTISEMENT
Banyak sekali pelatih sepak bola model begini, mulai dari Phil Brown sampai Jim Fallon.
Bagi yang belum familiar dengan dua nama ini, Phil Brown adalah sosok yang reputasinya hancur tatkala memilih untuk memberi team talk kepada anak-anak asuhnya di Hull City di depan 40 ribu pendukung Manchester City. Ya, ketika itu di tahun 2008, Hull sedang tertinggal 0-4 dari Man. City. Tak disangka tak dinyana, Brown memerintahkan para pemainnya duduk di tengah lapangan dan memberi team talk di sana. Aksi itu memang bodoh luar biasa, tetapi nama Brown sejak itu menjadi buah bibir di kalangan penikmat sepak bola Inggris.
Lalu bagaimana dengan Jim Fallon?
Jim Fallon adalah mantan manajer Dumbarton, sebuah klub di Skotlandia sana. Pada musim 1995-96, Fallon sukses membawa Dumbarton memenangi dua laga pembuka Divisi Satu Liga Skotlandia. Namun, dalam perjalanannya, Dumbarton kalah 31 kali dari 36 laga. Mereka pun mengakhiri musim dengan 11 poin, selisih 25 poin dari tim yang juga terdegradasi, Hamilton Academical.
ADVERTISEMENT
Kalau itu semua belum cukup, tenang saja, karena masih ada satu kategori lagi yang belum dibahas, yakni pelatih tanpa padanan. Karena tanpa padanan, maka hanya ada satu nama yang bisa diajukan, yakni Shigeyoshi Suzuki.
Pelatih asal Jepang itu pernah mengguncang dunia pada Olimpiade 1936 ketika dia membawa negaranya mengalahkan Swedia dengan skor 3-2. Hebatnya, ketika itu dia menggunakan formasi yang tidak ada duanya: 1-6-3. Ya, 1-6-3. Satu bek, enam gelandang, dan tiga penyerang.
Formasi itu sendiri disebut sebagai formasi "Kamikaze". Namun, seperti halnya kamikaze di mana pelakunya bakal mati semua, Jepang akhirnya luluh lantak di tangan Italia.
Menggunakan formasi yang sama, Jepang dilumat tim juara dunia itu dengan skor 8-0. Alhasil, formasi sinting itu pun kini tinggal kenangan dan tidak ada lagi orang yang sudi mencobanya. Formasi itu, seperti kata para pujangga, sekali berarti sesudah itu mati.
ADVERTISEMENT