Kini, "The Sun" Juga Dilarang Beredar di Goodison Park

16 April 2017 12:28 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Tidak boleh ada "The Sun" di Goodison Park. (Foto: Reuters/Jason Cairnduff)
Ah, The Sun. Menuliskan nama media satu itu saja rasanya saya tidak sampai hati saking jijiknya. Kalau saya yang tak punya sangkut-paut langsung dengannya bisa sampai bersikap demikian, entah bagaimana rasanya jadi penduduk Kota Liverpool.
ADVERTISEMENT
Semua berawal dari Hillsborough, stadion milik klub Sheffield Wednesday. Ketika itu, 15 April 1989, 96 suporter Liverpool meninggal dunia menyusul robohnya tribun Lepping Lane. Di tribun itulah, suporter Liverpool dijejalkan untuk menyaksikan klub kesayangannya bertanding melawan Nottingham Forest dalam laga semifinal Piala FA.
Tragedi itu terjadi ketika persepakbolaan Inggris sedang berada dalam titik nadir. Bukan soal prestasi, tentunya, melainkan soal perilaku suporter mereka. Empat tahun sebelumnya, 39 suporter Juventus meninggal dunia di Stadion Heysel (sekarang King Baudoiun Stadium), Brussels, setelah suporter Liverpool berbuat onar pada laga final Piala Eropa 1985.
Apa yang terjadi di Heysel membuat klub-klub Inggris dikenai larangan bermain di kancah antarklub Eropa sampai musim 1990-91. Nama suporter Liverpool pun mau tak mau jadi identik dengan kekerasan.
ADVERTISEMENT
Namun, siang itu di Sheffield, kejadiannya tidak seperti itu. Hari itu, suporter Liverpool adalah korban dari ketidakbecusan panitia penyelenggara dan pihak kepolisian dalam mengontrol arus massa yang masuk ke dalam stadion. 96 orang tak bersalah pun harus meregang nyawa akibat hal itu.
Meski begitu, The Sun, seperti koran kuning pada umumnya yang menjual sensasi, menafikan itu semua. Bagi mereka, khususnya sang editor Kelvin Mackenzie, meninggalnya 96 suporter Liverpool itu adalah salah mereka sendiri.
Oleh tabloid itu, disebut bahwa suporter Liverpool sedari awal sudah mabuk dan mengacau hingga akhirnya terjadilah aksi desak-desakan yang membuat tribun runtuh. Tak hanya itu, oleh The Sun, suporter Liverpool digambarkan seperti gerombolan bromocorah: mulai dari mencuri dompet dan barang-barang milik korban, mengencingi polisi, sampai memukuli paramedis.
ADVERTISEMENT
"Kebenaran" ala tabloid paling menjijikkan. (Foto: Wikimedia Commons)
Hal itu, tentu saja, tidak benar dan sejak itulah The Sun menjadi musuh bersama warga Liverpool. Berbagai kampanye pun dilancarkan oleh warga kota, khususnya para suporter Liverpool Football Club, agar tidak membeli The Sun.
Kini, sudah hampir tiga dasawarsa sejak Tragedi Hillsborough terjadi dan The Sun -- atau lagi-lagi, lebih tepatnya, Kelvin Mackenzie -- belum juga kapok. Meski pihak surat kabar sudah berulang kali mengeluarkan permintaan maaf terbuka, apa yang ditulis Mackenzie sehari sebelum peringatan ke-28 tragedi tersebut, Jumat (14/4) lalu, menunjukkan bahwa dia memang tidak pernah menyesal.
Pada 1993, Mackenzie sebenarnya pernah meminta maaf atas apa yang dituliskan The Sun tentang suporter Liverpool di Hillsborough. Namun, pada 2006, dia menarik permintaan maaf tersebut. Mackenzie menyebut bahwa permintaan maaf 13 tahun sebelumnya itu dilakukan karena dia dipaksa oleh Rupert Murdoch, si empunya surat kabar.
ADVERTISEMENT
Pada kolom terbarunya itu, memang bukan suporter Liverpool secara khusus yang diserang oleh Mackenzie, melainkan Ross Barkley, gelandang muda Everton. Kolom itu ditulisnya menyusul insiden penyerangan di sebuah bar terhadap Barkley. Mackenzie menulis bahwa "Barkley diserang karena mirip gorila di kebun binatang."
"Saya menilai Ross Barkley sebagai salah satu pesepak bola terbodoh kita (Inggris). Matanya tidak memancarkan apa-apa dan bagi saya, sepertinya otaknya memang kosong."
"Rasanya sama seperti melihat gorila di kebun binatang. Fisiknya memang luar biasa, tetapi tidak demikian dengan matanya. Jadi, tidak mengejutkan bagi saya kalau bintang Everton itu ditonjok di kelab malam karena diduga ngeliatin seorang gadis cantik."
"Faktanya adalah, dengan gaji 60 ribu (poundsterling) per pekan, bodoh, dan jomlo, banyak sekali orang yang mengincar dirinya. Apalagi, orang-orang yang punya uang seperti Barkley cuma pengedar narkoba," demikian tulis Mackenzie di kolomnya, kalau itu bisa disebut sebagai kolom.
ADVERTISEMENT
Apa yang ditulis Mackenzie itu sontak memancing kemarahan baru dari Kota Liverpool. Wali Kota Joe Anderson yang merupakan suporter Everton pun merespons keras kolom tersebut.
Anderson menyatakan bahwa dia telah melaporkan Mackenzie ke pihak kepolisian atas tuduhan melontarkan cacian berbau rasial. Perlu dicatat bahwa ada darah Nigeria yang mengalir dalam diri Barkley. Selain itu, secara tegas Anderson juga meminta agar seluruh penduduk kota memutus semua hubungan dengan The Sun.
Respons Anderson ini diikuti pula oleh pihak Everton. Dalam pernyataan resminya, Everton mengumumkan boikot mereka terhadap The Sun. Mereka melarang adanya peredaran tabloid tersebut di sekitar Goodison Park, USM Finch Farm (pusat latihan mereka), dan tempat-tempat lain yang masuk area operasional klub.
ADVERTISEMENT
Menyusul respons keras dari Wali Kota Liverpool dan klub sepak bola Everton, pihak The Sun langsung menskors Kelvin Mackenzie. Menurut mereka, apa yang ditulis editor seniornya itu "tidak lucu dan tidak mencerminkan pandangan resmi tabloid." Mereka juga mengaku "tidak mengetahui asal-usul keluarga Barkley dan tidak bermaksud untuk melancarkan serangan berbau rasial."
Ya, untuk kesekian kalinya, The Sun kembali meminta maaf kepada warga Liverpool. Walau begitu, para penduduk kota ini tampaknya sudah tidak sudi lagi mendengarkan apa yang dikatakan oleh tabloid berhaluan konservatif itu. Setelah kini Everton juga resmi memboikot The Sun, rasanya tidak ada harapan lagi untuk terjadinya rekonsiliasi di antara pihak tabloid dengan Kota Liverpool.
Ross Barkley sendiri tampil brilian semalam (15/4) pada laga melawan Burnley. Satu gol berhasil disumbangkan sang gelandang serang pada kemenangan 3-1 tersebut. Dia pun dinobatkan menjadi pemain terbaik laga tersebut oleh para pendukung Everton.
ADVERTISEMENT