Kisah Susy Susanti Menjadi ‘Ibu’ para Atlet di All England 2019

11 Maret 2019 18:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Susy Susanti (tengah) diapit ganda campuran Indonesia Praveen Jordan (kiri) dan Melati Daeva Oktavianti (kanan). Foto: www.badmintonindonesia.org
zoom-in-whitePerbesar
Susy Susanti (tengah) diapit ganda campuran Indonesia Praveen Jordan (kiri) dan Melati Daeva Oktavianti (kanan). Foto: www.badmintonindonesia.org
ADVERTISEMENT
Seberapa banyak pun gelar juara di tangan, setiap atlet tetap butuh diayomi dan dijaga. Maka sebagai ‘anak’, mereka butuh sosok ‘ibu'.
ADVERTISEMENT
Sebagai ‘anak’, fokus mereka adalah ‘bermain’ di lapangan. Sementara sang ‘ibu’ mengurusi tetek-bengek di belakangnya. Sang ‘ibu’ tahu betul apa yang diperlukan ‘anak-anaknya’. Jika sang ‘anak’ salah, ia akan menegur. Sebaliknya, ia juga akan ada dan menghibur jika memang betul-betul dibutuhkan.
Di PBSI, ‘ibu’ itu adalah Susy Susanti.
***
Menjadi manajer tim Indonesia setiap berlaga di berbagai turnamen bulu tangkis dunia bukan perkara mudah. Susy punya buktinya. 
Legenda hidup bulu tangkis Indonesia ini menjabat Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Binpres) Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) dan kerap banting setir menjadi manajer tim tiap kali skuat nasional bertanding.
Kelihatannya menyenangkan; Susy ikut bepergian ke berbagai penjuru Eropa dan Asia. Namun, itu hanya sekelumit kisahnya. Di balik itu, ada gunung es besar yang berisi tidak hanya pasang, tetapi juga surut.
ADVERTISEMENT
Di All England 2019, kumparanSPORT menemui Susy yang kali ini mengawal puluhan wakil Indonesia, termasuk tiga atlet profesional berstatus non-pelatnas, yakni Tommy Sugiarto, Mohammad Ahsan, dan Hendra Setiawan. 
Selain ketiganya, Susy juga menjadi ‘ibu’ untuk Kevin Sanjaya Sukamuljo, Fajar Alfian, Praveen Jordan, Rinov Rivaldy, Gregoria Mariska Tunjung, hingga Winny Oktavina Kandow. Ya, tak hanya diisi atlet senior, skuat PBSI banyak juga diisi pemain-pemain muda.
"Kalau dibilang, sih, paling repot di turnamen beregu karena banyak (atlet) dan begitu banyak detail. Kalau perorangan sama, tapi masing-masing sektor jam beda, pelatih ada. Kalau di tim, saya mengurus semua dari awal sampai akhir, mulai check-in, hotel, manager’s meeting, transportasi, makanan, dan susunan pemain. Enaknya selesai pertandingan selesai. Kalau (turnamen) perorangan, capeknya bisa dari pagi sampai malam," kata Susy kepada kumparanSPORT.
ADVERTISEMENT
Bepergian ke luar negeri, perut atlet Indonesia pun harus dijaga asupan dan gizinya. Khusus di Eropa, tentu sulit menemukan nasi di sekitar venue yang tidak berada di daerah kawasan imigran Asia atau China Town. Maka, mereka terbiasa membawa beras sendiri.
Susy Susanti (kiri atas) berfoto bersama Ahsan/Hendra (depan tengah) dan para pelatih serta Dr. Rizal Sukma (kanan bawah). Foto: www.badmintonindonesia.org
Ya, bulir padi yang sudah dipanen bersih itu menjadi senjata ampuh agar atlet tak repot-repot keluar hotel mencari sesuap nasi. Aksesibilitas ke kawasan Asia sekarang pun diakui Susy tidak sesulit pada masanya dulu.
"Sekarang tidak sesusah dulu saat zaman saya. Dulu bawa sendiri, sekarang pun anak-anak bawa beras sendiri. Tapi sekarang China Town, (restauran) Jepang atau Thailand, di mana-mana ada banyak. Tapi, tetap harus mengatur diri sendiri, kalau kira-kira tidak bisa makan kentang, harus makan nasi, harus siapkan beras."
ADVERTISEMENT
"Kesadaran sendiri (bawa beras), khususnya yang belum berpengalaman. Kalau yang sudah biasa, tahu di mana tempat makan yang menyediakan menu nasi," katanya.
Adapun untuk All England 2019, skuat PBSI langganan menyewa salah satu hotel bintang empat di Broad Street, Birmingham, sekitar 500 meter dari venue. Selain sudah terbiasa di sana, letaknya yang dekat dengan venue dinilai memudahkan pergerakan para atlet. Susy sendiri selama All England menjalani aktivitas normal layaknya tamu lain.
Juara Olimpiade 1992 Barcelona ini turun untuk sarapan sekitar pukul 09:00 WIB, lalu kemudian berangkat ke arena pertandingan. Susy akan selalu menjadi pendukung nomor satu para atlet yang bertanding. Dia bahkan sudah punya kursi favorit di tribune area atlet dan pelatih itu.
ADVERTISEMENT
"Saya selalu duduk di pojok kanan atas sini, Mbak. Merhatiin (pertandingan) enak, bisa sambil selonjor (kaki). Nanti kalau ada apa-apa lagi ke sini saja," ucap Susy ramah.
Ketika kumparanSPORT berbincang dengan Susy, Jonatan Christie bertanding di lapangan. Sayang, salah satu 'anak bungsu’ Susy ini mesti tersingkir. Perjuangan Jonatan hanya sampai babak kedua saja.
Lalu, masuklah Tommy Sugiarto, atlet profesional di luar pelatnas PBSI. Namun, Tommy tetaplah atlet Indonesia, dia tetap bermain dengan membawa nama negaranya. Susy pun merasa punya tanggung jawab untuk menjaga sang atlet di lapangan.
Buktinya, saat Tommy diganjar kartu merah, Susy langsung sibuk ke sana-sini untuk mengajukan protes. Sehari sebelumnya, Marcus Fernaldi Gideon juga sempat diberi kartu merah oleh umpire. Wajar Susy marah karena anak-anaknya diganggu.
ADVERTISEMENT
Obrolan kami pun terhenti sejenak karena Susy sedang melakukan tugasnya untuk melancarkan keberatan kepada BWF. Sekembalinya ke tribune, wanita kelahiran 11 Februari 1971 ini langsung menceritakan masalah ini dengan menggebu-gebu.
Pebulu tangkis putra Indonesia Tommy Sugiarto saat beraksi di All England 2019, di Arena Birmingham, Inggris. Foto: ANTARA FOTO/Widya Amelia - Humas PP PBSI
Namun, masalah di lapangan ini bukan satu-satunya hal berat yang dihadapi Susy.
"Saat protes-protes, sebetulnya kami tidak mau, ya. Itu bikin sebal, apalagi kalau merugikan tim kita," katanya.
"Lalu kalau koper hilang, belum lama ini kasusnya. Di Jerman koper hilang tiga. Hal-hal seperti itu bikin pusing. Jadi saya selalu ingatkan, alat-alat untuk bertanding seperti sepatu di bawa (di luar koper). Kalau raket 'kan sudah tidak boleh di kabin."
"Pengalaman itu yang membuat kami harus memikirkan yang terburuk dulu, baju siapkan satu pasang di luar koper. Seperti pernah tahun lalu ada badai, mau tidak mau kami menginap (delay)," tutur Susy.
ADVERTISEMENT
Pernah juga ada atlet yang sakit mendadak saat SEA Games 201. Kala itu, Susy sibuk mengurus surat dokter sendiri hingga mengantar ke bandara.
"Ada dua yang sakit, mau tidak mau jam 2 pagi antar ke airport, mengurus surat dokter hingga masuk pesawat. Belum lagi ngotot-ngototan, ambulance saja saat itu tidak dikasih. Hal-hal itu buat saya capek pikiran, mental, dan emosi," ujarnya.
Meski begitu, ada satu obat mujarab yang menghapus segala rasa lelah sebagai manajer itu. Tentu saja, obat itu bukanlah jalan-jalan.
“Jalan-jalan, sih, belakangan. Itu bonusnya saja. Saat juara senang banget, jauh-jauh ke luar negeri dan dapat hasil sesuai harapan, puas banget," kata Susy.
Lantas, pernahkah dia meneteskan air mata saat menyaksikan momen juara? Atau karena begitu letihnya mengurus tim?
ADVERTISEMENT
Pebulu tangkis ganda putra Indonesia Kevin Sanjaya Sukamuljo (kiri) dan Marcus Fernaldi Gideon saat beraksi di All England 2019, di Arena Birmingham, Inggris. Foto: Widya Amelia - Humas PP PBSI
"Saat menang. Kalau kalah saya tidak menangis. Tapi saat menang itu, saya terharu. Seperti kemarin momen Asian Games, bisa sesuai target, semua menangis. Juga saat Marcus/Kevin juara pertama kali di All England 2017, mereka debutan baru dan juara," jawab Susy dengan mata berkaca-kaca.
"Menangis karena capek pun pernah, terkadang saya capek otak. Betul-betul capek banget. Sebagai manajer 'kan lebih banyak pakai otak, belum meeting, mengurus administrasi, dan lain-lain. Kadang ada juga yang mencari-cari meski sudah beres (jadwal pertandingan). Hal-hal nonteknis ini yang menguras emosi dan perasaan."
"Tapi saya nikmati saja. Kalau sedang enjoy, ya, memang (bulu tangkis) ini hidup saya jadi menikmati. Tapi kadang kalau suntuk, banyak masalah, haduh capek pokoknya," kata Susy.
ADVERTISEMENT
Istri dari Alan Budikusuma ini juga menjadi ibu dari ketiga anak-anak kandungnya. Tugasnya sebagai ibu di rumah itulah yang membuatnya baru menjadi Binpres PBSI pada 2016, di era Ketua Umum Wiranto. 
Meski sudah lama dibujuk untuk menjadi Binpres di era Gita Wirjawan, Susy masih sibuk mengurus sekolah anak hingga hanya menerima jabatan sebagai staf ahli —posisi yang hanya dimintai masukan sewaktu-waktu di rapat.
Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan menjuarai All England 2019. Foto: Dok. PBSI
"Anak saat ini satu SMA dan dua lain sedang kuliah di Australia dan Amerika Serikat. Tahun depan tinggal berdua (bersama suami), jadi sekarang banyak mengurus anak orang saja (atlet), hahaha," ucap Susy.
"Itulah kenapa saya mau jadi Binpres. Saya, sih, intinya kalau saya terima (jabatan), saya harus total. Sebelum ini zaman Pak Gita sudah diminta, tapi saya tidak mau setengah-setengah karena anak saya masih ada yang SD."
ADVERTISEMENT
"Jadi saat itu saya total mengurus anak, mulai antar-jemput, masak, dan lainnya semua. Jadi saat Pak Wiranto, waktunya memang tepat. Seperti kantoran saja (di PBSI), setiap hari datang jam 8 atau 9 pagi sampai jam 5 sore," kata Susy.