Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Mengapa Ancelotti Sebaiknya Berlibur Saja daripada Melatih Italia?
17 November 2017 6:01 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
Dalam ironi kekalahan Italia dari Swedia di babak kualifikasi Piala Dunia 2018, ada momen di mana Daniele De Rossi beradu mulut dengan salah satu staf pelatih di bangku cadangan. Kala itu, pelatih Italia, Gian Piero Ventura, ingin menurunkan De Rossi dan karena itu staf pelatih menyuruh sang gelandang untuk melakukan pemanasan.
ADVERTISEMENT
Tapi, De Rossi tahu bahwa Italia lebih butuh penyerang daripada seorang pemain tengah. Pemain AS Roma itu enggan melakukan pemanasan. Dia agak mengumpat. De Rossi menyarankan bahwa seharusnya yang diturunkan adalah Lorenzo Insigne saja. “Italia butuh menang, bukan imbang,” ucap De Rossi sembari menunjuk ke arah winger Napoli itu.
Setelah itu, baik De Rossi dan Insigne sama-sama tak ada yang dimasukkan Ventura ke lapangan. Italia akhirnya imbang tanpa gol kontra Swedia dan kita tahu, itu membuat Gli Azzurri tak lolos ke Piala Dunia 2018. Atas kegagalan itu --setelah tak mau mendengar saran De Rossi itu dan mimpi buruk di San Siro itu-- Ventura dipecat.
Namun, kepergian Ventura kemudian tak serta-merta menyelesaikan masalah. Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) saat ini tengah pening-peningnya mencari sosok yang pantas untuk menggantikan Ventura. Ini penting: Italia tak ingin jatuh di lubang yang sama. Beberapa nama pun dibidik. Termasuk salah satunya adalah Carlo Ancelotti.
ADVERTISEMENT
Tentu rumor ini disambut dengan sorak-sorai. Bagaimana tidak? Don Carlo – julukan Ancelotti – telah sukses di berbagai klub top Eropa. Di Italia, ia berhasil merengkuh dua trofi Liga Champions bersama AC Milan. Di Prancis, PSG menjadi sama jahatnya seperti Bayern di Bundesliga.
Di Spanyol, ia bikin kebahagiaan Madridista paripurna. Karena di tangannya, Real Madrid berhasil menjadi klub pertama di Eropa yang meraih 10 trofi Liga Champions – La Decima.
Pendekatan man-management-nya memukau hampir semua orang, sehingga semua orang ingin Ancelotti segera kembali dari liburannya. Ia dianggap memiliki potensi paling besar untuk membawa Timnas Italia kembali ke trek yang benar. Ya, hampir semua orang.
Tapi apakah benar jika Ancelotti sesempurna itu? Kalau Anda tanya Roman Abramovic, Anda akan tahu bahwa Ancelotti tak sesuci itu. Ia gagal memuaskan hasrat kelewat besar Sang Pemilik Roman Empire itu.
ADVERTISEMENT
Kedatangan Ancelotti ke Stamford Bridge, pada tahun 2009, diharapkan akan membawa Chelsea pada akhirnya menjadi kampiun di Eropa. Chelsea tak sabaran ingin memiliki trofi Liga Champions, sehingga ia memecat Jose Mourinho dan menggantinya dengan Ancelotti. Ia, lagipula, punya rekor memenangkan dua trofi Liga Champions bersama AC Milan.
Jelas, pressure yang ia terima luar biasa. Ia harus mengganti peran Mou, yang bak dewa kala itu, dengan memberikan kegelimangan yang lebih mewah.
Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Fast-forward ke tahun 2011, Chelsea justru tak mendapatkan trofi Liga Champions. Ia boleh meraih trofi Premier League dan FA Cup pada musim perdananya. Namun di musim 2010/2011, alih-alih menang trofi Liga Champions, prestasi Chelsea justru hancur lebur. Tak menang FA Cup, apalagi Piala Liga.
ADVERTISEMENT
Hal serupa akan dinyatakan oleh Ulli Hoenes, atau penggemar Bayern Muenchen, andai Anda bertanya apakah Ancelotti manajer yang bagus atau tidak. Kala Ancelotti datang, ada tekanan besar yang jua ia rasa kala ia memegang klub berjuluk Die Roten ini.
Ia menggantikan Pep Guardiola pada musim 2016/2017. Atas keberhasilannya bersama Real Madrid, ekspektasi membumbung tinggi. Dan sialnya, Ancelotti gagal memberikannya.
Di Bayern, Don Carlo hanya memenangkan trofi Bundesliga saja. Andai Bayern itu Liverpool, mereka akan merayakan dengan penuh suka hati karena menjadi jawara liga. Tapi Bayern sudah biasa mendominasi liga. Mereka ingin memenangkan trofi Liga Champions. Di musim kedua, timnya terseok-seok. Mulai dengan start terburuk sejak musim 2010-2011, serta hanya dapat 7 poin di bulan September.
ADVERTISEMENT
Selain tekanan, tentu saja ada faktor lainnya yang membuatnya gagal. Richard Williams, dalam kolomnya di The Guardian, sempat mengkritisi favoritisme Ancelotti di masanya memegang Chelsea.
Richard mengkritik bahwa kegagalan Ancelotti di musim keduanya disebabkan karena keengganannya untuk memainkan pemain muda. Kencenderungan ini bisa di lihat di AC Milan – di mana ia kelewat percaya dengan veteran, jika dibandingkan dengan yang muda-muda.
Atau di Real Madrid. Bek Real Madrid, Raphael Varane, sebagaimana dikutip dari BBC, sempat bilang, “Aku tidak bermain sebanyak seperti apa yang kuharapkan, dan itu membuatku bertanya-tanya kepada diriku dan perkembanganku.” Raphael Varane kini, pasca-perginya Ancelotti dari Real Madrid, menjadi pilihan utama Real Madrid.
Dan Varane tak hanya satu. Pemain macam Thomas Mueller tahu betul apa yang dirasa Varane. Mueller berkata, “saya tak pernah 100% dibutuhkan.” Kimmich juga memiliki nasib tak jauh beda. Ia blak-blakkan bilang bahwa ia tak gembira dengan favoritisme Ancelotti. Bahkan jangankan pemain muda, pemain tua macam Arjen Robben kecewa berat dengan sikap Ancelotti seperti ini.
ADVERTISEMENT
Sehingga dengan pertimbangan-pertimbangan itu, untuk saat ini, mending Carlo Ancelotti berlibur saja daripada melatih Italia. Italia butuh dibangun ulang dari dasar. Seperti layaknya Jose Mourinho menumbuhkan rasa lapar di skuat Real Madrid, Seperti Marcelo Lippi di Juventus. Itu, kalau penggemar Italia tak ingin merasa seperti sudah jatuh, lalu tertimpa tangga.