news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Nanda Mei Sholihah: Memaafkan Masa Lalu, Menggapai Prestasi Kemudian

19 Juli 2018 17:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nanda Mei Sholihah, atlet difabel Indonesia. (Foto:  Aditia Rizki Nugraha/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Nanda Mei Sholihah, atlet difabel Indonesia. (Foto: Aditia Rizki Nugraha/kumparan)
ADVERTISEMENT
Nanda Mei Sholihah mengenang masa kanak-kanaknya tak lebih dari sekadar angin lalu. Meski satu fragmen di masa lalu itu merupakan sebuah pukulan berat bagi bocah berusia lima tahun, Nanda saat ini mengingatnya sebagai dorongan untuk lebih maju.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi fisik yang tak sempurna ketika dilahirkan—tangan kanan hanya sampai siku—masa kecil Nanda dipenuhi dengan perlakuan diskriminatif. Yang paling membekas di benaknya, ketika ia ditolak saat ingin mendaftar sekolah di taman kanak-kanak.
Bagi taman kanak-kanak itu, tak seharunya Nanda mendaftar di sana. Pihak sekolah justru menyarankan untuk didaftarkan di sekolah luar biasa (SLB). Lantas bukan Nanda kecil yang berontak, tapi pihak keluarga yang tak menerima saran seperti itu.
"Waktu itu TK-nya dekat rumah di Kediri, saya sudah daftar tapi orang tua saya dipanggil. Kata mereka saya punya keterbatasan fisik dan tidak bisa diterima di sana. Terus malah disarankan masuk ke SLB, nenek saya terus marah dan heran, kenapa anak tidak punya cacat mental disuruh sekolah di SLB," kata Nanda.
ADVERTISEMENT
"Terus karena takut nanti kalau pun tetap memaksa dan keterima malah dibeda-bedakan, saya dipindahkan ke sekolah lain. Sekolahnya pun tetap di sekolah untuk anak-anak normal," kenang dara berusia 19 tahun ini kepada kumparanSPORT seusai menjadi salah satu pembawa obor api Asian Games 2018 di Yogyakarta.
Menyerah dengan keadaan dan pandangan keraguan orang lain terhadapn kondisi fisik bukanlah keputusan yang ingin diambil oleh keluarga Nanda. Keinginan keras untuk menyekolahkan sang anak di sekolah yang diisi oleh anak-anak tanpa keterbatasan fisik akhirnya berbuah manis karena Nanda melewati masa sekolah dasar hingga menengah atas di sekolah biasa.
Babak baru dalam hidup Nanda pun terjadi ketika ia duduk di kelas 5 SD. Saat itu Ketua National Paralympic Kota Kediri datang ke rumahnya untuk mengajak Nanda ikut olahraga atletik. Siapa menyangka, keputusannya untuk mengeluti cabor ini membuahkan prestasi gemilang bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Baginya, kunci untuk bisa bangkit dari segala keraguan yang dilontarkan orang-orang adalah menganggap dirinya tidak aneh meski fisiknya tak sempurna. Tentu saja, dorongan dari pihak keluarga pun jadi salah satu faktor lain.
Atlet difabel yang ditunjuk membawa obor Asian Games, Nanda Mei Sholihah. (Foto: Instagram Nanda Mei Sholihah)
zoom-in-whitePerbesar
Atlet difabel yang ditunjuk membawa obor Asian Games, Nanda Mei Sholihah. (Foto: Instagram Nanda Mei Sholihah)
"Kalau saya di TK saat itu diajak ikut lomba-lomba kaya lomba lari dan tanding lawan anak-anak lain. Jadi dari dulu saya sudah aktif banget, pecicilan lah ke sana-sini. Anehnya itu, saya tidak merasa cacat dan tidak beda, pokoknya saya cuek. Orang tua saya pun sering mengajak untuk sosialisasi," paparnya.
"Sering dilihatin, kok, beda sendiri, sih? Kok, kaya begitu, sih, anaknya? Sering banget dulu merasakan kaya gitu sama anak-anak seusia saya. Tapi, karena saya cuek mungkin, jadi saya nggak ingat banget momen paling bikin down,” kata Nanda.
ADVERTISEMENT
Sejumlah prestasi di level internasional pun lahir, di antaranya medali emas ASEAN Youth Para Games 2013, medali perak dan perunggu ASEAN Para Games 2014, tiga medali emas ASEAN Para Games 2015, serta tiga medali emas ASEAN Para Games 2017.
Sederet prestasi ini menjadi jawaban dari segala keraguan yang dialamatkan kepada Nanda di waktu silam. Ketekunan yang ditambah pembelajaran hidup usai bertemu dengan kawan-kawan lain sesama difabel dianggap Nanda menjadi beberapa hal lain yang membuat mimpinya jadi kenyataan.
"Sejak awal ketika saya menggeluti olahraga ini (atletik) saya sudah bilang pada diri sendiri kalau saya itu harus bisa. Bahkan, saya bisa mencapai tingkat perlombaan se-Asia pun saya tidak meyangka. Dulu saya masih sering tanya-tanya, apa bisa keluar kota, apa mungkin ke luar negeri. Terus akhirnya saya semangat latihan,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Nanda Mei Sholihah, atlet difabel Indonesia. (Foto:  Aditia Rizki Nugraha/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Nanda Mei Sholihah, atlet difabel Indonesia. (Foto: Aditia Rizki Nugraha/kumparan)
"Banyak juga teman-teman yang sesama difabel dan saya belajar dari sana. Ternyata banyak sekali teman-teman yang kekurangannya lebih parah dari saya, sehingga saya jadi bisa lebih bersyukur. Tapi, kalau di atas lapangan kita sama-sama ingin bersaing," ujarnya.
Sekarang Nanda tengah menatap panggung dunia yang lebih besar karena akan mentas di ajang Asian Para Games 2018 (6-13 Oktober 2018). Hasrat untuk kembali membungkam anggapan bahwa penyandang disabilitas tak mampu berprestasi membuat Nanda mengincar prestasi tertinggi.
"Di ajang Asian Para Games levelnya lebih tinggi, banyak yang meragukan apakah saya bisa karena lawan-lawannya pun berat. Tapi, dukungan orang tua membuat saya yakin. Mungkin mereka yang dulu meragukan keadaan fisik saya melihat bagaimana saya sekarang, tapi saya tidak tahu apa pikiran mereka," pungkasnya.
ADVERTISEMENT