Para Pelatih yang Berpendar di Balik Prestasi Atlet PB Djarum

20 Agustus 2018 20:45 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Atlet PB Djarum berlatih, (Foto: Dok. PB Djarum)
zoom-in-whitePerbesar
Atlet PB Djarum berlatih, (Foto: Dok. PB Djarum)
ADVERTISEMENT
Di balik lahirnya atlet-atlet  bulu tangkis berprestasi di Indonesia, khususnya mereka-mereka yang menempa diri di PB Djarum, ada sosok-sosok pelatih yang terus menemani perjalanan untuk meraih kesuksesan.
ADVERTISEMENT
Pelatih ibarat seorang sutradara yang tengah mengarahkan sebuah adegan. Pelatih mengatur, menyusun program, dan memfasilitasi atlet agar bisa melakukan perannya dengan sempurna.
PB Djarum dikenal sebagai klub (rumah produksi) bulu tangkis kenamaan di tanah air, sejumlah atlet dengan prestasi mentereng lahir berkat tempaan klub ini.
Lantas, di balik keberhasilan atlet itu, kumparanSPORT akan membahas beberapa pelatih yang memiliki curriculum vitae mentereng di PB Djarum.
Ellen Angelina
Ellen Angelina memberikan arahan. (Foto: PB Djarum.)
zoom-in-whitePerbesar
Ellen Angelina memberikan arahan. (Foto: PB Djarum.)
Ellen adalah salah satu pemeran dan saksi hidup ketika bulu tangkis putri Indonesia masih berjaya di dunia. Aktif bermain di era 1997-2001, wanita kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, 42 tahun silam tersebut merupakan bagian dari kontingen Indonesia yang meyabet medali emas bulu tangkis SEA Games 1999 di nomor beregu putri.
ADVERTISEMENT
Prestasi tertinggi Ellen kemudian lahir setahun berselang, ketika ia menyabet gelar juara tunggal putri di ajang Indonsesia Open 2001 dengan mengalahkan pebulu tangkis Hong Kong, Wang Chen. Gelar prestisius ini menjadi trofi terakhir yang ia raih sebagai pemain.
Lantas, Ellen banting setir sebagai pelatih dan memilih mengabdi di PB Djarum yang merupakan tempat ia menimba ilmu semasa level junior. Sebagai mantan pemain tunggal putri, Ellen pun coba menularkan pengalamannya di nomor yang sama kepada para juniornya.
Ellen terbilang masih dalam usia yang cukup produktif ketika pensiun. Namun, kapan pun keputusan untuk gantung raket diambil, Ellen merasa hal itu bukanlah sesuatu yang salah. Selain ada tujuan hidup lain yang ingin dicapai, hasrat untuk meneruskan generasi bulu tangkis Indonesia adalah sebuah panggilan.
ADVERTISEMENT
“Awal mula melatih sekitar 2003 ketika usia 28 tahun, ditawari untuk kembali ke PB Djarum untuk didik adik-adik. Waktu itu juga saya sudah tidak di pelatnas, jadi pilihannya saat itu sekolah atau kerja, terus ada tawaran, ya, sudah diambil,” kata Ellen saat dihubungi kumparanSPORT.
“Kalau menurut saya lebih mudah memegang atlet usia 13-15 tahun. Pola piker mereka biasanya sudah mulai terbentuk, bahwa bermain bulu tangkis itu harus capek, harus bersaing, dan kerja keras. Namun, kalau yang umur di atasnya malah biasanya pikirannya sudah bercabang ke banyak hal.
“Jadi kalau di usia 13-15 membentuk karakternya masih enak, masih bisa diarahkan dengan nyaman. Pola pikir mereka sudah mulai terbentuk dan tugas kita untuk mengaturnya dan menjaganya agar bisa terarah lebih baik,” ujarnya menambahkan.
ADVERTISEMENT
Kini, hampir 15 tahun lamanya Ellen menjadi pelatih. Menurutnya, tak ada treatment khusus dalam metode melatihnya. Baginya, selain mempertajam kemampuan atlet, hal-hal non-teknis macam karakter juga wajib dilatih dan dibina untuk membentuk seorang jawara.
Namun, Ellen yang sudah mencicipi dunia olahraga prestasi selama dua decade lebih mafhum, bahwa jalan menjadi atlet dan menjadi pelatih tidak pernah mudah. Menurutnya, kesulitan yang paling kentara adalah menjaga mental dan sikaf atlet khususnya setelah menjadi juara.
“Harus bisa lebih merasakan pukulannya, maksudnya dia sudah tahu pukulannya nanti mau diarahkan ke mana, kerasnya seberapa, perkenaan kok dengan raket bagaimana. Mereka harus tahu, tekanan dari pukulan yang ia lakukan hasilnya bagaimana. Itu, sih, yang biasanya saya tekankan untuk melatih skill.”
ADVERTISEMENT
“Kalau soal kesulitan lebih kepada kejenuhan atletnya, jadi kita harus pintar-pintar mengaturnya. Belum lagi kalau nanti jadi juara, ada anak yang bisa menjadi sombong karena prestasi itu. Jadi, kita harus bisa membantu mereka mengatur emosi dan karekter,” tutup Ellen.
Sigit Budiarto
Sigit Budiarto di pinggir lapangan. (Foto: PB Djarum)
zoom-in-whitePerbesar
Sigit Budiarto di pinggir lapangan. (Foto: PB Djarum)
Sebelum era Marcus Fernaldi Gideo dan Kevin Sanjaya Sukamuljo yang dikenal sebagai pemain ganda putra terbaik Indonesia saat ini, Sigit merupakan pendahulu mereka dan sosok yang mampu menjaga generasi emas sektor ganda Indonesia.
Meski memulai karier bersama Dicky Purwotjugiono, Sigit mulai berpendar dan meraih banyak gelar saat berpasangan dengan Candra Wijaya. Sebagai trivia pula, Sigit merupakan salah satu murid dari legenda bulu tangkis di nomor ganda, Christian Hadinata.
ADVERTISEMENT
Bersama Candra, gelar juara macam All England 2003, kejuaraan bulu tangkis dunia 1997, medali emas SEA Games 1997, 2001, tiga trofi Piala Thomas, dan Indonesia Open 1997, adalah beberapa kesuksesan yang pernah diraih oleh Sigit.
Melenggang hingga babak semifinal di kompetisi Jerman Terbuka 2007, tercatat menjadi ajang internasional terakhir yang dikuti oleh Sigit. Setelah menemui jalan bertabur bunga sebagai atlet, Sigit akhirnya memutuskan pensiun dan melanjutkan kariernya sebagai pelatih di PB Djarum.
Namun, perjalanan Sigit sebagai atlet pernah mengalami fase kelam di tahun 1998 ketika dirinya divonis menggunakan doping dan dihukum tidak boleh mengikuti kejuaraan apa pun selama satu tahun. Kasus ini mengguncang dirinya, tapi tidak menyurutkan hasratnya pada bulu tangkis.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak merasa menggunakan doping. Berkali-kali dites sebelumnya, hasilnya selalu negatif. Saya kaget, tidak tahu persis kandungan doping tersebut,” ungkap Sigit soal kasusnya.
Sigit lantas kembali ke lapangan pertandingan pada 1999, meski butuh waktu untuk menggembalikan mental bertanding. Sigit nyatanya mampu bangkit dan memenangi gelar All England 2003 bersama pasangan emasnya, Candra.
“Itu gelar kedua paling bergengsi buat saya. Semua pemain merasa belum lengkap kalau belum juara pada turnamen tertua di dunia ini,” kenang Sigit.
Setelah selesai menjadi atlet, Sigit kembali ke PB Djarum sebagai pelatih pada 2007. Ia mengaku memang menanyai slot pelatih yang kosong dan akhirnya melatih sektor ganda. Sigit tak memungkiri, pada awal karier kepelatihannya ada beberapa hal yang harus disesuaikan.
ADVERTISEMENT
“Tentunya ada beberapa kendala saat memulai yang baru, biasanya dilatih sekarang harus menyampaikanmateri kepada atlet-atlet.”
Sementara itu, Sigit merasa bahwa materi latihan yang diberikan kepada atlet saat ini tidak jauh berbeda dengan masanya. Hanya saja, beberapa perubahan seperti kemudahan berkomunikasi (internet, red), menimbulkan dampak positif dan negatif.
“Perbedaannya saat ini mungkin dari segi kemudahan interaksi dengan dunia luar. Kalau dulu saya hanya terbatas di televisi dan telepon saja, anak-anak sekarang lebih mudah interaksi. Sisi positifnya mereka bisa belajar dan negatifnya mereka dewasa tidak pada waktunya.”
Kini, sudah satu dekade lamanya Sigit mengabdi sebagai pelatih PB Djarum, beberapa atlet macam Kevin Sanjaya dan Praveen Jordan yang sekarang dikenal sebagai pemain andalan Indonesia, merupakan buah tangan dari sistem pelatihannya.
ADVERTISEMENT
Imam Tohari
Imam Tohari memberikan arahan. (Foto: PB Djarum)
zoom-in-whitePerbesar
Imam Tohari memberikan arahan. (Foto: PB Djarum)
Siapa yang meyangka, juara tunggal putra di Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2018 dua pekan lalu, Kento Momota, adalah anak latih dari Imam Tohari ketika masih di level junior. Imam sendiri merupakan mantan pemain bulu tangkis di nomor ganda campuran Indonesia bersama Emma Ermawati.
Kepada kumparanSPORT, Imam mengisahkan ulang awal perjalannya menjadi pelatih di Jepang. Menurut sosok kelahiran 26 Maret 1976 ini, keputusannya mengabdi di negeri orang bermula dari ajakan kawan. Tanpa pernah dikira, kerja kerasnya di sana justru membantu Jepang mengembangkan bulu tangkis.
“Saya di Jepang sejak 2002 dan pulang sekitar 2013, awalnya saya dapat tawaran melatih di sana. Kalau dulu tidak ada perasaan kaya ‘wah melawan negara sendiri’ karena di Jepang dulu bulu tangkis belum seramai sekarang, saya juga hanya melatih di level junior,” kata Imam.
ADVERTISEMENT
Kendati sempat ada pergolakan batin antara statusnya sebagai warga negara Indonesia yang melatih negara lain, Imam merasa harus tetap menjaga profesionalitas sebagai pelatih. Kini, keinginannya untuk mengabdi di negeri sendiri sudah terwujud.
“Sampai puncaknya di tahun 2012 lalu, anak didik saya Momota akhirnya jadi juara dunia junior. Saya dipercaya di sana, jadi saya profesional, karena itu kerjaan saya dan kebetulan hasilnya seperti itu, kalau di negara sendiri pastinya lebih bangga,” ujarnya menambahkan.
“Kalau dari segi pelatih sendiri, pastinya ada kepuasan karena kita sudah bina dia sampai jadi juara dunia dan sekarang kariernya berlanjut di level usia lebih tinggi. Sampai sekarang pun masih menjaga hubungan, kalau dia juara kaya kemarin di kejuaraan dunia bulu tangkis, dia hubungi saya dan berterima kasih atas dukungannya.”
ADVERTISEMENT
Sudah tiga tahun lamanya Imam melatih di PB Djarum, menurutnya ada beberapa perbedaan menyoal atlet Jepang dan Indonesia.
“Kalau metode sebenarnya sama saja, jadi kita harus melihat dulu kelebihan dan kekuarangan atlet. Kalau istilahnya masak, kurang asin atau kurang manis. Hanya saja memang, di Jepang karakter atletnya lebih bagus meski tekniknya kalah dari Indonesia. Maksudnya disiplin, kemauan ingin menangnya, Jepang lebih bagus,” jelas Sigit.
“Hal ini jadi tantangan sendiri buat saya, karena kalau kekurangan itu bisa digabungkan dengan kelebihan yang sudah ada, bisa terbentuk atlet yang tidak terkalahkan. Jadi sebisa mungkin kelebihannya ditambah, kekuarangannya dikikis sedikit demi sedikit,” ucapnya.
Sejauh pengalamannya melatih di Indonesia dan Jepang, Sigit mempunyai kesimpulan mengenai kunci agar atlet bisa menorehkan prestasi gemilang. Khususnya di Indonesia, Sigit merasa mental berlatih dan bermain harus terus konsisten di level tertinggi.
ADVERTISEMENT
Ibarat mengerjakan soal matematika dan fisika, menjadi atlet juara dunia pun memiliki rumus yang sudah ditentukan. Oleh karena itu, Imam merasa dengan adanya audisi yang dilakukan PB Djarum, sedikit banyak hal ini berdampak bagi pebentukan karakter atlet.
“Saya sudah sekitar tiga tahun, mulai dari 2016. Bulu tangkis sudah merata, negara-negara lain yang dulu tidak fokus ke cabang ini sudah mulai semakin fokus. Dari segi biaya pun, negara lain sudah siap mengeluarkan uang demi prestasi di bulu tangkis. Persaingan semakin ketat.”
 “Sebenarnya dari kemauan atlet itu sendiri , kalau ada kemauan kita bisa bimbing masalah mental dan teknik. Intinya di pola pikir mereka sendiri, kalau mau jadi juara harus semangat, pintar, dan fokus. Dispilnnya juga dijaga, yang terpenting karakter terbentuk karena atlet kita sudah mempunyai keunggulan teknik.”
ADVERTISEMENT
“Oleh karena itu, PB Djarum mengadakan audisi agar atlet bisa ditempa sejak dini, dari kecil sudah terpisah dengan orang tua agar biasa mandiri dan membentuk karakter. Jadi tidak cepat puas, misalnya baru juara nasional sudah puas. Padahal tujuan utamanya adalah juara dunia, sedangkan untuk sampai ke sana sudah ada rumusnya,” tutup Imam.