KONTEN SPESIAL, Tangan Emas Paulus Mencetak para Genius, Yayuk Basuki

Paulus: Yayuk Itu Profesional, Bukan Atlet yang Datang kalau Kepepet

22 Juni 2019 11:36 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petenis Yayuk Basuki mencium mendali emasnya usai mengalahkan Tamarine Tanasugarn dari Thailand di final tenis tunggal putri Asian Games ke-13 di Bangkok. Foto: AFP/TORSTEN BLACKWOOD
zoom-in-whitePerbesar
Petenis Yayuk Basuki mencium mendali emasnya usai mengalahkan Tamarine Tanasugarn dari Thailand di final tenis tunggal putri Asian Games ke-13 di Bangkok. Foto: AFP/TORSTEN BLACKWOOD
ADVERTISEMENT
Paulus Pesurnay, si pelatih fisik legendaris itu, tahu benar bahwa Yayuk Basuki memegang erat-erat profesionalisme di sepanjang kariernya.
ADVERTISEMENT
Prinsip sederhana, tapi tak populer itu seperti injeksi yang terus menerus menjadi serum dalam setiap ayunan raketnya, dalam setiap jatuh-bangunnya mengejar bola, dalam setiap kekalahan dan kemenangan yang ditelan.
“Yayuk itu profesional. Dia meminta saya untuk ikut dia setiap tur. Dia bukan tipe atlet yang datang menghubungi kalau butuh dan kepepet saja,” ujar Paulus kepada kumparanSPORT.
Yayuk paham benar mengapa ia mesti mengajak Paulus di setiap tur. Ia tak mau kondisi fisiknya menurun selama bertanding di negeri orang.
Tenis itu olahraga yang tak kenal ampun. Ia tak mau dibatasi oleh waktu. Itulah sebabnya, John Isner dan Nicolas Mahut pernah bertanding seperti dua orang kesetanan selama 11 jam 5 menit. Set kelima laga babak pertama tunggal putra Wimbledon 2010 itu bahkan berjalan selama 8 jam 11 menit.
ADVERTISEMENT
Yayuk Basuki di Wimbledon 1997. Foto: JACQUES DEMARTHON/AFP.
“Yayuk juga beberapa kali bilang seperti ini: ‘Om, pertandingan ini kita skip, ya. Saya capai.’ Dia sudah mengonfirmasi keikutsertaan di turnamen itu. Tapi, karena kondisi fisiknya tidak mendukung, dia mengundurkan diri. Dia bisa didenda 10.000 USD bahkan 15.000 USD karena namanya sudah ada di daftar undian,” jelas Paulus.
Kebanyakan petenis--terlebih petenis muda--mungkin akan memilih untuk tetap memaksakan diri mengikuti turnamen bila menghadapi situasi seperti Yayuk. Itu karena mereka memandang tenis hanya sebagai kumpulan rival yang mesti dikalahkan.
Mereka yang mengaku mencintai tenis sering menentang keputusan macam ini. Padahal, bahayanya cinta itu, terlalu cepat membayangkan kebahagiaan dan terlalu telat membayangkan kesusahan.
Karena Yayuk mencintai tenis, ia ingin punya karier tenis yang panjang. Mundur sekali berarti fokus pada pemulihan. Bukan keputusan mudah, tapi lebih baik daripada harus pensiun muda karena terlambat merespons alarm fisik atau mengurus cedera.
ADVERTISEMENT
Paulus Pesurnay. Foto: Marini Dewi Anggitya Saragih/kumparan
“Yayuk itu sampai menghitung turnamen yang harus dia ikuti. Dalam setahun, dia cuma ikut sekitar 13 turnamen. Hasilnya tidak main-main. Dalam delapan tahun dia konstan, bisa bertahan di 50 besar dunia. Peringkat tertingginya bahkan 19 besar dunia," jelas Paulus kepada kumparanSPORT.
Profesionalisme tidak mengubah Yayuk menjadi robot. Kegigihan untuk memegang prinsip itu lahir dari hati. Dan kabar baiknya, Paulus tidak bekerja dengan sudut pandang yang bertolak belakang.
Sama-sama bekerja dengan hati membuat keduanya saling melempar respek. Mulai dari hal yang sepintas terlihat sepele, tapi sebenarnya mahal: Tepat waktu.
Contoh sederhananya, Paulus dan Yayuk tak pernah terlambat waktu latihan. Jika sesi dimulai pukul enam pagi, paling lambat Yayuk sudah siap di tempat latihan 15 menit sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Paulus bahkan tak ambil pusing ketika harus menggelar latihan saat hujan. Pun demikian dengan Yayuk. Yang terpenting, pemanasan sudah dilakukan di area indoor. Ketika otot panas dan badan sudah siap, langkah yang tambah berat karena efek hujan tidak menjadi persoalan. Semuanya tetap menyenangkan buat Yayuk.
“Saya tidak perlu sebut nama atletnya. Tapi, saya pernah tanya Om Paulus waktu dia melatih atlet ini. Dia bilang: Wah, beda sama Yayuk. Dulu Yayuk jam enam kurang sudah siap. Ini janjian jam enam, malah baru datang jam delapan atau sembilan,” cerita Yayuk.
“Om Paulus sampai bawa-bawa senter kalau saya latihan di tengah hujan. Dia memegang atlet-atletnya dengan hati. Sama, saya juga bekerja dengan hati sehingga hasilnya maksimal," ucap Yayuk.
ADVERTISEMENT
"Kalau pelatih fisik merancang program cuma atas dasar kebutuhan, semuanya bakal kaku. Kalau sekadar ‘kamu butuh ini, kamu harus itu’ tidak akan ada komunikasi yang enak,” jelas sosok yang mengoleksi empat medali emas Asian Games ini.
Ilustrasi Lari. Foto: Shutter Stock/kumparan
Yayuk semringah hampir di setiap pembicaraan tentang latihan ala Paulus. Pelatihnya yang satu ini memiliki kekhasan yang rasanya tak bisa berpindah tangan.
“Latihan Om Paulus itu ibarat menu yang main course-nya tidak banyak. Tapi, kalau bicara perintilan-nya, kalau bicara appetizer-nya, waduh, banyak banget! Itu bisa sampai sejam sendiri. Tapi, mutlak buat mempersiapkan otot-otot,” jelas Yayuk.
Paulus tahu benar bahwa kejenuhan acap menjadi musuh bebuyutan para atlet. Tak peduli sebanyak apa pun gelar juara yang direngkuh, seorang atlet tetap bisa takluk melawan perkara yang satu ini. Itulah sebabnya Paulus tidak hanya fokus merancang program latihan yang tepat sasaran, tapi juga tidak membosankan.
ADVERTISEMENT
“Saya memiliki resep sendiri. Saya selalu menyembunyikan target program di balik variasi latihan,” ucap Paulus.
Foto Paulus Pesurnay saat bersalaman dengan Megawati Soekarnoputri. Foto: Marini Dewi Anggitya Saragih/kumparan
Inilah kelebihan Paulus yang tidak dilihat Yayuk di pelatih lain, termasuk pelatih fisik zaman sekarang. Di setiap sesi latihan, Paulus adalah barista yang meracik menu. Ia barista yang membiarkan Yayuk berlatih tanpa kehilangan kesenangan yang dirawatnya selama bertahun-tahun di atas lapangan tenis.
“Program latihan Om Paulus itu ibarat cappuccino buat saya. Ada racikannya. Jadi tidak seperti mencampur kopi dan susu saja,” ucap Yayuk sambil benar-benar menyesap cappuccino panasnya.
“Misalnya, target program latihan saya hari ini consistent intensity 60 menit. Tapi kalau disuruh lari saja selama 60 menit, saya bosan, nih. Akhirnya, latihan itu dibagi dalam tiga cluster. Dua puluh menit pertama mungkin pace-nya 60% sampai 70%. Jadi saya bisa dapat sembilan keliling per cluster tadi. Itu cuma main course, ya, belum bicara soal appetizer-nya.”
ADVERTISEMENT
“Contohnya lagi. Kalau masuk ‘bengkel’, level kebutuhan latihan saya harus dinaikkan. Tapi, ‘kan tidak mungkin setiap hari saya diberi latihan lari jarak jauh karena harus masuk ke latihan kecepatan juga," kata Yayuk.
Ilustrasi Fisik di Gym. Foto: Shutter Stock/kumparan
“Supaya kecepatan saya oke, harus ada latihan dengan pace 80% untuk 60 meter dalam hitungan menit. Latihan dengan variasi seperti itu bisa saya nikmati. Dalam sehari, saya bisa, lho, lari sampai 12 miles. Itu hampir setara 20 km ‘kan? Lucunya, saya tidak sadar sudah lari sejauh itu,” jelas Yayuk.
Itu baru dua contoh. Ada kalanya Yayuk mesti digembleng habis-habisan dengan latihan teknik pada pagi hari. Salah besar jika mengira bahwa setelahnya Yayuk bisa berleha-leha.
Latihan fisik tetap harus digeber pada sore harinya. Apa boleh bikin, raga mesti diolah sejadi-jadinya agar tak babak-belur dihajar kompetisi.
ADVERTISEMENT
“Kalau pagi saya dihabisi di latihan teknik, sorenya bisa saja burn out. Supaya saya tidak drop duluan, Om Paulus merancang semacam permainan waktu latihan, tapi bukan asal-asalan. Lewat permainan itu ada tujuan latihan fisik yang dicapai,” kata Yayuk.
Paulus Pesurnay bersama anjing peliharaannya. Foto: Marini Dewi Anggitya Saragih/kumparan
Paulus bukan Raja Midas yang mampu menyulap atlet-atlet menjadi emas. Ada proses yang panjang, ada kegigihan untuk menempa. Tangan-tangannya membentuk dan menguatkan agar kaki para atlet--termasuk Yayuk--tak loyo dalam pendakian ke puncak gunung prestasi.
Hasilnya manis. Nama Yayuk tak cuma harum semerbak di jagat tenis nasional, tapi juga dunia.
Tanda tanya yang lahir setelahnya bukan cuma tentang siapa yang mampu mengulang bahkan melampaui pencapaian Yayuk. Tapi, pertanyaan tentang pelatih fisik mana yang sanggup menyambut tongkat estafet yang disodorkan Paulus.
ADVERTISEMENT
Dan selama pertanyaan itu belum terjawab, selama itu pula seharusnya Indonesia mencari. Sampai kapan? Sampai entah.
****
Ini adalah tulisan bagian kedua tentang bagaimana Paulus Pesurnay melatih Yayuk Basuki. Bagian pertama dapat dibaca di: Paulus Pesurnay: Melatih Yayuk Basuki, Menopang The Jaguar of Asia.
Anda juga dapat membaca tulisan lainnya tentang perjalanan Paulus di konten spesial kumparanSPORT 'Tangan Emas Paulus Mencetak para Genius.'
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten