Seburuk Apa Memangnya Bayern Muenchen Saat Ini?

3 Oktober 2017 12:00 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ribery mengalami cedera LCL. (Foto: Reuters/Axel Schmidt)
zoom-in-whitePerbesar
Ribery mengalami cedera LCL. (Foto: Reuters/Axel Schmidt)
ADVERTISEMENT
Franck Ribery seharusnya tidak pernah bertahan selama ini di Bayern Muenchen. Setidaknya, itulah yang dikatakan Karl-Heinz Rummenigge beberapa waktu lalu. Ketika Ribery datang ke Bayern tahun 2007 lalu, niatnya cuma satu: dia ingin menjadikan Die Roten sebagai batu loncatan sebelum pindah ke Real Madrid.
ADVERTISEMENT
Faktanya, ini adalah musim kesepuluh Ribery di Bayern dan untuk pemain dengan rekam jejak sepertinya, catatan ini sangatlah impresif. Masalahnya, sebelum dia memutuskan untuk menerima pinangan Bayern, dia sudah membela enam klub dalam lima musim karier profesionalnya. Menjelmanya dia menjadi kutu loncat ini tak bisa dipisahkan dari fakta bahwa Ribery adalah sosok yang sulit diatur.
Contoh kasus paling terkenal adalah ketika Ribery menjadi salah satu aktor di balik kudeta terhadap Raymond Domenech. Bersama Patrice Evra dan Nicolas Anelka, Ribery jadi salah satu figur senior di balik ontran-ontran Tim Nasional Prancis di Piala Dunia 2010. Bicara dalam konteks sebagai seorang profesional lapangan hijau, barangkali itu adalah titik terendah seorang Ribery.
Namun, itu bukan satu-satunya. Di Bayern pun dia sempat dua kali terlibat perselisihan. Pertama dengan Louis van Gaal dan kedua, dengan Pep Guardiola. Ketidaksukaan Ribery terhadap Guardiola itu bahkan dia utarakan secara (hampir) gamblang ketika menyambut Carlo Ancelotti awal musim lalu. Ketika itu, Ribery menyebut Guardiola sebagai sosok yang kurang berpengalaman.
ADVERTISEMENT
Hanya setahun lebih sedikit usai serangan verbal terhadap Guardiola itu, Ribery kembali berulah. Atau setidaknya begitu jika kita mau menelan mentah-mentah interpretasi media terhadap pernyataan Rummenigge sesaat selepas Ancelotti dicopot dari kursi manajerial Bayern. Sang CEO berkata bahwa ada lima pemain yang terlibat dalam pencopotan Don Carlo dan Ribery (diduga kuat) adalah salah satunya.
Kini, Ancelotti sudah pergi dan pada pertandingan pertama tanpa mantan pelatih Parma itu, Bayern ternyata juga tidak bisa menang. Seperti halnya ketika menghadapi Wolfsburg, pada laga melawan Hertha Berlin, Minggu (1/10) lalu, Ribery dan rekan-rekan juga membuang keunggulan dua gol untuk akhirnya bermain imbang 2-2. Kegagalan Bayern menang itu membuat mereka kini tertinggal lima poin dari Borussia Dortmund.
ADVERTISEMENT
Namun, petaka tidak berhenti di situ. Pada pertandingan yang digelar di Olympiastadion Berlin itu, Ribery ditarik keluar pada pertengahan babak kedua. Tak lama kemudian, diketahui bahwa Lateral Cruciate Ligament (LCL) lutut pemain 34 tahun ini sobek dan oleh karenanya, dia harus absen sampai beberapa bulan. Mengingat usianya yang sudah renta untuk ukuran pesepak bola, tak sedikit pihak yang kemudian meragukan kemampuan fisik Ribery untuk bisa pulih sepenuhnya.
Apa yang dialami Ribery ini, untuk sang pemain sendiri, jelas merupakan kabar luar biasa buruk. Akan tetapi, bagi Bayern, ini tak ubahnya kiamat kecil. Masalahnya, meski Ribery sudah berusia 34 tahun, Bayern belum kunjung mampu mencari pengganti. Ini tak hanya berlaku bagi Ribery, melainkan juga pada tandemnya di sisi lapangan seberang, Arjen Robben.
ADVERTISEMENT
Duet "Robbery" memang telah menjadi senjata utama Bayern Muenchen di lini depan dalam delapan tahun terakhir. Meski Bayern sudah memiliki Kingsley Coman dan sempat memiliki Douglas Costa, ketergantungan terhadap Robbery tidak bisa dienyahkan.
Duet Robbery kini tinggal menyisakan Robben saja. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Duet Robbery kini tinggal menyisakan Robben saja. (Foto: Reuters)
Musim lalu, misalnya, jika ditilik dari seberapa banyak keempat pemain ini berlaga, sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan. Robben bermain sebanyak 34 kali di Bundesliga dan Liga Champions, Douglas Costa 32 kali, Ribery 28 kali, dan Coman 21 kali. Namun, yang kemudian menjadi perbedaan signifikan adalah kontribusi mereka.
Robben, dari sekian penampilan, berhasil menyumbangkan 16 gol dan sembilan assist. Capaian ini disusul Ribery dengan lima gol dan 13 assist. Sementara itu, Costa "hanya" mencatatkan enam gol plus enam assist, sedangkan Coman malah cuma mampu mencetak dua gol serta membukukan satu assist. Artinya, Bayern memang tak bisa mengelak lagi kalau hal semacam ini memang ada.
ADVERTISEMENT
Di musim ini, Douglas Costa sudah tak lagi berkostum Bayern dan dari tiga nama tersisa itu, hanya Arjen Robben yang masih mampu menjaga konsistensi permainannya. Sejauh ini, kapten Timnas Belanda itu sudah bermain delapan kali (enam sebagai starter) dan telah mencetak dua gol. Sementara, Coman yang telah berlaga sembilan kali (tiga sebagai starter) baru menyumbang satu assist. Ribery? Well, dari tujuh penampilan (lima sebagai starter), belum ada satu gol atau assist pun yang telah dikemasnya.
Memang agak tidak adil ketika kemudian penurunan performa Bayern lantas dibebankan kepada Robbery. Masalahnya, sepak bola adalah olahraga tim dan Bayern pun pada musim ini harus kehilangan tiga pemain senior lain: Philipp Lahm dan Xabi Alonso yang pensiun serta Manuel Neuer yang cedera panjang. Artinya, sang caretaker, Willy Sagnol, (ada) benar(nya).
ADVERTISEMENT
Setelah bermain imbang dengan Hertha, mantan bek kanan andal ini mengatakan bahwa Bayern tak lagi punya tim terkuat di Jerman. Hal ini, sepintas memang terkesan seperti pembelaan diri yang dipaksakan karena biar bagaimana pun, mereka bukannya sama sekali tak berbenah di musim panas lalu.
Philipp Lahm di laga pamungkasnya (Foto: Michael Dalder/ Reuters )
zoom-in-whitePerbesar
Philipp Lahm di laga pamungkasnya (Foto: Michael Dalder/ Reuters )
Bayern, pada bursa transfer lalu, sudah membajak Niklas Suele dan Sebastian Rudy dari Hoffenheim. Kemudian, mereka juga mendatangkan Corentin Tolisso dari Lyon serta James Rodriguez dari Real Madrid. Seharusnya, untuk "sekadar" menjuarai Bundesliga saja, Bayern tidak harus kesulitan seperti sekarang.
Akan tetapi, kehilangan tiga pemain senior sekaligus memang tidak mudah karena dengan begitu mereka tak hanya kehilangan dari segi teknikal serta taktikal, tetapi juga dari segi mentalitas. Sebabnya, tiga pemain yang hilang itu adalah pemenang Piala Dunia dan sudah tak asing lagi dengan gelimang trofi di level klub.
ADVERTISEMENT
Hal ini, ditambah dengan penurunan performa Ribery, yang akhirnya membuat duet Robbery menjadi pincang, menjadi alasan utama di balik apa yang dialami Bayern. Ini, tentunya, belum termasuk adanya ketidakcocokan yang dialami sejumlah penggawa Bayern dengan Carlo Ancelotti dalam hal metode latihan. Kombinasi dari berbagai problem inilah yang membuat Bayern kemudian bak ayam kehilangan induk.
Bagi Bayern sendiri, mencari solusi dari berbagai permasalahan ini tentu tidak mudah. Sulit sekali, malah.
Ancelotti dipecat oleh Bayern. (Foto: Reuters/Charles Platiau)
zoom-in-whitePerbesar
Ancelotti dipecat oleh Bayern. (Foto: Reuters/Charles Platiau)
Untuk masalah pertama, soal kehilangan para pemain senior itu, tentu tidak ada solusi selain menunggu. Lahm dan Alonso bisa menjadi Lahm dan Alonso yang kita kenal karena mereka telah melewati perjalanan belasan tahun sebagai pemain profesional di level tertinggi. Joshua Kimmich dan Corentin Tolisso sebagai calon suksesor punya potensi untuk ke arah sana, tetapi mereka tentu butuh waktu.
ADVERTISEMENT
Kemudian, untuk masalah kedua, yakni soal ketergantungan terhadap Robbery dan Manuel Neuer, ini tentunya hanya bisa diselesaikan dengan satu cara: mendatangkan pemain baru. Seharusnya, untuk manajemen Bayern yang dikenal lihai bermanuver di lantai bursa, hal ini tidak menjadi masalah. Akan tetapi, ini semua bakal berkaitan dengan permasalahan ketiga, yaitu memilih pelatih yang tepat.
Pelatih yang tepat dan bisa secara jelas mengutarakan ide soal cara bermain seperti apa yang dia inginkan akan memudahkan manajemen untuk bergerak di bursa transfer. Inilah yang kemungkinan besar tidak dipunyai oleh Ancelotti karena sejak dulu pun, mantan bintang Roma dan Milan ini tidak dikenal sebagai pelatih yang punya profisiensi taktikal yang baik.
Selama ini, Ancelotti dikenal sebagai sosok yang mampu mengoptimalkan apa yang dia punya. Jika dia diberi emas, maka dia akan mampu menjadikan emas itu sebagai perhiasan. Namun yang jadi masalah, pelatih satu ini tidak pernah tahu emas seperti apa yang dia inginkan. Alhasil, jika emas yang diberi ternyata tidak sesuai harapan, hasil yang dia beri pun akan jauh dari harapan. Sebatas itu.
ADVERTISEMENT
Lalu, apabila mencari solusi dari tiga masalah ini masih sulit, apa yang bisa dilakukan Bayern? Entahlah, tetapi sesungguhnya, yang paling bisa dilakukan dalam waktu dekat adalah memilih sosok pelatih yang tepat. Jika ini sudah dibenahi, maka mereka (seharusnya) baru akan bisa membenahi dua masalah besar lainnya itu.