Sejarah dan Masa Depan Indonesia di All England

7 Maret 2017 11:58 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi bulu tangkis. (Foto: Getty Images)
Orang-orang Inggris boleh menepuk dada sembari mengaku bahwa mereka adalah penemu banyak cabang olahraga. Sepak bola, rugbi, kriket, tenis, dan bulu tangkis, semua pertama kali dimainkan -- setidaknya dalam bentuk modern -- oleh orang-orang Inggris.
ADVERTISEMENT
Namun, ada satu kesamaan yang dialami para atlet Inggris di semua cabang itu. Mereka bukanlah kekuatan utama dan dominan dalam olahraga-olahraga tersebut. Di sepak bola, Inggris baru pernah merasakan gelar juara dunia sebanyak satu kali. Pun demikian dengan rugbi.
Dari cabang kriket, Inggris malah belum pernah sekali pun merasakan nikmatnya jadi yang terbaik di dunia. Sementara itu, di cabang tenis dan bulu tangkis, meski dulu mereka sempat dominan, pada akhirnya supremasi harus mereka relakan ke atlet-atlet dari negara lain.
Hari ini, kejuaraan bulu tangkis tertua di dunia, All England, akan digelar untuk yang ke-107 kalinya. Sama dengan tahun-tahun belakangan, tidak ada pebulu tangkis Inggris yang benar-benar diunggulkan, selain barangkali pasangan suami-istri Chris dan Gabby Adcock. Pasangan suami-istri tersebut kini berada di peringkat ketujuh dunia dan mereka diharapkan mampu mengulangi raihan Nathan Robertson dan Gail Emms pada 2005 silam.
ADVERTISEMENT
Meski prestasi Inggris telah lama surut, dulunya mereka adalah penguasa olahraga ini. Nama Thomas dan Uber adalah buktinya. Sir George Alan Thomas dan Elizabeth "Betty" Uber dulu merupakan nama yang amat dominan di bulu tangkis. Thomas hingga kini masih memegang rekor gelar juara terbanyak di All England dengana catatan 21 gelar di semua nomor. Uber, sementara itu, mampu mengoleksi 13 gelar.
Dominasi Thomas dan Uber ini terjadi pada era di mana semua juara All England berasal dari Eropa. Ya, sejak pertama kali dihelat di markas resimen London Scottish pada 1899 hingga tahun 1948 ketika turnamen dihelat di Harringay Arena, hanya ada lima negara yang wakilnya mampu jadi juara. Kelima negara itu adalah Inggris, Swiss, Republik Irlandia, Denmark, dan Swedia.
ADVERTISEMENT
David Freeman dari Amerika Serikat, bersama Ooi Teik Hock dan Teoh Seng Khoon dari Malaysia, menjadi tiga pebulu tangkis yang memutus dominasi Eropa pada gelaran tahun 1949. Uniknya, Freeman dan Teik Hock sendiri saling mengalahkan di dua nomor berbeda. Jika Freeman berhasil menang di nomor tunggal putra, maka Teik Hock bersama Seng Khoon berhasil mengalahkan Freeman yang berpasangan dengan Wynn Rogers di nomor ganda putra. Sejak keberhasilan tiga atlet dari dua benua berbeda itu, All England kemudian memiliki banyak juara dari berbagai negara.
Malaysia menjadi negara Asia pertama yang mampu jadi penguasa All England, khususnya di nomor-nomor yang melibatkan pebulu tangkis pria. Bersama atlet-atlet dari Denmark dan Amerika Serikat, Malaysia berhasil membatasi dominasi Inggris di nomor ganda putri saja.
ADVERTISEMENT
Indonesia sendiri baru bisa meraih gelar juara pertama pada 1959 melalui aksi Tan Joe Hok. Istimewanya, pria kelahiran 1937 itu mengalahkan sesama orang Indonesia, Ferry Sonneville di partai puncak. Namun, gelar juara Joe Hok sendiri kala itu hanya terasa seperti kejutan di tengah dominasi Malaysia-Denmark, terutama lewat Erland Kops, Eddy Choong, dan Wong Peng Soon.
Baru pada 1968 Indonesia mampu kembali menjadi juara. Lewat Rudy Hartono di nomor tunggal putra serta Minarni Sudaryanto dan Retno Koestijah di nomor ganda putri, Merah-Putih berkibar di Wembley. Rudy Hartono sendiri akhirnya berhasil menjadi juara sebanyak delapan kali, di mana tujuh di antaranya dia raih secara berturut-turut antara 1968-1974.
Sampai sekarang, rekor tujuh kali juara beruntun Rudy Hartono itu belum bisa dipecahkan siapa pun. Selain itu, delapan gelar juara milik pria asal Surabaya itu berkontribusi besar atas rekor yang hingga kini masih belum bisa direbut negara mana pun dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dengan 43 gelar di semua nomor, Indonesia adalah peraih gelar All England terbanyak sepanjang sejarah dan dari semua gelar itu, 18 di antaranya disumbangkan nomor ganda putra. Christian Hadinata dan Ade Chandra jadi pasangan ganda putra Indonesia yang memelopori dominasi itu. Namun, bukan merekalah yang berkontribusi paling banyak dalam urusan raihan gelar. Adalah pasangan Tjun Tjun dan Johan Wahjudi dengan enam gelarnya yang menjadi peraih gelar terbanyak.
Sementara itu, meski sudah berhasil mengangkat trofi untuk pertama kali pada 1968, pebulu tangkis putri Indonesia terhitung jarang menjadi juara di tanah Britania. Setelah Minarni-Retno, Indonesia harus menunggu 11 tahun sebelum Verawaty dan Imelda Wiguna mengangkat trofi pada 1979. Di tahun tersebut, Imelda Wiguna menjadi juara di dua nomor sekaligus, yakni ganda putri dan ganda campuran. Gelar ganda campuran yang diraih Imelda bersama Christian Hadinata itu pun menjadi yang pertama bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Barclaycard Arena, venue All England. (Foto: Wikimedia Commons)
Setelah menunggu cukup lama, Indonesia akhirnya baru bisa punya juara di nomor tunggal putri lewat kontribusi Susy Susanti. Pebulu tangkis yang juga peraih medali emas Olimpiade itu berhasil menjadi juara sebanyak empat kali dalam kurun waktu 1990-1994. Sayangnya, empat trofi itu juga menjadi empat trofi terakhir Indonesia di nomor tunggal putri hingga sekarang.
Namun, tidak hanya di nomor tunggal putri saja Indonesia seret gelar. Di nomor tunggal putra pun demikian. Gelar juara Haryanto Arbi pada tahun 1994 adalah gelar juara tunggal putra terakhir yang bisa dibawa pulang ke Tanah Air. Setelah itu, Indonesia harus rela melihat trofi melayang ke tangan para pebulu tangkis China, Denmark, Malaysia, bahkan India.
ADVERTISEMENT
Tahun lalu, Indonesia kembali berhasil meraih trofi lewat Praveen Jordan dan Debby Susanto. Pasangan ganda campuran itu kini berada di peringkat kelima dunia. Praveen-Debby sendiri berhasil meneruskan tren apik Indonesia di nomor ganda campuran setelah sebelumnya Tontowi Ahmad dan Lilyana Natsir menjadi juara tiga kali berturut-turut mulai 2012.
Kemenangan Tontowi-Lilyana pada 2012 tersebut berhasil memutus puasa gelar Indonesia yang terjadi selama delapan tahun. Sejak Sigit Budiarto dan Candra Wijaya menjadi juara ganda putra pada 2003, Indonesia sempat tidak mampu mengirim satu wakil pun yang menjadi juara. Padahal, ketika itu Indonesia sempat punya Taufik Hidayat yang berhasil menjadi peraih medali emas Olimpiade Athena 2004 dan juara dunia 2005.
Pada gelaran tahun ini, Indonesia masih bakal sangat mengandalkan nomor ganda campuran untuk meraih trofi. Pasalnya, selain punya juara bertahan, Indonesia juga masih punya Tontowi-Lilyana yang menghuni peringkat ketiga dunia.
ADVERTISEMENT
Namun, di dua nomor ganda lainnya, Indonesia pun punya pasangan-pasangan yang ada di 10 besar dunia. Marcus Fernaldi Gideon dan Kevin Sanjaya Sukamuljo merupakan harapan terbesar Indonesia di nomor ganda putra. Juara China Terbuka 2016 ini sedang menghuni peringkat kelima dunia.
Sementara itu, di bawah Marcus dan Kevin, Indonesia juga punya Angga Pratama dan Ricky Karanda Suwardi yang duduk di peringkat tujuh dunia. Tahun lalu, Angga dan Ricky mampu menjadi juara Asia di Hyderabad, India.
Di nomor tunggal putra, Indonesia punya tiga pebulu tangkis yang ada di 25 besar dunia. Mereka adalah Tommy Sugiarto (16), Jonatan Christie (20), dan Sony Dwi Kuncoro (22).
Meski Tommy Sugiarto ada di peringkat tertinggi, justru Jonatan dan Sony-lah yang prestasinya lebih baik tahun lalu. Jonatan berhasil menjadi juara Asia, sementara Sony sukses memenangi sebuah ajang Super Series, Singapura Terbuka. Namun, Jonatan tidak akan turun berlaga di All England tahun ini.
ADVERTISEMENT
Hari ini, ada tiga wakil Indonesia yang akan bertanding di babak kualifikasi. Mereka adalah Anthony Ginting dan Ihsan Maulana dari nomor tunggal putra, serta Lyanny Mainaky dari ganda putri. Anthony Ginting yang berperingkat dunia 32 akan bermain menghadapi Sourabh Verma dari India. Sementara itu, Ihsan Maulana (38) akan meladeni pebulu tangkis Jepang Kenta Nishimoto, sedangkan Lyanny Mainaky sudah ditunggu Nadia Fankhauser dari Swiss.
Dalam gelaran All England tahun ini, Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) hanya menargetkan satu gelar juara. Akan tetapi, tentu tidak ada jaminan bahwa mereka yang diunggulkan bakal otomatis menjadi juara dan begitu pula sebaliknya. Dengan keberadaan pemain-pemain peringkat atas di tiga nomor ganda serta pemain-pemain muda di nomor tunggal, mungkin harapan itu boleh mulai dipupuk lagi.
ADVERTISEMENT